Nurul Taufiqu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
isi biografi lebih lengkap
Tag: VisualEditor mengosongkan halaman [ * ]
Baris 33:
 
Pada saat bekerja di Jepang tersebut, kebetulan Nurul masuk ke tim projek divisi material. Dia bekerja dengan sebuah ''team work'' yang kuat yang tertata dalam bentuk sistem yang terintigrasi. “Begitu saya masuk ke dunia sistem yang sudah terintigrasi yang mapan kita langsung unggul di situ. Nilai-nilai kita dengan yang lain sebagai sebuah sistem jauh melebihi nilai sebagai individu. Di Jepang terkenal dengan istilah “''Medatsu tataki”'' yang artinya adalah yang muncul di pukuli. Intinya mereka mengajak kesiapan dari ''team work'' supaya selalu bekerja bersama-sama, maju bersama-sama. Inilah nilai keunggulan mereka. Tetapi ''person to person'' kita bisa saja jauh lebih  handal dibanding mereka.” Lembaga riset dan pengembangan tempat bekerja Nurul adalah gudangnya peneliti untuk melakukan segala bentuk penelitian. Mereka ditarget membuat penelitian yang bisa disalurkan ke 5.000 unit usaha kecil dan menengah (UKM) di seantero Kagoshima.
 
Setelah cukup lama studi dan mencari pengalaman kerja di Negeri Matahari Terbit, Nurul menyimpulkan, banyak budaya masyarakat Jepang yang patut ditiru. Misalnya budaya kesolidan tim. Juga soal bekerja yang efektif dan efisien. ”Di sana kalau kita menonjol sendiri malah dipentungi (dipukuli, Red),” ungkapnya.
 
Bekerja di lembaga riset Jepang membuat Nurul hafal strategi menyalurkan hasil penelitiannya ke dunia industri. Dia berharap rencana pemerintah Indonesia membuat ''Science Techno Park'' (STP) di beberapa daerah bisa menjembatani kegiatan penelitian dengan kebutuhan industri di daerah setempat. Sehingga hasil penelitian dari para ahli dapat lebih berdaya guna. Tidak seperti sekarang, yang banyak berhenti menjadi ''paper'' dan laporan hasil penelitian yang menumpuk di rak-rak perpustakaan.
 
Tahun 2004, Nurul berkeinginan untuk kembali ke Indonesia. Niatnya itu menjadi bahan cibiran beberapa teman yang sudah merasakan nikmatnya bekerja di Jepang. Temannya mengingatkan tentang kurangnya penghargaan pemerintah terhadap para ilmuwan dan juga sedikitnya perhatian pemerintah Indonesia terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga terjadi fenomena ''brain drain''. Temannya juga mengingatkan tentang kedudukan Nurul yang sudah mapan dengan gaji yang cukup besar. Selain itu dia mendapat tawaran visa tinggal tetap (seumur hidup). Namun, tekad kuat untuk mengabdi di Indonesia mengalahkan berbagai tawaran kenyamanan  tersebut. Pada akhirnya Nurul meninggalkan Jepang dan mulai mengabdi di Indonesia. Dirinya menilai Indonesia mempunyai potensi alam yang luar biasa besar. Potensi tesebut, jika diolah tentu bisa menghasilkan produk yang mampu menciptakaan kesejahteraan.
 
Nurul kembali ke tanah air setelah 14 tahun belajar dan berkarya di Jepang. Di Jepang, dia pun menggoreskan tinta emas sejarah inovasi karena nama Nurul dicatat sebagai  “pembongkar” paten pemurnian logam yang dipegang perusahaan manufaktur besar, Perusahaan Kobe Steel. Berbagai godaan yang menawarkan kenyamam hidup tidak berhasil untuk mencegah dirinya untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Pada akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, ia memilih untuk pulang dengan satu alasan, “Sedih saya, Indonesia kerap diberitakan buruk,” ujarnya singkat namun cukup mengharukan.
 
Dia memiliki sedikit tabungan pada saat pulang. Sebagai bekal mengawali merealisasikan idealisme untuk membangun nanoteknologi di Indonesia.  Nurul telah siap berjuang dari awal di negeri sendiri. Tantangan pertama langsung menyambutnya begitu tiba di kantornya. Di sana ia hanya  mendapatkan fasilitas meja dan kursi plus mesin bubut. Berbeda dengan ketika di Jepang yang fasilitas penelitiannya sangat lengkap, alat karakterisasi yang canggih dan mahal. Disambut dengan fasilitas yang seperti itu Nurul tidak berkecil hati, malah dianggapnya sebagai sebuah bentuk penghormatan karena dirinya sudah beruntung disekolahkan oleh pemerintah ke salah satu negara maju dan mendapat beasiswa dari Pemerintah Jepang untuk melanjutkan sampai jenjang yang paling tinggi. “Tapi saya rasa itu tantangannya” gumannya. 
 
Sekali layar terkembang, pantang surut kembali. Dengan hanya membeli komponen di Glodok, Jakarta ia berhasil menciptakan alat pembuat partikel nano. “Seperti latihan pedang si ''Zorro.'' Fokus dan konsisten.” Tegasnya.
 
Bermodal sebuah bengkel yang ada di kantornya, Nurul pun berpikir untuk memulai penelitian dengan membuat alat-alat penelitian seperti ''high energy milling'' untuk memproses sumber daya alam Indonesia menjadi partikel nano. Dengan semangat “''bushido”'' yang diwarisinya dari budaya Jepang, dia bekerja siang malam demi menggapai obsesinya. Sampai sekarang Nurul dan timnya terbiasa pulang malam dari kantornya yang senyap. Ruang kerja yang lausnya hanya sekitar 40 meter persegi ia bagi bersama rekan-rekannya. Dari segala keterbatasan itulah Nurul dan timnya bisa menghasilkan alat yang dapat memproduksi partikel nano. Dia mematenkan alatnya dengan tujuan hanya melindungi temuannya dan membebaskan peneliti lain untuk memanfaatkannya.  “Dulu di Jepang saya terbiasa membuat berbagai alat, tapi tidak saya patenkan karena untuk keperluan penelitian sendiri. Tapi ketika di Indonesia, saya patenkan karena untuk melindungi dari jiplakan orang lain.” katanya.  Dia juga sudah memantapkan diri untuk penghasilkan penelitian-penelitian yang membumi. Memang, untuk semua itu “Tetap butuh penelitian terdepan, kira-kira 50%-lah ''frontier''. Itu pun harus dengan arah yang jelas. Kalau saya, kira-kira ''two step ahead''. Enggak ketinggian banget, tapi masih bisa diaplikasikan”.
 
Nurul masih terus teringat  dengan pesan-pesan dari profesornya  sebelum pulang  ke Indonesia, “Pekerjaan yang akan kamu lakukan itu banyak sekali (''Yaru koto ha takusan aru''), makanya harus dimulai dari yang kecil (cisai koto kara hajimaru). Jadi, kita harus memulai dari yang kecil-kecil untuk bisa menciptakan kesuksesan-kesuksesan yang akan terus menjadi pijakan-pijakan menuju pencapaian kesuksesan-kesuksesan yang lebih besar.”  Itulah pesan sang profesor yang terus diingatnya sampai sekarang. Nurul mengawali pekerjaan-pekerjaannya dari hal-hal yang sederhana. Langkah pertama yang dilakukan Nurul adalah membuat tim yang solid, karena tanpa tim dia tidak akan menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang besar. Urgensi pembentukan tim itulah yang dia pelajari di Jepang dan ingin diterapkannya di Indonesia. Suasana kerja tim di Jepang masih terasa.
 
Dahulu dia datang ke Jepang seperti memasuki belantara dan ternyata ketika pulangpun Nurul juga seperti memasuki hutan yang lebih lebat lagi karena tantangan yang lebih besar. Berbagai macam konsep dan teori yang dia miliki tidak dengan mudah bisa langsung diaplikasikan (diadopsi) akan tetapi harus ada sebuah proses adaptasi terlebih dahulu.
 
Setelah kembali ke Indonesia Nurul tidak pernah diam. Kesehariannya diisi dengan kerja, kerja, dan kerja. Hal pertama yang dia pikirkan adalah bagaimana membuat alat dengan mesin-mesin yang ada dibengkelnya. Beruntung dia memiliki banyak teman yang ahli dalam bidang perbengkelan. Berdiskusi di setiap waktu dan di setiap tempat, akhirnya terciptalah berbagai macam peralatan pembuatan partikel nano. Sementara dia bersikap realistis, kalau dahulu dia selalu berorientasi menciptakan produk-produk riset yang ''high value'', dengan melihat kondisi industri di Indonesia akhirnya dia berkompromi dengan  realitas. “Gak usah yang canggih-canggih dulu,” ujarnya.  Maka lahirlah peralatan-peralatan  “sederhana” yang penting dapat bermanfaat bagi dirinya, para peneliti, dan terutama untuk industri. Dan dimulai dari peralatan inilah akhirnya Nurul menuai banyak pencapaian. Alat yang dia ciptakatan berupa mesin pembuat ''powder'' (partikel) dengan ukuran nanometer. ''Powder'' samacam inilah yang banyak diperlukan oleh industri.
 
Dari porses ini juga Nurul semakin tersadarkan bahwa apa yang dia pelajari di Jepang ternyata benar. Semuanya bermula dari material. “Ketika saya mempelajari material di Kagoshima University, saya baru memahami semuanya bermuara di penguasaan material. Saya perdalam ilmu material dan saya melihat ternyata ilmu material di Indonesia itu sangat lemah sekali. Apalagi di industri-industri, bahan bakunya pasti impor.  Pada akhirnya yang muncul adalah memang material yang berkualitas yang memliki nilai tambah sangat tinggi yaitu material yang diproses dengan nanoteknologi.” ungkapnya
 
Ilmu yang dipelajari oleh Nurul sebenarnya bukan hanya nanoteknologi, akan tetapi dia melihat bahwa sekarang ini yang sangat potensial untuk dikembangkan dan dapat berinteraksi langsung dengan industri adalah nanoteknologi. Bukan hanya industri dalam negeri, akan tetapi juga dengan industri luar negeri dimana kita bisa menjadi ''leading sector''-nya. Oleh karena itu, Nurul semakin giat menciptakan peralatan-peralatan yang mengarah kepada keunggulan nanoteknologi. Dari 19 paten dan hak cipta yang dimilikinya, separuhnya adalah berkenaan dengan bagaimana menciptakan material berkarakter nano.
 
Untuk meraih obsesi itu maka Nurul menggerakkan timnya untuk berevolusi  menuju ke arah sana. Nurul tidak mau hasil-hasil penelitian atau paten-patennya hanya sekedar bermuara di kertas tulisan yang menghiasi perpustakaan. Itu yang membedakan Nurul dan timnya dari peneliti lainnya.  “Pokoknya apa yang sudah kami patenkan itu harus menjadi produk, harus ada di ''market'', harus bisa digunakan atau dirasakan oleh masyarakat. Itulah kebanggaan kita, baru kita mengatakan kita sukses.”
 
Tak hanya menghidupkan laboratorium nanoteknologi di LIPI, dia pun berusaha membangkitkan nanoteknologi di Indonesia. Ia mendirikan Masyarakat Nano Indonesia (MNI) dan menggandeng universitas, lembaga penelitian, hingga industri untuk mengembangkan nanoteknologi.
 
Ia juga menciptakan Nano-Edu, paket pengajaran nanoteknologi untuk pelajar, berisi buku dan alat peraga. Menurutnya, anak-anak harus dikenalkan sejak dini nanoteknologi. Alat peraga Nano-Edu sudah dibeli Jepang sebanyak 300 paket untuk menunjang pendidikan di sana, tetapi di Indonesia belum sepenuhnya dipakai.
 
Nurul menganalisis bahwa dalam struktur Gross National Product Indonesia sejak  tahun  2008 impor bahan baku setengah jadi yang diimpor dari China nilainya melebihi angka 100 triliun rupiah. Itu adalah impor bahan baku setengah jadi yaitu bahan olahan dari sumber-sumber bahan baku yang berasal dari negara kita, seperti mineral dan tumbuhan herbal seperti tanaman kunyit. Kunyit, dan juga jahe, kita ekspor dalam bentuk yang sudah dikeringkan dengan harga hanya sekitar  Rp 6000 sampai Rp10.000 per kilogram dengan proses yang  panjang. Di negeri China bahan tersebut diproses untuk dijadikan ''powder.'' Kemudian ''powder'' tersebut dijual kembali ke Indonesia dengan harga relatif mahal mencapai 10 bahkan 100 kali lipat dari harga bahan bakunya. Keuntungan yang sangat luar biasa besarnya bagi China.
 
  “Inilah yang ingin saya lakukan untuk Indonesia”  kata Nurul untuk menjelaskan bahwa hanya sekedar membuat ''powder'' tidak usah lagi sampai menggunakan jasa teknologi luar ngeri. Menurut Nurul pengolahan sumber daya hayati yang kita miliki jauh lebih ''simple'', tidak membutuhkan biaya terlalu besar dengan menghasilkan nilai tambah yang sangat luar biasa. “Itulah yang akan saya beresin.”  Nurul mengatakan bahwa seandainya dia diberi kesempatan untuk mengelola sumber daya alam Indonesia, maka langkah pertama yang akan dilakukan adalah nanoisasi sumber daya alam Indonesia. Dia beralasan karena produk-produk yang dihasilkannya sudah memiliki pasarnya yang jelas. Bahkan dia menjamin, di dunia kita bisa menjadi ''the number one'' karena kita menjadi penguasa sumber bahan baku. Kita tinggal menguasai teknologinya saja. Bahkan dibanding dengan negara lain dari segi teknologi pun kita bisa lebih unggul karena bahan bakunya ada di kita semua. Bahkan yang dapat dilakukan oleh mereka adalah hanya dalam bentuk kerja sama. Jangan sampai terjadi lagi tragedi seperti ini: kita disuruh mengidentifikasi ini-itu begitu ditemukan mereka yang menciptakan produk-produknya. Janganlah kita sampai ketinggalan, kita masih sangat bisa mengejar ketertinggalan terutama dalam bidang herbal nano, dan juga yang lainnya.
 
Di awal fajar abad ke-20 para pemuda Indonesia harus berani tampil sebagai penggerak perubahan bangsa di garda depan. Di rumah sang Guru Pergerakan yang dijuluki juga Raja Tanpa Tahta, HOS Tjokro Aminoto, hampir semua pemuda tokoh pergerakan seperti Soekarno, Hatta, dan lain-lain berhimpun untuk kemudian menjadi tokoh muda yang kelak dengan gagah berani berjuang untuk meraih Kemerdekaan Indonesia. Maka,  para pemuda Indonesia pada zaman kiwari harus tampil lebih berani lagi dalam mengisi Kemerdekaan Indonesia. Salah satu caranya adalah terus berkreasi melalui inovasi ilmu pengetahuan dan tektologi.“Berkreasilah menjadi dirimu yang terbaik! Dan berhimpunlah untuk membangkitkan kembali bangsa ini!” Itulah pesan penting Nurul yang ditegaskan dalam buku berjudul ''Surat Dari Dan Untuk Pemimpin'' terbitan Tempo Institute.
 
Melalui inovasi Iptek inilah Nurul telah memberi contoh baik dengan sejumlah karya Iptek inovatif di bidang nanoteknologi.  Berkat karya Iptek bidang nanoteknologi pula Nurul mampu meraih berbagai penghargaan bergengsi. Mendapat Penghargaan Hatakeyama Award sebagai mahasiswa terbaik dan Fuji Sankei Award sebagai peneliti terbaik tahun 1995 di Jepang. Setelah pulang, pada 2004 mendapat penghargaan dari LIPI sebagai Peneliti Muda Terbaik dan Penghargaan dari Persatuan Insinyur Indonesia (Adhidarma Profesi) tahun 2005 dan ''The Best Innovation and Idea Award'' dari Majalah SWA. Delegasi Indonesia untuk menghadiri pertemuan Pemenang Nobel di Lindau Jerman, 2005. Tahun 2009 memperoleh perhargaan ''ITSF-Science and Technology Award'' dari Industri Toray Indonesia sebagai ''Outstanding Scientist'' dan Ganesha Widya Adiutama dari ITB pada Dies Natalis ke-50 serta menerima Habibie Award di bidang Ilmu Rekayasa dari ''The Habibie Center''. Selain itu juga, Nurul mendapat penghargaan sebagai presenter terbaik di berapa seminar. Nurul menjabat sebagai ketua Masyarakat Nano Indonesia pada 2005-2018. Pada tahun 2014 Nurul kembali menyabet penghargaan BJ Habibie Technology Awards (BJHTA) berkat capaiannya diterapkan di Industri dalam bidang Nanoteknologi dan Rekayasa Produksi. Ditetapkannya Nurul sebagai peraih penghargaan prestisius di ranah teknologi tersebut setelah melewati seleksi ketat yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai penyelenggara. Menurut BPPT, Nurul telah lolos menjadi terbaik melalui penilaian dalam kategori: aspek penemuan (''invention''), aspek kreatif, aspek efisien dan efektif, aspek nilai tambah, serta aspek manfaat. Tak hanya itu saja, ada kriteria tambahan seperti 10 poin kriteria penilaian seperti ''state of the art, size of impact, degree of complexity, amount of effort, degree of maturity, originality, uniqueness, degree of advantage, completeness of action,'' dan ''amount of result.''
 
Hasil temuan Nurul di bidang nanoteknologi ini juga mendapatkan penghargaan dari ''World Intelectual Property Organization'' (WIPO) yang berbasis di Jenewa pada tahun 2016. Karya besarnya bukan hanya memberikan keuntungan ekonomi pada pribadinya saja, tapi juga ikut memperkuat pembangunan Bangsa Indonesia. Tak aneh, jika kini nama Nurul banyak dikenal para ilmuwan dan pelaku industri baik sebagai ilmuwan dan inovator maupun sebagai pengusaha teknologi yang berbakat.
 
Dirinya berharap ada payung hukum yang mengarahkan nanoteknologi sebagai isu aktual dalam upaya meningkatkan daya saing industri nasional. Sehingga, pengembangan sumber daya alam (bahan baku lokal) yang diberi nilai tambah dapat meningkatkan daya saing industri nasional.
 
Nurul telah mempublikasikan 19 Paten dan Hak Cipta (di antaranya 1 Paten Jepang yang telah di-''granted'' dan diterapkan di Perusahaan Kyushu Tabuchi sejak 2003) dan lebih dari 100 publikasi dan pemakalah internasional dan 140 publikasi dan pemakalah nasional.
 
Itulah prestasi Nurul dalam pengkajian dan penerapan nanoteknologi yang telah mendongkrak antusiasme peneliti pada umumnya. Sebab, selama ini peneliti Indonesia hanya dikenal jago membuat konsep atau menelurkan teori dan teknologi baru, tapi kesulitan menembus kalangan industri. Tidak ada proses hilirisasi karya penelitian mereka ke dunia industri.
 
“Saya ingin memaknai dari konteks ini bahwa membangun bangsa ini seharusnya menjadi peran kita.  Ini sudah jelas! Mari kita sedikit agak peras otak kita ini. Masa ''sih'' kita gak bisa mengangkat satu atau dua produk yang bisa berkontibrusi terhadap negara kita.” Itulah Sang Revolusioner Prof. Dr. Nurul Taufiqu Rochman, B. Eng., M.Eng. Ph.D.
 
=== Pendidikan ===