Sejak masa kepemimpinan H Mardiyanto, Pemerintah [[Provinsi]] [[Jawa Tengah]] menerapkan aturan agar setiap siswa (dari SD sampai SMA) mendapatkan pelajaran [[Bahasa Jawa]]. Namun kebijakan ini menemui kendala yakni persoalnpermasalahan dialek bahasa. Sebagai contoh, anak yang lahir di [[Tegal]] otomatis bahasa ibu-nya adalah Bahasa Tegal, bukan [[Yogyakarta]] atau [[Solo]]. Jika Pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah hanya mengacu pada bahasa standar saja, tentu para siswa akan susah menyesuaikan dengan kultur yang telah mereka terima sejak lahir. Akhirnya muncul anggapan, pelajaran Bahasa Jawa di sekolah merupakan 'paksaan' agar menggunakan bahasa-nya orang ''wetanan''.