Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (1945): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
IqbalMut (bicara | kontrib)
Perkenalan asal tokoh
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
IqbalMut (bicara | kontrib)
Sejarah: Pengenalan organisasi tokoh m natsir
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 35:
Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti [[MIAI]] (Madjlisul Islamil A'laa Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang [[Sarekat Islam|Partai Sarekat Islam Indonesia]] (PSII) dan [[Partai Islam Indonesia]] (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam [[Putera]] (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.
 
Masyumi pada zaman pendudukan [[Jepang]] belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empatGabungan organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu [[Persatun Islam]] (PERSIS), [[Nahdlatul Ulama]] (NU), [[Muhammadiyah]], [[Persatuan Umat Islam]], dan [[Persatuan Umat Islam Indonesia]].<ref>[http://www.al-shia.com/html/id/service/Info-Universitas/universitas%20Islam%20Indonesia.htm Sejarah Singkat Universitas Islam Indonesia]</ref> Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian [[Abadi (surat kabar)|Abadi]] pada tahun 1947.
 
[[Nahdlatul Ulama]] (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, [[Hasyim Asy'arie|KH Hasyim Asy'arie]], terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari. Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan [[Pengurus Besar Nahdlatul Ulama]] (PBNU) pada tanggal [[5 April]] [[1952]] akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja. Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara politis dan sempat merenggang pada [[Pemilu 1955]]. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun [[1960]].
Baris 41:
=== Di bawah Kabinet Natsir ===
{{main|Kabinet Natsir}}
Presiden Soekarno memberikan tanggung jawab pembentukan [[Kabinet Pemerintahan Indonesia|kabinet pemerintahan]] pertama Indonesia pasca kemerdekaan kepada tokoh [[Perstuan Islam]] (PERSIS) yang menjabat sebagai Ketua Umum Masyumi, [[Mohammad Natsir]].{{sfn|Feith|1962|p=148}} Dengan 49 kursi parlemen, Masyumi merupakan partai terbesar yang menduduki kursi DPR. Sebagian besar pengamat berasumsi, bahwa kurangnya persentase mayoritas Masyumi di parlemen menghilangkan hak mereka untuk memerintah secara sepenuhnya, oleh karena itu mereka membutuhkan pragmatisme politik untuk berusaha membangun pemerintahan koalisi. [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI) yang merupakan partai terbesar kedua di parlemen, sempat dipertimbangkan sebagai mitra koalisi Masyumi dalam kabinet.{{sfn|Lucius|2003|p=75}}
 
Sebagai formatur, pada awalnya Natsir mencoba membentuk kabinet dengan menggabungkan Masyumi bersama PNI, namun serangkaian perselisihan mengenai pembagian posisi kunci di kementerian menyebabkan upaya-upaya ini gagal. Natsir kemudian mengubah strateginya, dan dengan berani mengganti rencananya untuk mengatur kabinet dengan menemptkan para anggota Masyumi sebagai inti, ditambah dengan perwakilan non-partai dan anggota dari banyak partai kecil di parlemen, sedangkan PNI diabaikan dalam rencananya.{{sfn|Feith|1962|p=150}} Hasilnya, ia mampu membentuk kabinet dimana kader-kader Masyumi memegang jabatan [[Perdana Menteri Indonesia|Perdana Menteri]], kemudian posisi kunci seperti [[Menteri Luar Negeri Indonesia|Menteri Luar Negeri]], [[Menteri Keuangan Indonesia|Keuangan]], dan [[Menteri Agama Indonesia|Agama]]. Kelima jabatan tersebut diberikan kepada individu-individu yang tidak memiliki hubungan dengan partai tertentu, dan sembilan kursi lainnya dialokasikan ke beberapa partai kecil, masing-masing terdiri dari [[Partai Sosialis Indonesia]] (16 kursi), [[Partai Indonesia Raya]] (9 kursi), [[Parkindo]] (4 kursi), [[Persatuan Indonesia Raya]] (18 kursi), Fraksi Katolik (8 kursi), Fraksi Demokrasi (14 kursi), dan [[Partai Sarekat Islam Indonesia]] (5 kursi). Pembagian dua jabatan menteri yang relatif sederhana ke PSI memungkiri fakta bahwa kelima menteri tanpa afiliasi partai dianggap telah berbagi agenda politiknya.{{sfn|Feith|1962|p=151}}