Hubungan luar negeri Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ahmaditya Irsyad (bicara | kontrib)
Ahmaditya Irsyad (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{Politik Indonesia}}
'''Hubungan luar negeri [[Indonesia]]''' adalah kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Republik indonesia dalam berhubungan secara diplomatik dengan negara disekitarnya. Prinsip bebas aktif telah mengantarkan negara ini kedalam perhatian Internasional, dimana sejak berbagai negara mulai mengakui keberadaan Indonesia secara de facto dan de jure, Indonesia telah menghasilkan berbagai konsensus komunitas internasional tidak dalam level regional, tetapi dalam level antar benua. Sejak tahun 1950an, Indonesia dengan Presiden Soekarno telah menggugah dan membakar semangat akan kemandirian, kemerdekaan dan kemajuan bagi semua negara didunia, terutama di Asia dan Afrika yang masih dalam bayang-bayang imperialisme dan kolonialisme, namun idealisme tentunya perlu diimbangi dengan upaya menerjemahkan kata-kata tersebut menjadi langkah. Turunnya Presiden Soekarno akibat kemewahan kegiatan politiknya, menjadi kesempatan Jenderal Soeharto untuk mengembalikan situasi diplomatik indonesia yang saling bermusuhan, merusak dan membahayakan keamanan dalam negeri. Sebagaimana perbaikan terus dibina dan kualitas kerjasama antar negara mulai meningkat. Indonesia mulai mampu mengangkat puluhan juta dari warga kemiskinan dan meningkatkan kualitas dan jumlah angkatan kerja untuk terekrut dalam industri dan jasa sebagaimana keterhubungan Indonesia dalam ekonomi dunia meningkat. Namun, euforia tersebut harus berakhir dengan buruk, dimana Presiden Soeharto turun akibat kegagalannya dalam menghasilkan ekonomi yang berkualitas berupa kurangnya pengawasan pada sektor keuangan yang minim pembinaan dan penegakkan hukum. Setelah mengalami proses transisi lanskap demokrasi dan politik serta perekonomian, Indonesia kini telah memiliki pondasi yang kuat untuk mempertajam visinya untuk "Indonesia yang mendunia" dengan tetap berpegang teguh pada prinsip bebas aktif dengan meningkatkan kerjasama pada kawasan regional Asia Selatan, Timur Tengah-Sub Sahara, Afrika dan Amerika Selatan.
'''Hubungan luar negeri [[Indonesia]]''' mengacu pada doktrin yang dicetuskan oleh [[Mohammad Hatta]] dengan konsep "bebas dan aktif" yang bertujuan untuk memposisikan Indonesia dalam komunitas internasional sebagai pemecah masalah dan menjaga hubungan kekuatan-kekuatan internasional lainnya. Kebijakan yang kemudian diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Indonesia pada masa Presiden Soekarno ini diterjemahkan dengan adanya [[Konferensi Asia–Afrika]] di [[Bandung]], [[Jawa Barat]] yang mengajak 29 partisipan negara untuk memerdekakan diri dari kekuatan kolonialisme dan imperialisme, serta menggalang kekuatan baru yang bernama New Emerging Forces untuk mengimbangi dinamika perang dingin yang terjadi saat itu, namun kebijakan ini sendiri seiring pada perkembangannya dilanggar oleh Presiden Soekarno yang saat itu mulai menunjukkan kecenderungannya pada negara-negara blok timur dan beraliran kekirian dengan membentuk poros Jakarta-[[Phnom Penh]]-[[Hanoi]]-[[Beijing]]-[[Pyongyang]] serta mengambil langkah konfrontatif dengan negara tetangganya [[Malaysia]] dengan melancarkan gerakan [[Konfrontasi Indonesia-Malaysia|ganyang Malaysia]]. Kebijakan bebas aktif rasa konfrontasi ini berlanjut pada saat penyelenggaraan acara olahraga berskala internasional, [[GANEFO|Games of New Emerging Forces]] di [[Jakarta]] pada tahun 1963, untuk menyaingi [[Olimpiade Tokyo 1964]], dimana ditemukan unsur politis yang melatarbelakangi [[Komite Olimpiade Internasional]] melarang Indonesia untuk ikut dalam Olimpiade di Tokyo tahun 1964 atas upaya Indonesia melarang masuk atlet [[Israel]] dan [[Taiwan]] untuk mengikuti penyelenggaraan [[Asian Games 1962]], pada akhirnya kebijakan luar negeri Indonesia yang konfrontatif ini setelah munculnya peristiwa [[G30S]] pada tahun 1965 yang berujung pada penurunan Soekarno sebagai Presiden.
== Peran aktif Indonesia dalam komunitas internasional ==
'''HubunganTerinspirasi luar negeri [[Indonesia]]''' mengacu padadari doktrin yang dicetuskan oleh [[Mohammad Hatta]] dengan konsep "bebas dan aktif". yang bertujuanIndonesia untukmencoba memposisikan Indonesiadiri dalamsebagai komunitaspihak internasionalyang sebagaimampu menjadi pemecah masalah dalam dinamika komunitas yang ada dan menjaga hubungan kekuatan-kekuatan internasional lainnya. Kebijakan yang kemudian diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Indonesia pada masa Presiden Soekarno ini diterjemahkan dengan adanya [[Konferensi Asia–Afrika]] di [[Bandung]], [[Jawa Barat]] yang mengajak 29 partisipan negara untuk memerdekakan diri dari kekuatan kolonialisme dan imperialisme, serta menggalang kekuatan baru yang bernama New Emerging Forces untuk mengimbangi dinamika perang dingin yang terjadi saat itu, namun kebijakan ini sendiri seiring pada perkembangannya dilanggar oleh Presiden Soekarno yang saat itu mulai menunjukkan kecenderungannya pada negara-negara blok timur dan beraliran kekirian dengan membentuk poros Jakarta-[[Phnom Penh]]-[[Hanoi]]-[[Beijing]]-[[Pyongyang]] serta mengambil langkah konfrontatif dengan negara tetangganya [[Malaysia]] dengan melancarkan gerakan [[Konfrontasi Indonesia-Malaysia|ganyang Malaysia]]. Kebijakan bebas aktif rasa konfrontasi ini berlanjut pada saat penyelenggaraan acara olahraga berskala internasional, [[GANEFO|Games of New Emerging Forces]] di [[Jakarta]] pada tahun 1963, untuk menyaingi [[Olimpiade Tokyo 1964]], dimana ditemukan unsur politis yang melatarbelakangi [[Komite Olimpiade Internasional]] melarang Indonesia untuk ikut dalam Olimpiade di Tokyo tahun 1964 atas upaya Indonesia melarang masuk atlet [[Israel]] dan [[Taiwan]] untuk mengikuti penyelenggaraan [[Asian Games 1962]], pada akhirnya kebijakan luar negeri Indonesia yang konfrontatif ini setelah munculnya peristiwa [[G30S]] pada tahun 1965 yang berujung pada penurunan Soekarno sebagai Presiden.
 
Pada era Orde Baru yang dipimpin Presiden [[Soeharto]], Indonesia memulai proses normalisasi hubungan bilateral dengan [[Malaysia]] dengan menunjuk [[Thailand]] sebagai mediator perdamaian antara kedua belah pihak yang menghasilkan Perjanjian Bangkok 1966 yang menjadi dasar perbaikan kembali hubungan dan Indonesia juga mulai membubarkan organisasi internasional era orde lama yang terlalu membebani kebijakan luar negeri Indonesia. Pada masa ini, Indonesia sangat berperan aktif dan bebas dibanding Presiden terdahulu dengan adanya pemetaan prioritas kebijakan luar negeri dengan nama lingkaran konsentris. Pemetaan prioritas ini bertujuan untuk mengetahui mana saja negara yang termasuk dalam radar regional hubungan luar negeri Indonesia, hal ini dilakukan agar dapat mewujudkan kepentingan nasional bangsa Indonesia, sekaligus sebagai strategi untuk dapat mewujudkan kepentingan nasional melalui menjalin kerjasama dengan negara yang ada di dunia.<ref>Asep Setiawan. ''Politik Luar Negeri Indonesia''. [pdf] Online tersedia dalam: <nowiki>https://www.academia.edu/15831465/Politik_Luar_Negeri_Indonesia</nowiki></ref> Hal ini diwujudkan dengan adanya organisasi multilateral seperti [[ASEAN]] yang beranggotakan Indonesia, [[Singapura]], [[Malaysia]], [[Thailand]] dan [[Filipina]]. Indonesia tidak hanya menyeru, tetapi bahkan berperan dalam berbagai diplomasi perdamaian internasional berupa pelibatan TNI sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB di [[Kamboja]], [[Vietnam]], [[Sudan]] dan [[Libanon]], tidak hanya itu saja, Indonesia sekaligus juga menjadi mediator perdamaian antara MNLF dan pemerintah Filipina. kebijakan luar negeri Indonesia berkembang signifikan pada sektor perekonomian, dimana Indonesia berhasil mengadakan kerjasama ekonomi bilateral yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dari sektor ekspor yang kemudian diperkuat dengan pencetusan [[APEC]].
Baris 7 ⟶ 10:
 
Setelah Soeharto mengundurkan diri tahun 1998, pemerintah Indonesia tetap menjalankan garis besar kebijakan luar negeri Soeharto yang moderat dan independen. Banyaknya masalah di dalam negeri, semapat membuat beberapa Presiden tidak mampu memanfaatkan momentum yang terjadi di komunitas internasional. Namun, dibawah pemerintahan Presiden RI ke 7, [[Joko Widodo]]. Indonesia merubah cara pendekatannya terhadap dunia internasional dengan memprioritaskan 3 hal, pertama, penguatan kedaulatan wilayah dengan penetapan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang menjadikan Indonesia sebagai pusat kemaritiman dunia abad 21 yang menjadikan indoensia sebagai hub untuk penelitian-pegembangan, fabrikasi produk kemaritiman dan berbagai hal terkait yang didukung oleh kestabilan dan keamanan wilayah yang didukung oleh peningkatan armada militer dan pembangunan wilayah ekonomi baru didarah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal), memperdalam kualitas dan memperluas pengawasan serta perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri dengan meningkatkan pos kekonsuleran diplomatik dan terakhir, meningkatkan kerjasama ekonomi secara bilateral dan kawasan dengan memprioritaskan kerjasama ekonomi dan sektor lainnya dikawasan non tradisional dengan disepakatinya [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Chili]], [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia]], memulai negosiasi [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Turki]], [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Peru]] dan [[Perdagangan Bebas Indonesia-Eurasian Economic Union]], serta menyelesaikan negosiasi [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa]], [[Kerjasama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Kawasan Perdagangan Bebas Eropa]] dan [[RCEP]]. Indonesia juga tetap menegaskan solidaritasnya terhadap Palestina dengan membebaskan biaya masuk dan keluar barang dari dan ke Palestina serta membangun rumah sakit Indonesia di Palestina dan Muslim Rohingya dengan mengirim berbagai bantuan kemanusiaan di kamp pengungsian Cox Bazaar di [[Bangladesh]] maupun di Distrik Rakhine, [[Myanmar]]. Sekaligus menjadi fasilitator perdamaian perang saudara di Afghanistan bersama dengan Pemerintah [[Afghanistan]], sebagaimana permintaan Presiden Afghanistan, [[Ashraf Ghani]] saat berkunjung ke Indonesia tahun lalu.<ref>http://www.thejakartapost.com/academia/2018/01/10/full-text-indonesia-partner-for-peace-security-prosperity.html</ref>
 
== Peran aktif Indonesia dalam komunitas internasional ==
Tolok ukur kebijakan luar negeri kontemporer Indonesia adalah partisipasinya dalam [[Association of Southeast Asian Nations]] (ASEAN), karena Indonesia bersama [[Thailand]], [[Malaysia]], [[Singapura]], dan [[Filipina]] merupakan anggota pendirinya pada tahun 1967. Sejak itu, [[Brunei]], [[Vietnam]], [[Laos]], [[Burma]], dan [[Kamboja]] bergabung dengan ASEAN. Awalnya dibentuk untuk mempromosikan tujuan ekonomi, sosial, dan budaya bersama, ASEAN kemudian membentuk dimensi keamanan setelah Vietnam menyerbu Kamboja tahun 1979; aspek keamanan ASEAN meluas melalui pembentukan ASEAN Regional Forum tahun 1994 yang terdiri dari 22 negara, termasuk Amerika Serikat. Masalah dalam negeri Indonesia yang terus berlanjut telah mengalihkan perhatiannya dari berbagai urusan ASEAN, sehingga mengurangi pengaruhnya dalam organisasi tersebut.
 
Indonesia juga merupakan salah satu pendiri [[Gerakan Non-Blok]] (GNB) dan telah mengambil posisi moderat dalam setiap pertemuan. Sebagai Ketua GNB tahun 1992-95, Indonesia menarik GNB dari retorika konfrontasi Utara-Selatan, dan menyuarakan perluasan kerja sama Utara-Selatan dalam bidang pembangunan. Indonesia terus menjadi pemimpin Gerakan Non-Blok terdepan dan suportif.
 
Indonesia memiliki populasi Muslim terbanyak di dunia dan merupakan anggota [[Organisasi Kerja Sama Islam]] (OKI). Indonesia secara hati-hati mempertimbangkan kepentingan solidaritas Islam dalam keputusan kebijakan luar negerinya, namun pada umumnya selalu menjadi pengaruh pertimbangan di OKI. Presiden Abdurrahman Wahid berusaha membentuk hubungan baik dengan Israel dan pada bulan Agustus 2000, ia bertemu dengan mantan Perdana Menteri Israel Shimon Peres. Akan tetapi, hingga Januari 2006, belum ada hubungan diplomasi formal antara Indonesia dan Israel. Karena itu, Indonesia, bersama Malaysia, membina hubungan luar negerinya dengan Israel melalui [[Singapura]].<ref>[http://www.asiamedia.ucla.edu/article.asp?parentid=59785 AsiaMedia :: INDONESIA: Israel starts website in Indonesian<!-- Bot generated title -->]</ref>
 
Setelah 1966, Indonesia menyambut dan membuat hubungan dekat dengan negara-negara pendonor, terutama Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia, dan Jepang, melalui [[Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI)]] dan penggantinya, [[Consultative Group on Indonesia]] (CGI), yang telah menyediakan bantuan ekonomi asing dalam jumlah besar. Masalah di Timor Leste dan keeengganan Indonesia untuk menerapkan reformasi ekonomi telah memperumit hubungan Indonesia dengan negara pendonor.
 
Indonesia dari dulu merupakan pendukung kuat forum [[Asia-Pacific Economic Cooperation]] (APEC). Melalui upaya Presiden Soeharto pada pertemuan tahun 1994 di [[Bogor]], Indonesia, semua anggota APEC setuju memberlakukan perdagangan bebas di kawasan Asia-Pasifik pada tahun 2010 untuk negara maju dan 2020 untuk negara berkembang.
 
== Sengketa internasional ==
Banyak pulau di Indonesia menjadi tempat tinggal kelompok bajak laut yang sering menyerang kapal-kapal di [[Selat Malaka]] sebelah utara,<ref>[http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/4535677.stm BBC]</ref> dan nelayan-nelayannya secara ilegal sering memasuki perairan Australia dan Filipina.<ref>[http://www.afma.gov.au/management/compliance/illegal/default.htm afma.gov.au]; [http://www.abc.net.au/worldtoday/content/2006/s1637120.htm abc.net.au]</ref>
 
* [[Ambalat|Blok Ambalat]] dipersengketakan dengan [[Malaysia]] (sedang berlangsung)
* Pulau [[Sipadan]] dan [[Ligitan]] dipersengketakan dengan [[Malaysia]] (selesai; menjadi bagian dari Malaysia sesuai keputusan [[Mahkamah Internasional]])
 
Selain itu, Indonesia juga memainkan peranan penting sebagai penengah dalam [[Konflik perbatasan Kamboja-Thailand 2008|konflik perbatasan Thailand-Kamboja]] di sekitar wilayah [[Candi Preah Vihear]]
 
== ASEAN ==