Hak menentukan nasib sendiri: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Akuindo (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (- di tahun + pada tahun)
Baris 22:
====== Konferensi perdamaian ======
[[Berkas:The Big Four, Paris peace conference.jpg|jmpl|"Empat Besar" (''the Big Four'') pembuat keputusan utama dalam Konferensi Perdamaian Paris (dari kiri ke kanan, [[David Lloyd George]] dari Inggris, Vittorio Emanuele Orlando dari [[Italia]], [[Georges Clemenceau]] dari [[Perancis]], Woodrow Wilson dari Amerika Serikat)]]
Periode pertama setelah perang dunia I ini yang menyebabkan menentukan nasib sendiri menjadi terkemuka secara internasional, dimana prinsip menentukan nasib sendiri suatu bangsa berubah menjadi hak suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan.<ref name=":1" /><ref name=":7" /> Oleh sebab itu, dalam istilah umum, prinsip ini disederhanakan menjadi suatu kepercayaan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk membuat negara sendiri dan menentukan pemerintahan mereka sendiri.<ref name=":1" /> Namun pada Konferensi Perdamaian Paris (''Paris Peace Conference'') dipada tahun 1919, [[kekuatan kolonial]] (''colonial powers'') terlibat dalam sebuah perdebatan yang berujung pada suatu kesimpulan bahwa tidak mungkin menentukan nasib sendiri diberikan kepada semua orang.<ref name=":7" /><ref>Manela, Erez. The Wilsonian Moment : Self-Determination and the International Origins of Anticolonial Nationalism. Oxford; New York: Oxford University Press, 2007.</ref> Perwakilan kekuatan kolonial berpendapat bahwa pada saat itu, orang-orang jajahan harus dikecualikan dari proses karena belum memiliki kedewasaan dalam berpolitik. Menentukan nasib sendiri oleh sebab itu menjadi sebuah prinsip [[Ad hoc|''ad hoc'']] (khusus) yang dapat diberikan hanya kepada negara-negara yang terkait dengan berakhirnya perang. Dengan demikian, pihak yang dapat menjalankan menentukan nasib sendiri ialah kelompok etnis yang dimobilisasi secara nasional selama abad ke-19 di bawah kekaisaran Austro-Hongaria, [[kekaisaran Jerman]], kekaisaran Ottoman, dan kekaisaran Rusia.<ref name=":7" /> Dengan cepat, menentukan nasib sendiri bergulir menjadi isu [[etnis]]. Pemahaman kedaulatan menjadi berakar pada ide bangsa, dan bangsa secara spesifik terdefinisi menjadi istilah nasional-etnis (''ethno-national''). Selama konferensi perdamaian tersebut diketahui mustahil untuk menetapkan batas negara dari negara-negara yang baru terbentuk pascapemecahan area-area dalam kekaisaran tersebut.<ref name=":7" /> Konstitusi negara-negara baru yang berada di wilayah yang sebelumnya dimiliki oleh kekaisaran Eropa dinyatakan dalam basis persamaan [[warga negara]], dan mereka memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi beberapa bulan setelah pembentukan negara secara resmi, otoritas domestik meletakkan prioritas kelompok-kelompok populasi berdasarkan identifikasi etnis masing-masing. Praktik-praktik diskriminasi seperti itu seringkali dibenarkan secara domestik atas nama menentukan nasib sendiri dan toleransi internasional, disebabkan karena formulasi yang ambigu dari prinsip hak minoritas.<ref name=":7" />
 
====== Praktik diskriminasi ======
Baris 30:
=== Periode ke-dua ===
[[Berkas:Nazi Holocaust by bullets - Jewish mass grave near Zolochiv, west Ukraine.jpg|jmpl|Sisa-sisa korban orang Yahudi setelah dieksekusi peluru oleh Nazi Jerman di dekat Zolochiv, [[Ukrania]] barat]]
Periode ke-dua konsep menentukan nasib sendiri ditandai dengan berdirinya ''United Nation'' – UN ([[Perserikatan Bangsa-Bangsa]] – PBB) dipada tahun 1945.<ref name=":6" /> Menentukan nasib sendiri [[kelompok etnis]], seperti yang didefinisikan dalam [[Konferensi Perdamaian Paris 1919|Konferensi Perdamaian Paris]], yang muncul dari [[Perang Dunia II]] ini relatif lebih lemah daripada akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia I sebelumnya. Penerapan menentukan nasib sendiri yang dilakukan secara sistematik justru berakibat pada bencana yang terjadi secara tidak parallel.<ref name=":7" /> Para penganut [[nazisme]] dan [[fasisme]] telah menggunakan konsep menentukan nasib sendiri untuk menghilangkan kelompok minoritas dan merasionalkan [[pembunuhan]].<ref>Mazower, Mark. Dark Continent : Europe’s Twentieth Century. New York: A.A. Knopf : Distributed by Random House, 1999.</ref> Semakin meluasnya pandangan mengenai menentukan nasib sendiri muncul setelah beberapa dekade akibat sejumlah alasan tertentu, antara lain:<ref name=":4" />
# adanya ketegangan ekonomi dan politik yang menurunkan keinginan [[kekuatan Eropa]] untuk mempertahankan koloni/wilayah jajahan mereka.
# pertempuran [[perang dingin]] yang mengekspos [[kontradiksi]] klaim barat dalam membela kebebasan, namun pada saat yang sama mempertahankan kekuasaan di wilayah jajahan mereka.
Baris 65:
 
====== Pemisahan Yugoslavia ======
Sementara waktu perdebatan atas menentukan nasib sendiri dianggap telah berakhir, pemisahan Yugoslavia membawa kembali klaim nasional menentukan nasib sendiri atas nama etnisitas kepada dunia internasional. Menentukan nasib sendiri pada kasus pemisahan Yugoslavia diformulasikan untuk mengesahkan negara-negara baru, dan juga untuk menjustifikasi praktik pembersihan etnis secara fisik dan administratif.<ref name=":7" /> Meskipun PBB telah mendorong pemerintahan ideal yang tidak bergantung pada etnis setelah Perang Dunia II, etnisitas sebagai kategori identifikasi tidak pernah benar-benar hilang dari [[Balkan]].<ref name=":7" /><ref>Stiks, Igor. “A Laboratory of Citizenship: Nations and Citizenship in the Former Yugoslavia and Its Successor States.” 2009.</ref> Menentukan nasib sendiri mengandung konflik antara dua komponen di dalamnya yang saling bersaing.<ref name=":3" /> Setelah hampir setengah abad, pada kenyataannya, etnisitas tetap menjadi permasalahan yang berkaitan dengan pengakuan politik nasional.<ref name=":7" /> Setelah berakhirnya perang dingin, bentuk disintegrasi merupakan hasil yang diambil untuk kasus menentukan nasib sendiri antara Uni Soviet dan Yugoslavia.<ref name=":3" /> Dengan kematian [[Josip Broz Tito]] dipada tahun 1980 dan diikuti dengan krisis yang berakhir dengan pemecahan Yugoslavia, dunia menemukan keberlanjutan klaim menentukan nasib sendiri atas nama etnisitas. Di samping itu, klaim tersebut juga dibuat secara tepat di area dimana pada tahun 1919, para penggagas Konferensi Perdamaian Paris mencoba memberikan jaminan pada proses transisi dari kekaisaran menuju negara-bangsa. Perbedaannya ialah, ketika dipada tahun 1990an para pemimpin yang baru memproklamirkan diri menyampaikan klaim menurut perspektif mereka sendiri, sedangkan dipada tahun 1919 klaim yang dibuat tidak ditoleransi secara internasional. Dengan kata lain, upaya mengonstitusikan negara-etnis bangsa diterima sebagai suatu penyimpangan dari ide liberal mengenai hak asasi manusia dan status negara yang sah.<ref name=":7" />
[[Berkas:Yugoslavia ethnic map.jpg|jmpl|Map etnik Yugoslavia berdasarkan data sensus 1991]]
Pada tahun 1991, lebih dari satu tahun setelah Kroasia dan Slovenia menunjukkan tanda-tanda awal mereka ingin memproklamasikan kemerdekaan dari Serbia, ''Council of Ministers of the European Community'' – EC (dewan menteri komunitas Eropa) membentuk komisi arbitrase khusus, yang dikenal dengan nama [[Komite Badinter]]. Pada September 1991, dimulai Konferensi Internasional mengenai Yugoslavia yang dipimpin oleh Sekretaris Luar Negeri Inggris [[Lord Carrington]]. Konferensi ini terdiri dari para mediator dewan komunitas Eropa dan perwakilan pihak-pihak yang terlibat, yakni delegasi Yugoslavia dan perwakilan masing-masing republik konstituen. Beberapa bulan kemudian, Komite konferensi tersebut mengikuti prinsip ''uti possidetis'' mengakui batas antara Kroasia, Bosnia, dan Serbia. Dengan menerapkan prinsip kolonial pengakuan batas kepada orang-orang Balkan, Konferensi mengakui batas internal yang diakui sebelumnya, sebagai perbatasan internasional yang baru. Dalam melakukan hal tersebut, Konferensi mengakui kemungkinan adanya kebetulan (''coincidence'') di antara batas-batas negara-negara baru tersebut dengan klaim bangsa etnis. Maka sejak tahun 1990an, pemimpin yang baru memproklamirkan diri menemukan di dalam pengakuan internasional, adanya justifikasi tidak langsung untuk membentuk negara berdasar pada etnis.<ref name=":7" />