Orang barbar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 79:
 
=== Barbarisme mutlak, peradaban, dan orang liar mulia ===
Bangsa Yunani mengagumi orang-orang [[Skitia]] dan [[Galatia]] sebagai orang-orang yang gagah berani dan bahkan sebagai filsuf-filsuf (misalnya [[Anakarsis]]) – namun budaya mereka tetap saja dianggap barbar. [[Kekaisaran Romawi|Bangsa Romawi]] menyifatkan tanpa membeda-bedakan berbagai [[suku bangsa Jermanik|suku bangsa Jermani]], suku bangsa [[orang Galia|Galia]] yang sudah hidup menetap, dan suku bangsa [[Hun]] yang suka menjarah sebagai orang barbar, dan narasi-narasi sejarah beroriantasi klasik yang dihasilkan oleh bangsa Romawi menggambarkan migrasi-migrasi yang berkaitan dengan runtuhnya [[Kekaisaran Romawi Barat]] sebagai "[[invasi orang barbar]]".
 
Bangsa Romawi menggunakan istilah ini sebagai sebutan bagi segala sesuatu yang bukan Romawi. Sejarawan budaya Jerman, Silvio Vietta, menunjukkan bahwa makna dari kata "barbar" telah mengalami perubahan semantik di Zaman Modern, setelah [[Michel de Montaigne]] menggunakannya untuk menyifatkan kegiatan-kegiatan bangsa Spanyol di Dunia Baru – yang dianggap sebagai representasi budaya bangsa Eropa yang "lebih tinggi" – sebagai "barbar," dan sebuah esai satir yang terbit pada 1580.<ref>{{cite book|title= On Cannibals|author= Montaigne}}</ref> Bukan suku-suku Indian "biadab" yang disebut "barbar", melainkan para penakluk berkebangsaan Spanyol. Michel de Montaigne berpendapat bahwa orang-orang Eropa mencermati sifat barbar dari budaya-budaya lain tetapi tidak mencermati tindakan-tindakan yang lebih kejam dan lebih brutal di dalam masyarakat mereka sendiri, khususnya (semasa hidupnya) pada masa [[Perang agama Eropa|peperangan agama]] di Eropa. Menurut pandangan Michel de Montaigne, bangsanya sendiri – bangsa Eropa – adalah "orang barbar" yang sesungguhnya. Dengan demikian, argumen yang bersifat [[Erosentrisme|Eropa-sentris]] dibalikkan dan diterapkan kepada pihak-pihak pelaku invasi dari Eropa. Dengan pergeseran makna semacam ini, muncul karya-karya sastra di Eropa yang menyifatkan masyarakat Indian pribumi sebagai masyarakat yang masih polos dan lugu, sekaligus menyifatkan bangsa Eropa yang lebih digdaya secara militer sebagai para penyusup "barbar" yang menginvasi sebuah firdaus duniawi.<ref>