Festival Istiqlal: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Hanamanteo (bicara | kontrib) + |
Hanamanteo (bicara | kontrib) + |
||
Baris 4:
== Festival Istiqlal I ==
{{Quote box
|quote = Dalam festival kali ini akan kita tampilkan berbagai ragam kegiatan penjelmaan karya dan cipta seni yang ditandai oleh ciri khas keislaman. Kedatangan Islam di Indonesia memang membawa dampak dalam berbagai bidang kehidupan yang masih membekas hingga saat ini, seperti gaya arsitektur, dalam pola dan motif hiasan, dalam karya kesastraan dan berbagai cipta karya dan cipta seni lainnya. Bahkan, dalam adat istiadat masyarakat kita pengaruh Islam juga kuat. Hal ini jelas terungkap, misalnya dalam peribahasa yang berlaku di [[Ranah Minang]]: [[:q:Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah|Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah]]. Melalui Festival Istiqlal ini penampilan kebudayaan kita yang bernafaskan Islam itu, kita laksanakan dan kita kaitkan dengan Tahun Kunjungan Indonesia 1991. Dengan demikian, festival ini lebih merupakan paparan kebudayaan Islam khas kaum muslimin Indonesia, baik bagi bangsa Indonesia sendirimaupun bangsa-bangsa lainnya. Tujuan yang ingin kita capai adalah timbulnya kesadaran akan jatidiri khas umat Islam Indonesia, terpeliharanya saling pengertian antara berbagai umat beragama serta makin kukuhnya persahabatan antara bangsa-bangsa. Festival seperti ini merupakan festival yang pertama kali kita selenggarakan di tanah air kita. Festival ini bukanlah festival negara ataupun festival pemerintah, tetapi festival masyarakat sendiri. Kesemarakan festival ini bergantung kepada dukungan umat Islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
|source = – Soeharto dalam pidato pembukaan.{{sfn|Ramli|2007|p=35}}
|width = 30%
|align = right
}}
[[Berkas:President Suharto, 1993.jpg|200px|ka|jmpl|Presiden Soeharto.]]
Festival Istiqlal I diselenggarakan dalam rangka, menurut [[Soeharto]] dalam pidato pembukaannya,{{sfn|Ramli|2007|p=35}} menyukseskan [[Tahun Kunjungan Indonesia]] 1991;{{sfn|Ramli|p=39}} dimulai selama sebulan sejak 15 Oktober-15 November 1991. Pembukaan festival ini ditandai dengan penulisan kalimat basmalah pada [[Al-Qur’an]] [[Mushaf Istiqlal]] oleh Presiden [[Soeharto]]. Banyak kegiatan yang berlangsung dalam festival kali ini, yaitu pameran arsitektur, pameran seni rupa tradisional dan modern, pameran Al-Qur’an, pameran naskah dan buku, pameran tata boga, dan pameran busana muslimah, pertunjukan tilawah, teater, musik dan tarian, membaca puisi, pemutaran film, forum ilmiah, simposium, diskusi, ceramah, perlombaan azan, dan perlombaan kaligrafi. Beberapa pementasan seni dilaksanakan di [[Taman Ismail Marzuki]]. Karya seni Islam yang ditampilkan tidak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga berasal dari [[Malaysia]], [[Brunei Darussalam]], [[Singapura]], dan [[Pakistan]]. Festival kali ini dikunjungi oleh sekitar 6 juta orang, 6 kali lipat dari target semula. Selama 2 minggu pertama, pengunjung rata-rata mencapai 200.000 orang per hari. Pada 2 minggu terakhir, pengunjung meningkat 2 kali lipatnya hingga 400.000 orang per hari.{{sfn|Nata dkk.|2003|p=254-256}}
[[Pos Indonesia]] turut merayakan festival kali ini dengan menerbitkan satu [[prangko]] bernilai Rp200 dan [[sampul hari pertama]] bernilai Rp500.<ref>[[Pos Indonesia]] (1991) Brosur Penerbitan Prangko Festival Istiqlal 1991</ref>
Menurut Bambang Asrini Widjanarko, yang menulis sebuah berita untuk ''[[Kompas]]'', sejak awal tiada itikad bahwa
[[Taufik Abdullah]], dalam ''Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok'' (1993) yang dikarang oleh Yustiono,{{sfn|Yustiono|1993}} menandaskan bahwa proses pembaruan pemikiran kesadaraan keagamaan saat itu ialah adanya transformasi kesalehan individual yang transedental menjadi berkonteks sosial serta budaya. Makna simboliknya maupun penyaluran nilai-nilai seni maupun budayanya adalah sebuah transmisi kesadaran intelektualitas umat Islam. Festival Istiqlal, menurut Taufik, merupakan sebuah ajang dialog yang tak ada habisnya melalui berbagai pameran, kerajinan, arsitektur, film, sastra, seni rupa, seni pertunjukan maupun jenis ungkapan artistik lainnya yang semata mengungkap dualisme antara bertemunya Islam dan Indonesia secara tradisonal maupun yang modern. Dengan kata lain, Festival Istiqlal-lah wajah paling otentik, bagaimana Islam telah 'kembali' menemukan identitasnya sebagai umat mayoritas. Dengan demikian, Islam dalam perspektif kebangsaaan maupun negara, bersama bertemu memaknai spiritualitas kekinian.<ref name="kompas1"/>
|