Hubungan luar negeri Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ahmaditya Irsyad (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Ahmaditya Irsyad (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 6:
Namun, kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh presiden Soeharto juga sempat melenceng ketika Indonesia diminta oleh [[Amerika Serikat]] berserta negara-negara lain di blok barat untuk menginvasi [[Timor Leste|Timor Timur]] melalui [[operasi seroja]] pada tahun 1975 untuk membendung kebangkitan Fretilin didaerah itu yang berujung pada lepasnya Timor Timur menjadi negara merdeka dibawah keputusan Presiden [[Bacharuddin Jusuf Habibie]] seusai diumumkannya referendum tidak dapat dielakkan karena sejak awal Timor Timur tidak mengehndaki adanya aneksasi sebagaimana kekuatan blok barat tersebut inginkan dan menguaknya [[Sengketa Sipadan dan Ligitan]] serta penjualan aset negara berupa BUMN dibawah kesepakatan antara IMF dan pemerintah Indonesia ke publik seusai turunnya Presiden Soeharto akibat kegagalannya dalam menangani krisis monenter tahun 1997 ditambah dengan keterpaksaan Indonesia untuk di''bail out'' oleh IMF dengan syarat tidak membiayai proyek seperti [[N-250]] dan mobnas, menjadi bahan konsumsi publik yang liar dengan tidak didasari atas kredibilitas informasi yang dapat dipertanggungjawabkan yang mengakibatkan munculnya misinterpretasi masyarakat terhadap Presiden Indonesia ke 5 saat itu, [[Megawati Soekarnoputri]] dituduh oleh "fakta" bahwa Ia telah menjual BUMN dan kedua pulau tersebut sebagai dasar untuk membenarkan "ketiadagunaan reformasi" yang digerakkan oleh jajaran anti-reformasi yang masih berada dalam pos pemerintahan. Padahal, dalam kenyataannya sengketa tersebut awalnya muncul akibat perbedaan landasan hukum atas kedua aturan alur batas laut ketika batas landas kontinen dibahas oleh kedua negara tersbeut pada tahun 1976, dengan menggunakan aturan dari jaman kolonialisme Inggris terhadap Malaysia dan Belanda terhadap Indonesia. Hal ini kemudian disinggung oleh Presiden Soeharto yang saat itu masih menjabat dengan mengadakan kunjungannya ke Malaysia pada tahun 1997 untuk bertemu dengan PM Malaysia saat itu, [[Mahathir Mohamad]] untuk menyapakati membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional dengan membuat perjanjian yang nantinya diratifikasi oleh kedua belah pihak, dimana 5 tahun kemudian diputuskan oleh Mahkamah Internasional bahwa kedua pulau tersebut berhak dimiliki oleh Malaysia. Sementara itu, Presiden Soeharto dan Presiden IMF saat itu, Michael Camdessus menyepakati penjualan BUMN sebagai syarat pembayaran atas pinjaman IMF, karena tidak layaknya APBN saat itu untuk membayar pinjaman tersebut.
 
Setelah Soeharto mengundurkan diri tahun 1998, pemerintah Indonesia tetap menjalankan garis besar kebijakan luar negeri Soeharto yang moderat dan independen. Banyaknya masalah di dalam negeri, semapat membuat beberapa Presiden tidak mampu memanfaatkan momentum yang terjadi di komunitas internasional. Namun, dibawah pemerintahan Presiden RI ke 7, [[Joko Widodo]]. Indonesia merubah cara pendekatannya terhadap dunia internasional dengan memprioritaskan 3 hal, pertama, penguatan kedaulatan wilayah dengan penetapan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang menjadikan Indonesia sebagai pusat kemaritiman dunia abad 21 yang menjadikan indoensia sebagai hub untuk penelitian-pegembangan, fabrikasi produk kemaritiman dan berbagai hal terkait yang didukung oleh kestabilan dan keamanan wilayah yang didukung oleh peningkatan armada militer dan pembangunan wilayah ekonomi baru didarah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal), memperdalam kualitas dan memperluas pengawasan serta perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri dengan meningkatkan pos kekonsuleran diplomatik dan terakhir, meningkatkan kerjasama ekonomi secara bilateral dan kawasan dengan memprioritaskan kerjasama ekonomi dan sektor lainnya dikawasan non tradisional dengan disepakatinya [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Chili]], [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia]], memulai negosiasi [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Turki]], [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Peru]] dan [[Perdagangan Bebas Indonesia-Eurasian Economic Union]], serta menyelesaikan negosiasi [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa]], [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Kawasan Perdagangan Bebas Eropa]] dan [[RCEP]]. Indonesia juga tetap menegaskan solidaritasnya terhadap Palestina dengan membebaskan biaya masuk dan keluar barang dari dan ke Palestina serta membangun rumah sakit Indonesia di Palestina dan Muslim Rohingya dengan mengirim berbagai bantuan kemanusiaan di kamp pengungsian Cox Bazaar di [[Bangladesh]] maupun di Distrik Rakhine, [[Myanmar]]. Sekaligus menjadi fasilitator perdamaian perang saudara di Afghanistan bersama dengan Pemerintah [[Afghanistan]], sebagaimana permintaan Presiden Afghanistan, [[Ashraf Ghani]] saat berkunjung ke Indonesia tahun lalu.<ref>http://www.thejakartapost.com/academia/2018/01/10/full-text-indonesia-partner-for-peace-security-prosperity.html</ref>
 
== Peran aktif Indonesia dalam komunitas internasional ==