Genosida Timor Timur: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 22:
==Serbuan awal==
Sejak awal penyerbuan pada Agustus 1975 dan seterusnya, [[Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]] terlibat dalam pembunuhan massal warga sipil Timor Leste.<ref>Hill, p. 210.</ref> Pada awal masa pendudukan, radio [[FRETILIN]] menyiarkan pernyataan berikut ini: "Tentara Indonesia membunuh tanpa ampun. Perempuan dan anak-anak ditembak di jalanan. Kita semua akan dibunuh.... Ini adalah permohonan bantuan internasional. Tolong lakukan sesuatu agar penyerbuan ini berhenti."<ref>
Pembunuhan massal berlanjut tanpa henti ketika militer Indonesia memasuki daerah pegunungan Timor Leste yang dikuasai Fretilin. Seorang pemandu asal Timor yang bekerja untuk perwira senior Indonesia memberitahu mantan Konsul Australia untuk Timor Portugis, James Dunn, bahwa pada bulan-bulan pertama pertempuran, TNI "membunuh sebagian besar orang Timor yang mereka temui."<ref>''Timor: A People Betrayed'', James Dunn, 1983 p. 293, 303</ref> Pada Februari 1976, setelah menguasai desa Aileu di selatan Dili dan memukul mundur pasukan Fretilin, tentara Indonesia menembaki sebagian besar penduduk desa, konon menembak semua orang di atas usia tiga tahun. Anak-anak kecil yang dibiarkan hidup dibawa ke Dili menggunakan truk. Ketika Aileu jatuh ke tangan TNI, jumlah penduduknya sekitar 5.000 jiwa. Ketika pekerja sosial Indonesia mengunjungi Aileu bulan September 1976, jumlah penduduknya tinggal 1.000 jiwa.<ref>Taylor (1991), p. 80-81</ref> Pada Juni 1976, TNI yang terpukul oleh serangan Fretilin melancarkan balas dendam terhadap kamp pengungsi besar yang dihuni 5.000 sampai 6.000 orang Timor di Lamaknan, dekat perbatasan Timor Barat. Setelah membakar beberapa rumah, tentara Indonesia membantai kurang lebih 2.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak.<ref>Dunn, p. 303</ref>
Pada Maret 1977, mantan konsul Australia, James Dunn, menerbitkan laporan yang merincikan tuduhan militer Indonesia telah membunuh antara 50.000 sampai 100.000 warga sipil Timor Leste sejak Desember 1975.<ref>{{cite web|title=A Quarter Century of US Support for Occupation: National Security Archive Electronic Briefing Book No. 174|url=http://nsarchive.gwu.edu/NSAEBB/NSAEBB174/}}</ref> Jumlah ini konsisten dengan pernyataan pemimpin UDT, Lopez da Cruz, pada 13 Februari 1976 bahwa 60.000 warga Timor Leste tewas sepanjang perang saudara enam bulan sebelumnya dan 55.000 orang tewas pada dua bulan pertama penyerbuan oleh Indonesia. Perwakilan pekerja sosial Indonesia di Timor Leste membenarkan jumlah tersebut.<ref>Taylor (1991), p. 71.</ref> Laporan Gereja Katolik pada akhir 1976 juga memperkirakan jumlah korban tewas antara 60.000 sampai 100.000 jiwa.<ref>Dunn, p. 310, ''Notes on Timor''</ref> Angka ini juga diperkuat oleh statistik pemerintah Indonesia. Dalam wawancara tanggal 5 April 1977 dengan ''[[Sydney Morning Herald]]'', Menteri Luar Negeri [[Adam Malik]] mengatakan bahwa jumlah korban tewas sebanyak "50.000 jiwa atau mungkin 80.000 jiwa".<ref name="turner207">
Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa aneksasi Timor Leste bertujuan mewujudkan persatuan [[antikolonialisme]]. Buku panduan Departemen Luar Negeri Indonesia tahun 1977, ''Decolonization in East Timor'', menghormati "hak penentuan nasib sendiri yang sakral"<ref>Indonesia (1977), p. 16.</ref> dan mengakui APODETI sebagai perwakilan mayoritas rakyat Timor Leste yang sesungguhnya. Deplu mengklaim bahwa FRETILIN populer karena "sering mengancam, memeras, dan meneror".<ref>Indonesia (1977), p. 21.</ref> Menteri Luar Negeri Indonesia, [[Ali Alatas]], menegaskan kembali sikap tersebut dalam memoar tahun 2006 yang berjudul ''The Pebble in the Shoe: The Diplomatic Struggle for East Timor''.<ref>Alatas, pp. 18–19.</ref> Menurut pemerintah Indonesia, pembagian pulau menjadi timur dan barat "disebabkan oleh penindasan kolonial" oleh kekuatan imperial Portugal dan Belanda. Karena itu, menurut pemerintah Indonesia, aneksasi provinsi ke-27 adalah salah satu langkah untuk mempersatukan kepulauan Nusantara yang telah dimulai sejak 1904-an.<ref>Indonesia (1977), p. 19.</ref>
Baris 37:
Kamp ini umumnya terdiri atas bangunan jerami tanpa toilet. Selain itu, militer Indonesia melarang Palang Merah mengirim banguna kemanusiaan. Para tahanan juga tidak mendapat layanan kesehatan. Akibatnya, banyak orang Timor—lemah karena lapar dan diberi jatah makanan yang sangat sedikit—meninggal karena kekurangan gizi, kolera, diare, dan tuberkulosis. Pada akhir 1979, sekitar 300.000 sampai 370.000 orang Timor pernah ditahan di kamp ini.<ref>{{cite book|last1=Deborah Mayersen, Annie Pohlman|title=Genocide and Mass Atrocities in Asia: Legacies and Prevention|date=2013|publisher=Routledge|page=56}}</ref> Setelah tiga bulan, tahanan dipindahkan ke "desa strategis" untuk diawasi dan dibiarkan kelaparan.<ref name="CAVR 1996 pp. 290">CAVR, ch. 7, p. 50; Taylor, pp. 88–89; Dunn (1996), pp. 290–291</ref><ref name="CAVR 1996 pp. 290"/> Mereka tidak boleh bepergian dan bercocok tanam dan harus mematuhi jam malam.<ref>Taylor (1991), pp. 92–98.</ref> Laporan komisi kebenaran PBB menunjukkan bukti penerapan kelaparan paksa oleh militer Indonesia untuk memusnahkan warga sipil Timor Leste. Laporan tersebut juga menambahkan bahwa banyak orang yang "jelas-jelas tidak diperbolehkan makan dan mencari sumber makanan". Laporan ini mengutip kesaksian orang-orang yang tidak diperbolehkan makan dan menjabarkan perusakan ladang dan ternak oleh tentara Indonesia.<ref>CAVR, ch. 7.3, pp 146–147.</ref> Laporan ini menyimpulkan bahwa kebijakan kelaparan paksa menewaskan 84.200 sampai 183.000 penduduk Timor Leste.<ref>CAVR, ch. 7.3, p. 146.</ref> Seorang pekerja gereja melaporkan bahwa 500 warga Timor Leste mati kelaparan setiap bulan di satu distrik.<ref name="kohen5456">Kohen and Taylor, pp. 54–56.</ref>
World Vision Indonesia mengunjungi Timor Leste bulan Oktober 1978 dan mengklaim bahwa 70.000 penduduk Timor Leste terancam kelaparan.<ref>CAVR, ch. 7.3, p. 72.</ref> Utusan [[International Committee of the Red Cross]] melaporkan pada tahun 1979 bahwa 80 persen penghuni kamp kekurangan gizi. Suasana saat itu digambarkan "separah [[Biafra]]".<ref>
==Operasi pendamaian Indonesia==
Baris 44:
===Operasi Sapu Bersih: 1983===
Gagalnya rangkaian operasi kontrapemberontak memaksa petinggi militer Indonesia memerintahkan Komandan Resor Militer Dili, Kolonel Purwanto, merintis dialog perdamaian dengan Komandan FRETILIN, Xanana Gusmão, di wilayah yang dikendalikan FRETILIN pada Maret 1983. Ketika Xanana menginginkan agar Portugal dan PBB dilibatkan dalam dialog ini, Komandan TNI Benny Moerdani membatalkan gencatan senjata dengan mengumumkan serangan kontrapemberontak baru bernama "Operasi Sapu Bersih" pada Agustus 1983. Ia mengatakan, "Tidak boleh main-main lagi. Kali ini kita akan memusnahkan mereka tanpa ampun."<ref>''Sinar Harapan'', 17 August 1983,
Batalnya gencatan senjata diikuti oleh gelombang pembantaian, eksekusi di tempat, dan "penghilangan" baru oleh militer Indonesia. Pada Agustus 1983, 200 orang dibakar hidup-hidup di desa Creras. 500 orang lainnya dibunuh di sungai di daerah itu.<ref name="Taylor 1985 p. 23"/> Pada Agustus hingga Desember 1983, Amnesty International mencatat pengangkapan dan "penghilangan" lebih dari 600 orang di ibu kota. Kerabat diberitahu oleh TNI bahwa orang-orang yang "menghilang" dibawa ke Bali.<ref>East Timor, Violations of Human Rights: Extrajudicial Executions, "Disappearances", Torture and Political Imprisonment, 1975–1984, p. 40</ref>
Baris 96:
==Catatan kaki==
{{reflist|colwidth=24em}}
==Daftar pustaka==
* Aditjondro, George. "Prospects for development in East Timor after the capture of Xanana Gusmão". ''International Law and the Question of East Timor''. London: Catholic Institute for International Relations, 1995. {{ISBN|1-85287-129-6}}. pp. 50–63.
* Aditjondro, George. "The Silent Suffering of Our Timorese Sisters". ''Free East Timor: Australia's Culpability in East Timor's Genocide''. Random House Milsons Point: Australia Pty Ltd, 1998. {{ISBN|0-09-183917-3}} pp. 243–265.
* Amnesty International. ''East Timor Violations of Human Rights: Extrajudicial Executions, "Disappearances", Torture and Political Imprisonment, 1975–1984''. London: Amnesty International Publications, 1985. {{ISBN|0-86210-085-2}}.
* Amnesty International. ''East Timor: The Santa Cruz Massacre''. London: Amnesty International, 1991. {{OCLC|28061998}}
* Amnesty International USA. ''Women in Indonesian & East Timor: Standing Against Repression''. New York: Amnesty International USA, 1995. {{OCLC|34283963}}
* Budiardjo, Carmel and Liem Soei Liong. ''The War against East Timor''. London: Zed Books Ltd, 1984. {{ISBN|0-86232-228-6}}.
* Carey, Peter. "Historical Background". ''Generations of Resistance''. By Steve Cox. London: Cassell, 1995. {{ISBN|0-304-33252-6}}. pp. 13–55.
* Chinkin, Christine. "Australia and East Timor in international law". ''International Law and the Question of East Timor''. London: Catholic Institute for International Relations / International Platform of Jurists for East Timor, 1995. {{ISBN|1-85287-129-6}}. pp. 269–289.
* Clark, Roger S. "The 'decolonisation' of East Timor and the United Nations norms on self-determination and aggression". ''International Law and the Question of East Timor''. London: Catholic Institute for International Relations / International Platform of Jurists for East Timor, 1995. {{ISBN|1-85287-129-6}}. pp. 65–102.
* [[Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor|Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste]] (CAVR). ''[http://www.etan.org/news/2006/cavr.htm Chega! The Report of the Commission for Reception, Truth and Reconciliation]''. Dili, East Timor: 2005. Online at [http://www.etan.org/ East Timor & Indonesia Action Network]. Retrieved 11 February 2008.
* {{cite book|last=Dunn|first= James|title=Timor: A People Betrayed|location=Sydney|publisher= Australian Broadcasting Corporation|date= 1996|author-link=James Dunn (diplomat)|isbn=0-7333-0537-7}}
* {{Cite book |last=Friend |first=T. |title=Indonesian Destinies |publisher=Harvard University Press |year=2003 |isbn=0-674-01137-6}}
* {{cite book |last=Horner |first=David |title=Making the Australian Defence Force |series=The Australian Centenary History of Defence |volume=Volume IV |publisher=Oxford University Press |location=Melbourne |year=2001 |isbn=0-19-554117-0}}
* Hainsworth, Paul and McCloskey, Stephen (eds.) ''The East Timor Question: The Struggle for Independence from Indonesia''. New York: I.B. Tauris Publishers, 2000, {{ISBN|1-86064-408-2}}
* Hill, Helen Mary. ''Fretilin: the origins, ideologies and strategies of a nationalist movement in East Timor''. Canberra: Centre for Continuing Education, Australia National University, 1978. {{OCLC|07747890}}
* Indonesia. Department of Foreign Affairs. ''Decolonization in East Timor''. Jakarta: Department of Information, Republic of Indonesia, 1977. {{OCLC|4458152}}.
* Indonesia. Department of Foreign Affairs and Department of Information. ''The Province of East Timor: Development in Progress''. Jakarta: Department of Information, Republic of Indonesia, 1981.
* Jardine, Matthew. ''East Timor: Genocide in Paradise''. Monroe, ME: Odonian Press, 1999. {{ISBN|1-878825-22-4}}.
* Jolliffe, Jill. ''East Timor: Nationalism and Colonialism''. Queensland: University of Queensland Press, 1978. {{OCLC|4833990}}
* Kiernan, Ben. [http://gsp.yale.edu/sites/default/files/files/KiernanRevised1.pdf "The Demography of Genocide in Southeast Asia: The Death Tolls in Cambodia, 1975–79, and East Timor, 1975–80"]. ''Critical Asian Studies''. 35:4 (2003), 585–597.
* Kohen, Arnold and John Taylor. ''An Act of Genocide: Indonesia's Invasion of East Timor''. London: TAPOL, 1979. 0-9506751-0-5.
* Krieger, Heike, ed. ''East Timor and the International Community: Basic Documents''. Melbourne: Cambridge University Press, 1997. {{ISBN|0-521-58134-6}}.
* {{cite book|last=Marker |first=Jamsheed |author-link=Jamsheed Marker |title=East Timor: A Memoir of the Negotiations for Independence |place=North Carolina |publisher=McFarlnad & Company, Inc |year=2003 |isbn=0-7864-1571-1}}
* {{cite book |last=Martin |first=Ian |title=Self-Determination In East Timor: The United Nations, The Ballot and International Intervention. International Peace Academy Occasional Paper Series |publisher=Rienner |year=2002 |location=Boulder |isbn=}}
* {{cite book|last=Nevins |first=Joseph |title=A Not-So-Distant Horror: Mass Violence in East Timor |publisher=Cornell University Press |location=Ithaca, New York |year=2005 |isbn=0-8014-8984-9}}
* Ramos-Horta, José. ''Funu: The Unfinished Saga of East Timor''. Lawrenceville, NJ: The Read Sea Press, 1987. {{ISBN|0-932415-15-6}}.
* {{cite book |last=Schwarz |first=A. |year=1994 |title=A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s |publisher=Westview Press |isbn=1-86373-635-2}}
* {{cite book |last=Smith |first=M.G. |title=Peacekeeping in East Timor: The Path to Independence. International Peace Academy Occasional Paper Series |publisher=Rienner |year=2003 |location=Boulder |isbn=}}
* {{cite book |last=Taylor |first=Jean Gelman |title=Indonesia: Peoples and Histories |publisher=Yale University Press |year=2003 |location= New Haven and London |isbn=0-300-10518-5}}
* Taylor, John G. ''The Indonesian Occupation of East Timor 1974–1989''. London: Catholic Institute for International Relations, 1990. {{ISBN|1-85287-051-6}}.
* Taylor, John G. ''Indonesia's Forgotten War: The Hidden History of East Timor''. London: Zed Books Ltd, 1991. {{ISBN|1-85649-014-9}}.
* Turner, Michele. ''Telling East Timor: Personal Testimonies 1942–1992''. Sydney: University of New South Wales Press Ltd., 1992.
* {{cite book |last=Vickers |first=Adrian |title=A History of Modern Indonesia |publisher=Cambridge University Press |year=2005 |isbn=0-521-54262-6}}
* Wesley-Smith, Rob. "Radio Maubere and Links to East Timor". ''Free East Timor: Australia's Culpability in East Timor's Genocide''. Milsons Point: Random House Australia, 1998. pp. 83–102.
* Winters, Rebecca. ''Buibere: Voice of East Timorese Women''. Darwin: East Timor International Support Center, 1999. {{ISBN|0-9577329-3-7}}.
[[Category:Pendudukan Indonesia di Timor Timur|.]]
|