Wikipedia:Bak pasir: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
sejarah hukum indonesia |
sejarah hukum indonesia |
||
Baris 472:
Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), p. 16.
________________________________________
<ref>Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
</ref>11
Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai
konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda.
Baris 514:
Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1960), p. 67.
________________________________________
<ref>Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
</ref>12
diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas
kuasa Undang Undang Dasar ini.
Baris 936:
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
20
<ref>Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996.
Baris 1.001:
Grafika, 2000.
Widnyana, I Made, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco,
1993.</ref><ref><ref>Rujukan</ref></ref>
'''ORDE REFORMASI'''
Sampai saat ini, perjalanan birokrasi Indonesia selalu menghadirkan dua penilaian yang hampir sama kuat. Pada satu sisi, birokrasi diakui berfungsi dan berperan besar dalam menopang perjalanan pembangunan sejak Indonesia merdeka dan apalagi di masa Orde Baru. Namun di sisi yang lain, kritik tajam juga selalu muncul dan seakan tak pernah henti, terutama berkait masalah inefisiensi pelaksanaan fungsi manajemen pemerintahan. Bahkan, penilaian negatif itu justru lebih kuat dan kemudian menjadi stigma “abadi“ birokrasi kita.Stigma itulah yang menampilkan performa birokrasi yang lamban dan kurang bertanggung jawab. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri pernah mengeluhkan birokrasi yang dipimpinnya yang belum juga berubah secara signifikan, meskipun reformasi pemerintahan telah bergulir selama delapan tahun. Birokrasi Indonesia masih bekerja seperti yang biasa dikerjakan selama ini: lamban bertindak dan lamban memproses sesuatu yang pada akhirnya lamban mengambil keputusan, boros waktu, dan tidak efisien (Kompas, 26/5/2006).
Bahkan, survei yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultacy Ltd, Indonesia menduduki peringkat kedua terburuk dalam hal birokrasi berinvestasi. Hasil survei menunjukkan, berinvestasi di Indonesia harus melalui prosedur yang panjang sehingga membutuhkan dana dan biaya yang besar. Indonesia hanya lebih baik dari India. India dinilai sebagai negara dengan birokrasi terburuk dengan nilai 8,95, sedangkan Indonesia memperoleh nilai 8,20. sementara Singapura menjadi negara dengan birokrasi terbaik dengan nilai 2,20, diikuti Hongkong dengan nilai 3,10 (Kompas, 2/7/2005).Namun kini jaman telah berubah.
Baris 1.009:
Peter Osborne dalam Reinventing Government mengurai lebih dalam tentang pergeseran mind set birokrasi itu. Osborne menyebut perubahan yang demikian sebagai pembaruan (reinvention) pemerintahan. Pembaruan di sini tidak diterjemahkan secara sempit sebagai kata lain dari reformasi, tidak pula bersinonim dengan kata perampingan, swastanisasi, atau sekadar menekan pemborosan dan kecurangan. Makna pembaruan jauh lebih dalam dari itu semua. Pembaruan adalah mengubah DNA organisasi pemerintah, dari sistem yang birokratis menjadi sistem yang bersifat wirausaha. Pembaruan mendorong pemerintah untuk memiliki perilaku inovatif, dan secara terus-menerus memperbaiki kinerjanya tanpa harus didorong dari luar.
Salah satu hasil dari pembaruan pemerintahan tersebut adalah pergeseran paradigma pemerintahan dalam melihat fungsi dan tugasnya. Osborne bahkan telah melangkah lebih jauh dalam melihat fungsi dan tugas-tugas birokrasi. Di sini, ada dua tugas pokok yang diemban pemerintah, yaitu tugas pelayanan (service provider) dan tugas pengarahan (steering). Bagi Osborne, seiring dengan perkembangan dalam sistem birokrasi, sedikit demi sedikit, pemerintah justru perlu mengurangi peran-peran pelayanannya, dan melakukan penguatan pada fungsi-fungsi pengarahan. Pemerintah, pada akhirnya, akan lebih berperan sebagai pengarah daripada pelaksana. Selanjutnya, tugas-tugas pelayanan akan diberikan kepada masyarakat sepanjang mereka mampu melaksanakannya. Pola bagi tugas yang demikian yang sejatinya merupakan esensi dari pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat ikut dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan.
'''Menuju Era perubahan'''
Seiring dengan arus deras reformasi yang melanda Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, berkembang pula satu terminologi yang memenuhi wacana manajemen pemerintahan sekaligus mewarnai agenda politik bangsa ini, yang menuntut perubahan mendasar dalam sistem birokrasi kita. Terminologi itu tak lain adalah good governance. Gegap gempita terma ini lantas menghiasi perbincangan tentang arah dan masa depan birokrasi Indonesia. Inilah gambaran cita-cita luhur tentang profil birokrasi yang hendak diwujudkan oleh bangsa ini. Bahkan, saat ini Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tengah menyusun modul penerapan good governance yang berisi pengalaman berbagai daerah yang sedang dibina Menneg PAN dan bisa dijadikan contoh bagi daerah lain.
Kalau melihat potret beberapa daerah, kita mungkin bisa berharap dari geliat reformasi birokrasi di daerah. Tidak semua birokrasi buruk. Toh nyatanya ada juga birokrasi di daerah yang bisa memberikan pelayanan publik dengan cukup baik. Kabupaten Solok, misalnya. Beberapa hal yang dapat dipetik dari keberhasilan Kabupaten Solok di antaranya adalah peran bupati dalam keberhasilan penerapan program daerah, pelayanan satu pintu plus, pemberian tunjangan daerah, serta transparansi penyelenggaraan pemerintah dan partisipasi masyarakat.Salah satu hasil nyata yang bisa dilihat dari Kabupaten Solok adalah peran bupati dalam memberikan contoh dan teladan dalam berbagai tindakan yang menggambarkan good governance. Misalnya, bupati bersedia mengurangi penghasilannya sampai 87 persen, yang kemudian mampu meredam gejolak yang timbul di beberapa kalangan pejabat yang merasa penghasilannya kurang <ref>(Kompas, 26/5/2006).</ref>
Contoh lain yang dapat ditiru adalah Kabupaten Sragen. Di kabupaten itu semua sumber daya diberdayakan dengan maksimal. Beberapa hasil nyata yang bisa dilihat adalah keuangan mikro untuk usaha kecil menengah, di bidang pertanian dihasilkan beras organik, dan kantor pelayanan terpadu. Untuk keuangan mikro, Pemerintah kabupaten Sragen menyediakan Rp 72,7 miliar yang diputar untuk membantu usaha kecil menengah. Sementara di kantor pelayanan terpadu, masyarakat bisa mendapatkan 62 jenis pelayanan di satu tempat.
Dengan dua contoh keberhasilan itu, apakah reformasi birokrasi telah cukup, terlebih jika tolok ukurnya hanya dengan pelayanan publik yang baik? Tentu saja jawabannya tidak. Melalui good governance, reformasi birokrasi harus dijalankan secara menyeluruh. Meskipun demikian, implementasi konsep good governance tidak pula semudah membalik telapak tangan, walau bukan berarti tidak mungkin. Sebagai aktivitas memerintah, good governance memenuhi empat aspek. Pertama, prinsip keadilan sosial, termasuk di dalamnya sistem pengadilan yang independen dan tidak pandang bulu. Kedua, kebebasan ekonomi beserta pemerataan hasil pembangunan. Ketiga, kemajemukan politik yang ditandai dengan partisipasi masyarakat dan prinsip equity (kesamaan). Sementara keempat, adalah prinsip akuntabilitas pemerintah.
Sementara dalam tataran praksis, upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik itu dapat diukur berdasarkan sepuluh sendi yang menjadi karakter birokrasi yang diwujudkan melalui konsep ini. Kesepuluh sendi tersebut merupakan hasil kesepakatan dari Asosiasi Pemerintah Kota Se-Indonesia, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Se-Indonesia, dan Asosiasi Pemerintah Propinsi Se-indonesia pada tahun 2001, yang terdiri atas:
'''Pertama,''' prinsip akuntabilitas. Good governance meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Birokrasi pun muncul sebagai sosok yang bertanggung jawab terhadap kinerjanya demi kemaslahatan seluruh masyarakat.
'''Kedua,''' efisiensi dan efektivitas. Melalui good governance, birokrasi didorong untuk menggunakan segala sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab guna menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat. Tidak ada lagi rantai birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Tidak ada lagi prosedur administrasi yang njelimet. Seluruh tata administrasi pemerintahan dibangun menuju prinsip better, faster, cheaper (lebih baik, lebih cepat dan lebih murah).
'''Ketiga,''' partisipasi. Good governance mendorong setiap warga untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam implementasinya, prinsip ini berhadapan vis a vis dengan apatisme dan skeptisme publik. Publik tidak lagi dipandang sebagai objek pembangunan semata, lebih dari itu, mereka adalah subjek sekaligus partner bagi pemerintah dalam mewujudkan cita-cita pemerintahan yang madani.
'''Keempat''', wawasan ke depan. Dalam prinsip ini, good governance memandu birokrat membangun daerahnya berdasarkan visi, misi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan. Dengan demikian, warga pun merasa memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan daerahnya. Seorang birokrat dituntut untuk memiliki wawasan yang futuristik, yang disertai dengan pola kerja yang sistematis. Jiwa dinamis seorang birokrat ikut mewarnai kerja organisasi. Seorang birokrat haruslah up to date dengan segala perkembangan jaman.
'''Kelima,''' transparansi. Berlandaskan pada prinsip good governance, birokrasi mendorong kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dengan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Krisis kepercayaan merupakan salah satu kendala besar yang dihadapi birokrasi Indonesia dewasa ini dalam setiap implementasi serta sosialisasi kebijakan mereka. Alhasil, sense of belonging dan sense of responsibility masyarakat terhadap pembangunan pun menjadi rendah.
'''Keenam,''' profesionalisme. Good gonernance meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. Birokrat memiliki kejelian dalam melihat sumber-sumber baru yang potensial dan mampu mengkombinasikan sumber daya yang ada menjadi sesuatu yang optimal, tidak cuma mengeluh terhadap berbagai kekurangan yang ada, seperti anggaran yang terbatas. Birokrat yang tampil kemudian adalah mereka yang mampu mengoptimalkan keterbatasan sumberdaya yang ada menjadi sebuah gabungan kekuatan sinergis (resource mix) dan mempunyai produktivitas tinggi.
'''Ketujuh,''' penegakan hukum. Mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, tanpa melihat perbedaan ras dan stratifikasi sosial, ekonomi dan politik.
'''Kedelapan,''' daya tanggap. Meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Seorang birokrat haruslah pribadi yang sensitif dan responsif melihat semua peluang dan tantangan. Kemampuan berpikir jangka panjang dan penguasaan atas berbagai dinamika yang terjadi merupakan sebuah keharusan.
'''Kesembilan''', kesetaraan. Pemerintahan di sini memberi penekanan pada aspek keadilan ekonomi, di mana negara memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pembangunan tidak sekadar berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melainkan pada pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Kesepuluh, pengawasan. Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan masyarakat luas. Pembangunan bukan monopoli pemerintah, melainkan buah sinergi antara pemerintah-masyarakat-swasta. Di sini, pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator dan regulator.
'''ORDE BARU'''
----
Sesungguhnya istilah penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) yang bercirikan pemerintah yang bersih (clean government) atau bebas dari praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) serta responsif dan inovatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di masa Orde Baru sudah dikenal dan telah menjadi wacana. Namun, ia tidak dapat dipraktekkan karena sistem politik rezim Orde Baru bercorak otoriter dan sentralistik, sementara penerapan good governance, tidak mungkin tidak, harus didukung oleh sistem politik yang demokratis.
Baris 1.033 ⟶ 1.035:
'''II. KONSEP'''
Williamson (1994) mengungkapkan bahwa governance merupakan sistem yang diimplementasikan akibat adanya kontrak hubungan antara setiap pihak (stakeholders) dalam hubungan kelembagaannya. Sementara hubungan kelembagaan yang dimaksud adalah hubungan organisasional yang memiliki insentif struktural dan interaksi publik di dalamnya. Dalam substansi yang lebih kurang sama United Nations Development Programme (UNDP, 1997) mendefinisikan governance sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila pengelolaan sumberdaya alam dan masalah-masalah publik dilakukan secara efektif, efisien yang merupakan respons terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan yang efektif, efisien dan responsif terhadap kebutuhan rakyat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan. Untuk itu, pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dan pengelolaan masalah-masalah publik mesti didasarkan pada keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan. Dengan begitu, good governance merupakan tuntutan imperatif, yang harus dilaksanakan.
Baris 1.043 ⟶ 1.045:
Secara lebih rinci Anthony Giddens menguraikan apa saja yang menjadi tugas pemerintahan dalam kerangka good governance ini: menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan masyarakat yang beragam; menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing; menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, di mana debat bebas mengenai isu-isu kebijakan bisa dilanjutkan; menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan kolektif; mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika monopoli mengancam; menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan kebijakan; mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui sistem pendidikan; menopang sistem hukum yang efektif, yang menjamin perselisihan ditangani secara adil, tanpa bias ke arah negara atau kepada kepentingan swasta besar.
'''III. OTORITARIANISME BIROKRASI''''''Teks ini akan dicetak tebal'''
Pemerintah Orde Baru boleh dikatakan "anti" terhadap lembaga-lembaga politik, ekonomi, ataupun sosial masyarakat yang mencoba mempersoalkan cara kerja atau kebijaksanaan yang dibuatnya. Bila ada lembaga masyarakat yang sedikit kritis, ia akan dituduh bertindak subversif. Dan, hampir tidak ada kekuatan kelompok sosial-ekonomi atau sosial-politik formal maupun informal yang bisa mengawasi pemerintah. Peran pemerintah telah terlepas dari kontrol (untouchable) institusi-institusi di luar dirinya.
Baris 1.064 ⟶ 1.066:
'''VII. PENUTUP'''
Pergeseran dan perubahan yang mesti dilakukan menuntut perubahan pola pikir dari ''mendukung pemerintah'' ke ''memperbaiki kepemerintahan''. Keberhasilan pemerintah tidak sekadar ditentukan berdasarkan keberhasilan menjalankan kebijakannya sendiri, melainkan juga kemampuannya dalam mendorong usaha-usaha LSM, dunia usaha, dan kelompok masyarakat lain.
Baris 1.076 ⟶ 1.078:
<ref>DAFTAR PUSTAKA
1. PKSPL-IPB, 1998. Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Pembangunan Daerah - Depdagri, Bogor.
2. Bengen, D. G, dan Achmad Rizal. 2002. Menyoal Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan. Artikel Warta INCUNE. Edisi Tahun 2 Nomor 1.
Baris 1.099 ⟶ 1.101:
Create a Link
Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)
</ref>
|