Pante Makasar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 1:
[[Berkas:2015 East Timor OecusseOecussi-Ambeno locator map 2003-2015.pngsvg|karight|255px|Peta Timor Leste memperlihatkan distrik Oecussi-Ambeno]]
[[Berkas:untePante Macassar posto administrativo.png|jmplthumb|245px|Subdistrik untePante Makasar]]
 
'''Unte Makasar''' (juga dikenal dengan nama u'''untente Macassar''') adalah sebuah [[kota]] di pantai utara [[Timor Leste]], 281 km di sebelah barat [[Dili]], ibu kota negara itu. Penduduknya 4.730 orang (tahun 2006). Kota ini adalah ibu kota [[eksklave]] [[Oecussi-Ambeno]].
 
Nama "unte Makasar," menunjuk kepada perdagangan pada masa lampau yang terjadi dengan [[Makassar]] di [[Sulawesi]]. Di kalangan masyarakat setempat, untePante Makasar juga dikenal sebagai "Oecussi," yang secara harfiah berarti "meriam air". Nama ini dulunya adalah nama salah satu dari dua kerajaan. Yang lainnya adalah [[Ambeno]]. Pada masa kolonial Portugis, kota ini juga dikenal dengan nama ''Vila Taveiro''.
 
Lifau, di pinggiran kota yang sekarang, dulunya adalah tempat orang-orang [[Portugal|Portugis]] pertama kali mendarat di [[Timor]] dan merupakan ibu kota pertama [[Timor Portugis]]. Kota ini tetap menjadi ibu kota hingga 1767, dan setelah itu dipindahkan ke [[Dili]] karena terus-menerus mendapat serangan [[Belanda]].
 
Karena jaraknya jauh dari daerah-daerah lain di [[Timor Leste]], [[Oecussi-Ambeno]], dan khususnya untePante Makasar, menjadi wilayah pertama yang diduduki oleh [[Indonesia]] pada 29 November 1975.
 
Pada 1999, dalam kerusuhan yang terjadi setelah referendum kemerdekaan, untePante Makasar mengalami kehancuran dahsyat dari para milisi pro-integrasi, yang didukung oleh tentara Indonesia. Sejumlah 65 orang pendukung kemerdekaan digantung, dan 90% bangunan di sana dibakar habis.
 
Kini, kota itu hanya mempunyai beberapa puluh rumah di tepi pantai yang jernih airnya dan dikelilingi pohon-pohon kelapa. Televisi ataupun bank tidak ada, dan kejahatan praktis tidak dikenal. Satu-satunya stasiun radio yang ada di sana hanya sesekali mengadakan siaran karena pemancarnya sudah tua dan listrik dibatasi hanya lima jam setiap malamnya. Dua kali seminggu isolasi kota ini dipecahkan ketika sebuah feri dari Dili tiba, setelah menempuh perjalanan selama 12 jam.