Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta 1975: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan Irslamet (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Bagas Chrisara
Tag: Pengembalian
Irslamet (bicara | kontrib)
revisi penambahan isi dari instruksi 1975, dan sejarah timbulnya instruksi disarikan dari wawancara Kompas dengan ahli pertanahan yang juga anggota Parampara Praja, Prof Suyitno,
Baris 1:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Schilderij van Zijne Hoogheid Prins Pakoe Alam VIII in officieel tenue TMnr 10001894.jpg|jmpl|[[Paku Alam VIII]], pembuat Instruksi 1975 yangtentang melarangPenyeragaman pemberianPolicy Pemberian hak milikatas tanah kepada wargaseorang negaraWNI non-pribumi di DIYPribumi]]
'''Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi'''<ref name="hukumonline">[http://wwwimages.hukumonline.com/klinikfrontend/detail2017/lt4fa0a5a5e0f60Redaksi/masalah-hak-wni-keturunan-tionghoa-untuk-memiliki-tanah-di-yogyakarta Masalah Hak WNI Keturunan Tionghoa untuk Memiliki Tanah di Yogyakarta] - Hukum OnlineYogyakarta_pribumi.jpg</ref> atau yang disingkat '''Instruksi 1975''', '''Instruksi Wagub DIY 1975''', atau '''Instruksi 898/1975''' adalah sebuah surat [[instruksi]] yang dibuat oleh [[Paku Alam VIII]] yang memerintahkan agar tidak memberikan milik tanah kepada warga negara non-pribumi, terutama [[suku Tionghoa]], di [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] (DIY) dan hanya boleh diberikan hak guna.<ref name="nusantarakini">[http://nusantarakini.com/2016/11/20/sikap-sri-sultan-hamengkubuwono-ix-terhadap-etnis-tionghoa-begini-kisahnya/[Kampung Sikap Sri Sultan Hamengkubuwono IX Terhadap Etnis Tionghoa. Begini KisahnyaKetandan]]</ref>
 
== '''Isi dari Instruksi 1975''' ==
Yogyakarta 5 Maret 1975
 
''''<nowiki>''TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH'''</nowiki>'''
 
'''<nowiki>'''DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA'''</nowiki>'''
 
No 13.
 
Tahun 1975
 
Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
 
No: K.898/I/75
 
Lam: -
 
Hal: Penyeragaman Policy Pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi
 
Kepada:
 
Yth Bupati/Walikota Kepala Daerah seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta
 
'''<nowiki>'''INSTRUKSI'''</nowiki>'''
 
Sebagaimana diketahui policy Pemerintah Daerah Derah Istimewa Yogyakarta hingga sekarang belum memberikan hak milik atas tanah kepada seorang Warganegara Indonesia non Pribumi yang memerlukan tanah.
 
Guna penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarata kepada seorang Warganegara Indonesia Non Pribumi dengan ini diminta:
 
Apabila ada seorang Warganegara Indonesia non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan/melepaskan supaya mengajukan permohon Kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak.
 
kemudian hendaknya menjadi perhatian dan dilaksanakan sebagai mana mestinya
 
'''WAKIL KEPALA DAERAH'''
 
'''DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA'''
 
'''<nowiki>'''PAKU ALAM VIII'''</nowiki>'''<ref name="hukumonline" />
 
== Sejarah ==
 
[[Berkas:Hamengkubawono IX Official Portrait.jpg|jmpl|kiri|[[Hamengku Buwono IX]] ]]Sejarah dimulai ketika Hindia Belanda (Indonesia) saat itu dipimpin oleh Gubernur [[Meester in de Rechten]] [[Herman Willem Daendels]] antara tahun 1808–1811.Dimana saat itu banyak warga pribumi menjual tanah ke perusahaan asing. Saat kepemimpinan dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal [[Johannes van den Bosch]] pada tahun 1830, saat itu diberlakukan tanam paksa. Hingga akhirnya ada peraturan Belanda staatsblad tahun 1870 dan akhirnya diturunkan dengan peraturan ground-vervreemdings-verbod yang berisi larangan bagi pribumi untuk menjual tanahnya ke warga asing. Aturan ini tertuang di dalam staatsblad tahun 1875 No 179.
[[Berkas:Hamengkubawono IX Official Portrait.jpg|jmpl|kiri|[[Hamengku Buwono IX]] mencabut hak milik Tionghoa di Yogyakarta atas dasar Tionghoa berpihak pada Belanda.]]
 
Pada tahun 1870, saat modal asing diizinkan untuk masuk, hal ini disebut Opendeur-Politik atau politik pintu terbuka. Saat tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan protes dari kalangan sendiri, lalu menghapus tanam paksa di Pulau Jawa dan menggantinya dengan politik pintu terbuka, hingga pemerintah Belanda menerapkan Undang– Undang Agraria 1870.
 
Salah satu alasannya melindungi masyarakat petani dari pengusaha yang mempunyai modal besar
 
Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak-hak yang kuat. Tanah sultan ground dibagi dua, yaitu Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground. Selain itu, milik [[Kadipaten Pakualaman|Kadipaten Pakulaman]], mengatur hal yang sama.
 
Proses sejarah panjang itu diperkuat dengan adanya UUD 1945 Pasal 18 b ayat 1 dan 2 tentang daerah khusus dan istimewa serta masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya hingga lahirlah UU Keistimewaan DIY. "Pasal 18 b UUD 45 mengakui asal-usul hukum adat yang berlaku dan UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.
 
Artinya, kewenangan otonomi demi untuk menyejahterakan masyarakat supaya tidak ada ketimpangan, dan didasarkan sejarah
Pada [[1948]], saat [[Agresi Militer Belanda II]], [[Hamengku Buwono IX]] mencabut hak milik etnis Tionghoa karena dianggap memihak [[Belanda]]. Pada [[1950]], meskipun NKRI berhasil dipertahankan, HB IX masih menangguhkan pencabutan hak milik tanah kepada etnis Tionghoa meskipun masih diperbolehkan untuk tinggal di Yogyakarta dalam rangka memberikan ketenangan.<ref name="nusantarakini" />
 
Peraturan ini tidak hanya terbatas pada golongan Tionghoa, tetapi juga warga nonpribumi lainnya. Sebab, di dalam peraturan tersebut hanya menyebutkan nonpribumi.<ref>{{Cite news|url=https://regional.kompas.com/read/2018/03/01/11395741/mengapa-warga-nonpribumi-tidak-boleh-punya-tanah-di-jogja|title=Mengapa Warga Nonpribumi Tidak Boleh Punya Tanah di Jogja? Halaman 1 - Kompas.com|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2018-03-01|newspaper=KOMPAS.com|language=en|access-date=2018-07-23}}</ref>
Pencabutan hak milik tanah tersebut menjadi semakin dipadatkan saat [[Paku Alam VIII]] memberlakukan Instruksi 1975.<ref name="nusantarakini" /> Para [[investor]] dan [[cukong]] beberapa kali menggugat aturan tersebut kepada [[Mahkamah Agung]] dengan alasan bersifat [[rasis]] dan tidak adil namun tidak dikabulkan dengan alasan status [[daerah istimewa]] yang dimiliki oleh DIY.<ref name="nusantarakini" />
 
(Prof Suyitno<ref>{{Cite news|url=https://www.radarjogja.co.id/2016/08/31/delapan-tokoh-dilantik-menjadi-parampara-praja/|title=Delapan Tokoh Dilantik Menjadi Parampara Praja • Radar Jogja|date=2016-08-31|newspaper=Radar Jogja|language=id-ID|access-date=2018-07-23}}</ref>, Ahli pertanahan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Anggota Parampara Praja DI Yogyakarta)
Menurut [[Siput Lokasari]], Instruksi 1975 seharusnya sudah ditiadakan dengan adanya Peraturan Gubernur DIY tahun [[1984]] yang mencabut pemberlakuan lagi aturan [[agraria]].<ref>[http://jogja.tribunnews.com/2016/10/24/instruksi-wagub-diy-1975-harusnya-sudah-gugur-sejak-1984 Instruksi Wagub DIY 1975 Harusnya Sudah Gugur Sejak 1984] - Tribun Jogja</ref>
 
== Lihat pula ==