Kabupaten Tanah Laut: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler |
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler |
||
Baris 32:
==== Sebelum Masehi ====
Sekitar kurun waktu 4000 SM Kebudayaan Barito muncul di sepanjang pesisir Teluk Sarunai purba di Kalimantan Selatan, termasuk di dalamnya dataran yang kini menjadi Kabupaten Tanah Laut masuk ke dalam peradaban tersebut.<ref name=":3">
==== Zaman Kerajaan ====
Baris 39:
Sekitar tahun 1387 wilayah Tanah Laut menjadi bagian dalam [[kerajaan Negara Dipa]] yang didirikan Mpu Jatmika sebagai bawahan Majapahit. Negeri ini merupakan peleburan dari kerajaan Kuripan dan [[Kerajaan Tanjungpuri|Tanjungpuri]], dengan pusat pemerintahannya terletak di Amuntai. Tahun 1478 Negara Dipa berubah menjadi [[Kerajaan Negara Daha|Negara Daha]].<ref name=":3" />
Selanjutnya pada tahun 1525 wilayah Tanah Laut menjadi bagian dari [[Kesultanan Banjar|Kerajaan Banjar]] dengan [[Suriansyah dari Banjar|Pangeran Samudra]] sebagai rajanya. Pada tahun 1526 Pangeran Samudra memeluk Islam, lalu mengganti namanya menjadi [[Suriansyah dari Banjar|Sultan Suriansyah]]. Banjar pun berubah menjadi [[kesultanan]].<ref name=":3" /> Tanah Laut menjadi salah satu wilayah teritorial Negara Agung [[kesultanan Banjar]] pada sekitar abad ke 15-17, terdiri dari:<ref name=":1">
# Satui
Baris 45:
# Maluka
Di masa sekitar abad 17 daerah Tabanio merupakan daerah yang strategis dan penting bagi perekonomian Kerajaan Banjar. Daerah ini merupakan daerah lintas perdagangan seperti hubungan ke Jawa, Pesisir Kalimantan, Sulawesi, bahkan Sumatera dan Malaya serta luar Nusantara. Tabanio menjadi penting dari segi perdagangan, angkutan lada, intan, emas, dan hasil hutan yang menghubungkan ''(transito)'' Banjarmasin dengan tempat-tempat pelabuhan di Jawa.<ref name=":7">
Pada tahun 1602 Kompeni [[Vereenigde Oostindische Compagnie|VOC]] Belanda tiba di Nusantara.<ref name=":3" /> [[Hindia Belanda]] mendirikan [[Benteng Tabanio]] di sekitar muara Sungai Tabanio sekitar tahun 1789,<ref name=":7" /> terkait dengan perjanjian antara Kesultanan Banjar semasa pemerintahan Pangeran Nata Dilaga dan Hindia Belanda tanggal 6 Juli 1779, dimana VOC mendapatkan konsesi berupa monopoli atas perdagangan di Banjar serta berhak membangun sebuah benteng. Pemicu kehadiran Hindia Belanda di Tanah Laut adalah potensi perkebunan lada, perikanan di Tabanio dan tambang emas Pelaihari.<ref name=":4">
Pada tahun 1812, Gubernur Jenderal [[Thomas Stamford Raffles]] menunjuk [[Alexander Hare]] sebagai wakil Inggris di Kesultanan Banjar.<ref>
Alexander Hare mendatangkan para buruh imigran penambang timah asal Pulau Bangka dan Belitung ke Tanah Banjar, termasuk Tanah Laut. Mereka dipekerjakan untuk menggarap areal tambang batubara dan emas yang sempat dikuasai Belanda. Kelak para imigran Tiongkok ini akhirnya dikenal sebagai [[Orang Cina Parit|Cina Parit]] di Kota Pelaihari.<ref name=":sanusi" /> Penguasaan Hare atas Maluka berlangsung sampai akhir 1816 yakni saat Inggris meninggalkan Banjarmasin.
Pada tahun 1823 diadakan perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dengan [[Sultan Adam]] yang salah satu isinya ialah wilayah yang berada di wilayah Tanah Laut menjadi bagian di bawah pemerintahan langsung Hindia Belanda.<ref name=":1" />
Tahun 1859 [[Perang Banjar]] berkobar di Kalimantan Selatan.<ref name=":3" /> Pangeran Hidayat dan Tumenggung Jalil, ditambah Pangeran Antasari (cucu Pangeran Amir) dan beberapa tokoh lain memimpin penyerangan terhadap tambang-tambang dan pos-pos Belanda di Banjar. Tokoh pejuang [[Demang Lehman|Kiai Demang Leman]] serta Haji Buyasin dan Kiai Langlang dari Tanah Laut berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio pada Agustus 1859.<ref name=":4" /> Ketika Belanda datang kembali dengan bantuan kapal perang Bone untuk merebut Benteng Tabanio, Haji Buyasin melawannya dengan gigih, sehingga serangan Belanda ini Gagal. Pada bulan Desember 1859 Benteng Haji Buyasin di Takisung diserang secara besar-besaran dan dapat di hancurkan. Haji Buyasin menyingkir ke daerah Pleihari yang akhirnya sampai ke daerah Bati-Bati.<ref>
Selanjutnya pada tahun 1860, tepatnya sejak tanggal 11 Juni 1860 Hindia Belanda mengumumkan pembubaran kesultanan Banjar secara sepihak.<ref name=":4" /><ref name=":3" />
Baris 61:
Ketertarikan Hindia Belanda di Tanah Laut selain pertanian dan rempah-rempah, terutama adalah karena Tanah Laut adalah salah satu daerah luas dan sebagai penghasil emas, besi dan platina. Hasil emasnya bahkan lebih banyak daripada di tempat lain.<ref name=":8" />
Sejak saat diserahkan oleh Sultan Kerajaan Banjar kepada pemerintah Hindia Belanda, wilayah Tanah Laut terbagi menjadi enam belas distrik. Distrik yang luas dan padat penduduk dipimpin oleh seseorang dengan gelar ''Kiaij'' (Kiai), sementara wilayah yang lebih kecil dikendalikan oleh ''Pembukels'' (Pembakal). Para pemimpin ini bertanggung jawab kepada pemegang pos Belanda di [[Distrik Tabanio]] yang saat itu sebagai kota utama/ibu kota.<ref name=":2">
Kemudian pemerintahan sipil dipindah ke [[Distrik Pleihari|Distrik ''Plaijharie'']] (Pelaihari), ketika benteng Hindia Belanda di Tabanio berhasil direbut oleh para pejuang kesultanan Banjar. Distrik ''Plaijharie'' awalnya berstatus sebagai distrik kecil yang hanya dipimpin oleh ''Pembukels'', kemudian diubah statusnya menjadi distrik besar. Afdeling Tanah Laut akhirnya hanya terdiri dari tiga distrik yang semuanya dipimpin oleh ''Kiaij'', yaitu: ''Plaijharie'', [[Distrik Maluka|Maluka]] dan [[Distrik Satui|Satui]].<ref name=":2" />
Menurut ''[[Lembaran negara|Staatsblad]]'' (Lembaran Negara Hindia-Belanda) Tahun 1849 no. 40, wilayah Tanah Laut termasuk dalam Afdeling Borneo Selatan dan Timur (''zuid-ooster-afdeeling'') beribukota di Banjarmasin, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tanggal 27 Agustus 1849, No. 8.<ref>
Dalam tahun 1868, Afdeling Tanah-Laut membawahi Distrik Pleiarie, Distrik Maloeka dan Distrik Tabaneo.<ref name="Almanak 41">
Berdasarkan ''Staadblad'' tahun 1913 No. 199 dan 279, Pelaihari menjadi ''Onderafdeling Pleihari'' dengan ibukota Pleihari di bawah Afdeling Banjarmasin. Afdeling Banjarmasin meliputi wilayah Banyu Irang, Martapura, Tabanio, bagian kanan daerah Sungai Barito, Pulau Petak sampai dengan Laut Jawa.<ref name=":5">
Tahun 1938 Hindia Belanda menyatukan seluruh administrasi di Kalimantan menjadi satu provinsi bernama [[Kalimantan|Borneo]] (''Gewest Borneo''), yang beribukota di Banjarmasin. [[Bauke Jan Haga|Dr. Bauke Jan Haga]] dilantik sebagai gubernur pertamanya. Kemudian tahun 1939 [[Perang Dunia II]] dimulai, dan pada tahun 1940 Pusat pemerintahan Belanda di Eropa jatuh ke tangan Jerman NAZI.<ref name=":3" />
==== Zaman Pendudukan Jepang ====
Pada tahun 1941 Kekaisaran [[Jepang]] memulai penaklukkan Asia Timur Raya. Pada tahun 1942 seluruh Kalimantan dikuasai oleh pasukan Jepang. Armada Jepang kemudian mendirikan markas di Banjarmasin dan Balikpapan.<ref name=":3" /> Pasukan yang melalui jalan laut dan mendarat di Jorong adalah yang berasal dari kesatuan Angkatan Laut (''Kaigun'') yang tiba Pelaihari tanggal 13 Februari 1942 dan terus ke Banjarmasin.<ref name=":6">
Daerah di Tanah Laut yaitu Maluka Pada masa pendudukan Jepang di Kalimantan Selatan, dijadikan pemerintah pendudukan Jepang sebagai lapangan terbang dalam rangka Perang Asia Timur Raya. Barisan ''Kinrohosi'' dan ''[[Romusha]]'' dikerahkan Jepang untuk membuat landasan pacu (bandara Maluka), dan bunker-bunker pertahanan.<ref name=":6" /> Jepang juga mendirikan pabrik baja dan pabrik kertas di daerah Bajuin.<ref>
Pada tahun 1945 Perang Dunia II berakhir dan Jepang pun menyerah kepada Sekutu. Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta. Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda sebagai bagian dari negara yang baru lahir tersebut. Soekarno-Hatta melantik Pangeran Muhammad Noor sebagai gubernur Kalimantan.<ref name=":3" />
|