Larvul Ngabal: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 10:
== Sejarah ==
Menurut ''tom
Sebelum kedatangan Kasdeu dan Jangra, penduduk Kepulauan Kei telah hidup bermasyarakat dalam permukiman-permukiman besar maupun kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang ''hala'ai'' (pembesar).{{efn-ua|Secara harfiah ''hala'ai'' berarti "membesar", namun mungkin saja ''hala'ai'' hanyalah variasi pengucapan kata "''ila'ai''" (''enla'ai'' dalam bahasa Kei modern), semakna dengan kata "''ila'a''" dalam [[bahasa Fordata]] yang berarti "si besar" atau "yang besar", mirip dengan gelar ''ki ageng'' di Jawa.}} Beberapa permukiman bahkan sudah membentuk persekutuan atas dasar kekerabatan atau kerjasama, dan ada pula yang sudah memiliki hukum adat sendiri. Meskipun demikian, belum ada satu tatanan yang seragam atau diterima secara luas, sehingga seringkali berlaku hukum rimba. Masyarakat Kei menyebut hukum rimba sebagai ''hukum Dalo Ternat'' (hukum Jailolo-Ternate).{{efn-ua|Frasa "hukum Jailolo-Ternate" bukan berarti hukum yang berlaku di Jailolo atau di Ternate, melainkan mengacu pada perilaku sewenang-wenang orang Ternate terhadap suku-suku bangsa lain yang tunduk di bawah kekuasaannya. Jailolo adalah kerajaan Maluku tertua yang dikenal oleh leluhur masyarakat Kei, cikal bakal dari empat kerajaan yang berpusat di Maluku Utara. Sementara Ternate adalah salah satu dari empat kerajaan turunan Jailolo yang pengaruhnya meluas ke arah barat dan selatan; pengaruh Kerajaan Tidore meluas ke arah timur; sementara pamor dua kerajaan lainnya lambat laun meredup. Masyarakat Kei sendiri memandang Kepulauan Kei sebagai negeri di "''Dalo soin Ternat wahan''" (pinggiran Jailolo, perbatasan Ternate).}}
|