Maria Catarina Sumarsih: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 8:
== Tragedi Semanggi I ==
Pada hari Jumat, 13 November 1998, Sumarsih mendapat telepon dari Wawan bahwa keadaan sedang genting di depan Universitas Atma Jaya, dengan aparat militer mengepung para mahasiswa yang sedang berunjuk rasa.<ref name=":1">{{Cite book|title=Saatnya Korban Berbicara: Menatap Derap Merajut Langkah|last=Chamim|first=Mardiya|publisher=Jaringan Solidaritas Untuk Kemanusiaan|year=2009|isbn=|location=Jakarta|pages=71-73}}</ref> Lewat telepon itu, Wawan mengabarkan bahwa ia tidak akan pulang. Sekitar pukul 17.00, Sumarsih mendapat telepon kedua yang datang dari teman Wawan bernama Yvone. Dari pembicaraan tersebut, Yvone menanyakan keberadaan Wawan dan ia mengakhiri pembicaraan dengan berjanji mencari keberadaan Wawan. Tidak lama setelah telepon dari Yvone, Sumarsih mendapat telepon dari Romo Sandiyawan Sumardi SJ yang mengabarkan bahwa Wawan telah tertembak dan telah dibawa ke [[Rumah Sakit Jakarta]].<ref>{{Cite book|title=Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I|last=-|first=KontraS|publisher=KontraS|year=2009|isbn=|location=Jakarta|pages=5}}</ref> Sumarsih bersama dengan Arief, Irma dan adiknya sampai di Rumah Sakit Jakarta dan segera menuju basemen Rumah Sakit. Di ruang jenazah basemen Rumah Sakit Jakarta, Wawan telah diletakkan di keranda terbuka, lubang bekas penembakan di bagian dada kiri terlihat jelas dari kaos putih yang ia kenakan
Menurut kesaksian Ita F. Nadia, seorang senior di [[Tim Relawan untuk Kemanusiaan]] (TRuK), == Aktivisme ==
Sumarsih adalah sosok yang berani. Selama bertahun-tahun Sumarsih berjuang bersama suami, Arief Priyadi, dan para orang tua korban lainnya, menuntut keadilan atas kematian putranya. Kegiatan aktivisme Sumarsih diawali dengan partisipasinya berdemonstrasi aksi damai di bundaran Hotel Indonesia setiap hari Jumat, walaupun aksi damai ini hanya dapat diikuti 2 kali karena aksi tersebut dianggap sebagai bagian dari Gerwani.<ref>{{Cite book|title=Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I|last=-|first=KontraS|publisher=KontraS|year=2009|isbn=|location=Jakarta|pages=12-13}}</ref> Sejak saat itu, Sumarsih memulai perjuangan menuntut keadilan bersama dengan keluarga korban [[Tragedi Trisakti]], Semanggi I dan Semanggi II (TSS).
Sumarsih melakukan pertemuan dengan Agustin Teras Narang, S.H., yang pada saat itu menjabat sebagai Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR-RI. Pertemuan ini menjadi permulaan diangkatnya kasus Semanggi dan Trisakti, sehingga akhirnya DPR-RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) tentang Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.<ref>{{Cite book|title=Melawan Pengingkaran|last=-|first=KontraS|publisher=KontraS|year=2006|isbn=|location=Jakarta|pages=56}}</ref> Pada hari Senin, 9 Juli 2001, Ketua Pansus melaporkan bahwa kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II akan dibahas dalam sidang Paripurna DPR-RI, dan dari hasil sidang ini dinyatakan bahwa kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tidak masuk kedalam klasifikasi pelanggaran HAM berat, sehingga proses penyelesaiannya dapat dilakukan dengan pengadilan militer.<ref>{{Cite book|title=Melawan Pengingkaran|last=-|first=KontraS|publisher=KontraS|year=2006|isbn=|location=Jakarta|pages=57}}</ref> Tidak setuju dengan rekomendasi tersebut, Sumarsih melempar 3 butir telur ke arah tempat duduk Fraksi TNI/Polri, Pimpinan sidang dan Fraksi Partai Golkar. <ref>{{Cite book|title=Melawan Pengingkaran|last=-|first=KontraS|publisher=KontraS|year=2006|isbn=|location=Jakarta|pages=57-58}}</ref>
Advokasi Sumarsih dan keluarga korban juga dibantu oleh rekan-rekan [[Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan|Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)]] dan TRuK yang melakukan audiensi ke Mahkamah Agung pada tanggal 4 September 2001. Melalui audiensi yang dilakukan, dinyatakan bahwa Rekomendasi DPR-RI mengenai kasus TSS tidak mengikat dan juga tidak memiliki kekuatan hukum.<ref name=":2">{{Cite book|title=Melawan Pengingkaran|last=-|first=KontraS|publisher=KontraS|year=2006|isbn=|location=Jakarta|pages=58}}</ref> Selain mengunjungi Mahkamah Agung, Sumarsih dan keluarga korban dengan beberapa lembaga lainnya mengunjungi [[Komisi Nasional Hak Asasi Manusia|Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)]] yang akhirnya menghasilkan terbentuknya KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, walaupun mereka tidak berhasil memanggil jenderal yang diduga melakukan pelanggaran HAM.<ref name=":2" />
Selain melakukan advokasi untuk kasus-kasus [[pelanggaran HAM]], Sumarsih juga pernah melemparkan telur busuk kepada pimpinan Rapat pleno di [[DPR]] RI , karena mereka mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan kasus [[Tragedi Semanggi|Semanggi I dan II]], dan [[Tragedi Trisakti|kasus Trisakti]] bukan pelanggaran HAM berat.
|