Jurnalisme musik: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Perubahan judul bagian: Sejarah Jurnalisme Musik → Sejarah jurnalisme musik menggunakan HdEdit |
k Bot: Perubahan kosmetika |
||
Baris 3:
== Sejarah jurnalisme musik ==
Secara pasti, kemunculan jurnalisme musik tidak dapat ditentukan. Meurut Bojan (2011), jurnalisme musik berasal dari aktivitas merekam peristiwa yang berhubungan dengan dunia musik, dengan wujud berupa jurnal-jurnal pada era sebelum 1840-an. ''Allgemeine musikalische Zeitung''
Pada pertengahan abad ke-19, musik modern mulai diminati masyarakat. Begitu pula dengan perkembangan jurnalisme musik. Sebelumnya, hanya kalangan musisi atau seniman yang dapat memberikan ''review'' atau laporan tentang musik klasik. Namun, setelah musik klasik mulai disaingi oleh musik modern, jurnalisme musik mulai diminati dan dilakukan oleh berbagai kalangan, mulai dari jurnalis hingga kritikus. <ref name=":1" />
Pada tahun 1894, majalah [[Billboard (majalah)|Billboard]] menjadi media pertama yang menjadikan musik sebagai salah satu kontennya. Tetapi, kala itu Billboard sebagai majalah seni, juga memuat berbagai informasi mengenai kesenian dan hiburan yang ada di masyarakat seperti sirkus, festival, dan pertunjukan. Billboard baru benar-benar menjadikan musik sebagai fokus utama pada menjelang tahun 1910. Awal 1900-an juga menjadi era bermunculnya berbagai media yang bergerak di bidang seni, terutama di seni musik.
Tahun 1920-an, persaingan dalam industri dan media musik semakin tinggi. Untuk dapat bertahan, media-media musik mulai memfokuskan kontennya. Seperti majalah Melody Maker yang pada tahun 1926 hadir sebagai majalah yang khusus membahas seputar musik jazz. Media ini mengemas berbagai informasi tentang musik jazz dan informasi seputar album musik yang akan segera dirilis.
Baris 16:
Di Indonesia sendiri, media musik baru muncul pada tahun 1957. Musika, menjadi majalah musik pertama di Indonesia. Tetapi, majalah [[Aktuil]] yang muncul tahun 1967 di Bandunglah yang dianggap memberikan warna bagi industri media di Indonesia, terutama startup bagi berbagai media musik yang muncul setelahnya. Kala itu, majalah Aktuil mampu menerbitkan 100.000 eksemplar majalah setiap penerbitan lantaran digemari anak muda. Kontennya pun sangat beragam. Aktuil juga mampu memuat hasil wawancara mereka dengan musisi-musisi internasional.<ref name=":0" />
Selain dinikmati anak muda, Aktuil juga turut digemari oleh kalangan musisi tanah air, terutama rocker. Berbagai liputannya seputar sensasi dunia musik rock seperti aksi panggung maupun masalah di luar panggung musik menjadi penarik sekaligus sumber bagi kalangan musisi untuk mencari referensi. Salah satu “sumbangsih” yang diberikan Aktuil bagi perkembangan dunia musik adalah sensasi aksi panggung. Peliputannya mengenai aksi Ucok AKA dan [[God Bless]] membawa peti mati ke atas panggung, Micky Jaguar yang menyembelih dan meminum darah kelinci saat pentas, seolah-olah menggiring fanatisme pecinta musik rock. Mereka seolah-olah menganggap sebuah konser tidaklah menarik apabila tidak ada aksi sensasional seperti yang disajikan oleh Aktuil. Hanya saja, tahun 1986 Aktuil berhenti terbit akibat krisis finansial setelah mengundang band luar negeri ke Indonesia.
Selain Aktuil, periode 1950-1980-an juga memunculkan berbagai media musik yang memiliki aliran berbeda. Soneta, Diskorina, Top, [[Hai]], [[Majalah Gadis|Gadis]], Junior, Violetta, Mode, Vista, dan beberapa media lainnya muncul untuk saling bersaing memuat konten musik. Informasi seperti profil musisi, kegiatan musik, ''review'', tangga lagu, hingga peluncuran album adalah konten yang sering dimuat oleh majalah-majalah musik tersebut.<ref>Mulyadi, Muhammad. 2009. Industri Musik Indonesia Suatu Sejarah. Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial</ref>
Mulai bergeraknya Indonesia menuju kancah internasional pada rentang 1990-2000-an, memberikan warna baru bagi industri dan media musik Indonesia. Masuknya [[MTV]] sebagai media yang secara khusus menayangkan informasi musik luar negeri yang tayang selama 24 jam, membuat anak-anak muda menjadi betah menikmati informasi musik. Periode ini pula, media musik mulai bergeser menjadi media hiburan.
Dengan adanya kebebasan pers waktu itu, media musik tidak lagi ekslusif menampilkan inforasi seputar dunia musik. Informasi seputar film, gaya hidup, kuliner, maupun otomotifpun dapat ditemukan bersamaan di dalam media yang juga memuat informasi musik. Gaya penulisan konten musik pun tidak lagi mendalam, hanya sebatas pada review album, liputan konser, dan profil musisi. Di era ini pula, konglomerasi media mulai muncul, yang membuat perubahan besar terhadap jurnalisme musik tanah air.
Trax dan [[Rolling Stone Indonesia|Rolling Stone]], pentolan media hiburan yang masuk ke Indonesia saat itu memberikan persaingan yang kuat bagi media lokal. Bahkan, Rolling Stone mampu mendominasi pasaran media hiburan dengan bantuan konglomerasi yang dilakukan. Hasilnya, Rolling Stone dianggap menjadi media mainstream, yang kemudian diikuti beberapa media lainnya. Pola pemberitaan musik pun cenderung mengikuti arus pasar. Media musik berubah menjadi sarana bagi industri musik untuk mendapatkan posisi di pasar. Informasinya pun lebih berfokus pada konten yang “menghibur” dan “informatif,” dengan musisi pop yang mendominasi topik pemberitaan. <ref>Gunadi, I. (2017)''.'' Jurnalisme music di Indonesia. ''Idhar Resmadi.net.'' Diakses dari https://idhar-resmadi.net/2017/07/06/jurnalisme-musik-di-indonesia/</ref>
Baris 50:
Pada awalnya jurnalis musik adalah fans musik itu sendiri atau kerap disebut “fans yang tercerahkan (enlightened fans)” (Gudmondsson et al. 2002). Jika melihat tokoh-tokoh jurnalis musik pada masa itu seperti Lester Bangs, Nick Kent, [[Robert Christgau]], atau [[Simon Reynolds]] merupakan orang-orang yang memiliki passion terhadap musik. Tak ada institusi resmi yang mempelajari jurnalisme musik – kecuali, saat ini beberapa perguruan tinggi di Inggris dan Amerika sudah menjadikan jurnalisme musik sebagai disiplin ilmu sendiri. Seperti halnya ilmu jurnalistik, jurnalisme musik tentu memiliki tugas untuk menyediakan informasi faktual mengenai musik dan tetek bengeknya. Gambaran seperti apa seorang jurnalis musik bekerja ditampilkan dalam film [[Almost Famous]] yang diangkat dari pengalaman pribadi sang sutradara semasa remaja, [[Cameron Crowe]]; mewawancarai band, mengikuti tur panjang, dan melihat berkembangnya budaya sex, drugs, and rock’n’roll.<ref>Gudmondsson, G, Lindberg, U., Michelsen, M., and Weisthaunet, H. 2002. Brit crit: turning points in British rock critism, 1960-1990, in Pop Music and the Press, ed. S. Jones Temple University Press: Philadelphia </ref>
Selain dinikmati anak muda, Aktuil juga turut digemari oleh kalangan musisi tanah air, terutama rocker. Berbagai liputannya seputar sensasi dunia musik rock seperti aksi panggung maupun masalah di luar panggung musik menjadi penarik sekaligus sumber bagi kalangan musisi untuk mencari referensi. Salah satu sumbangsih yang diberikan Aktuil bagi perkembangan dunia musik adalah sensasi aksi panggung. Peliputannya mengenai aksi Ucok AKA dan Godbless membawa peti mati ke atas panggung, Micky Jaguar yang menyembelih dan meminum darah kelinci saat pentas, seolah-olah menggiring fanatisme pecinta musik rock. Mereka seolah-olah menganggap sebuah konser tidaklah menarik apabila tidak ada aksi sensasional seperti yang disajikan oleh Aktuil. Hanya saja, tahun 1986 Aktuil berhenti terbit akibat krisis finansial setelah mengundang band luar negeri ke Indonesia.
Selain Aktuil, periode 1950-1980-an juga memunculkan berbagai media musik yang memiliki aliran berbeda. Soneta, Diskorina, Top, Hai, Gadis, Junior, Violetta, Mode, Vista, dan beberapa media lainnya muncul untuk saling bersaing memuat konten musik. Informasi seperti profil musisi, kegiatan musik, review, tangga lagu, hingga peluncuran album adalah konten yang sering dimuat oleh majalah-majalah musik tersebut.
Mulai bergeraknya Indonesia menuju kancah internasional pada rentang 1990-2000-an, memberikan warna baru bagi industri dan media musik Indonesia. Masuknya MTV sebagai media yang secara khusus menayangkan informasi musik luar negeri yang tayang selama 24 jam, membuat anak-anak muda menjadi betah menikmati informasi musik. Periode ini pula, media musik mulai bergeser menjadi media hiburan.
Dengan adanya kebebasan pers waktu itu, media musik tidak lagi ekslusif menampilkan inforasi seputar dunia musik. Informasi seputar film, gaya hidup, kuliner, maupun otomotifpun dapat ditemukan bersamaan di dalam media yang juga memuat informasi musik. Gaya penulisan konten musik pun tidak lagi mendalam, hanya sebatas pada review album, liputan konser, dan profil musisi. Di era ini pula, konglomerasi media mulai muncul, yang membuat perubahan besar terhadap jurnalisme musik tanah air.
Trax dan Rolling Stone, pentolan media hiburan yang masuk ke Indonesia saat itu memberikan persaingan yang kuat bagi media lokal. Bahkan, Rolling Stone mampu mendominasi pasaran media hiburan dengan bantuan konglomerasi yang dilakukan. Hasilnya, Rolling Stone dianggap menjadi media mainstream, yang kemudian diikuti beberapa media lainnya. Pola pemberitaan musik pun cenderung mengikuti arus pasar. Media musik berubah menjadi sarana bagi industri musik untuk mendapatkan posisi di pasar. Informasinya pun lebih berfokus pada konten yang “menghibur” dan “informatif,” dengan musisi pop yang mendominasi topik pemberitaan.
[[Kategori:Jurnalisme musik| ]]▼
▲[[Kategori:Jurnalisme musik]]
[[Kategori:Pekerjaan dalam bidang musik]]
|