Sekolah pintar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Dikembalikan ke revisi 13435354 oleh HsfBot (bicara).
Tag: Pembatalan
k Bot: Penggantian teks otomatis (- di tahun + pada tahun)
Baris 13:
Selain itu, berhasil atau tidaknya implementasi penggunaan teknologi di sekolah juga berhubungan dengan perencanaan strategis, rasa memiliki, sumberdaya yang ada dan pengembangan profesional. Sebagai contoh, program ‘‘Smart School’‘ di Malaysia perlu waktu untuk diimplementasikan sehubungan dengan proses sosialisasi di kalangan birokrasi dan perencanaan strategis departemen yang bersangkutan (Bajunid, 2008 ). Karakteristik lain yang menentukan suksesnya program ''Smart School'' di Malaysia adalah faktor kepala sekolah yang berkualitas (Puteh dan Vicziany, 2004)
Kendala utama dalam aplikasi sekolah pintar di Indonesia terletak pada pembangunan dan penyediaan infrastruktur internet. Istilah ''Digital divide'' merujuk pada satu istilah yang menggambarkan adanya kesenjangan penggunaan teknologi internet antara si kaya dan si miskin, antara kulit putih dan kaum minoritas (Straubhaar et al, Media Now, 2012:12). Istilah ini juga menciptakan jurang kelas baru – yang terjadi pada masyarakat kelas bawah, yang tidak dapat menikmati akses dan layanan internet. Di seluruh dunia, ''digital divide'' dapat dilihat di negara berkembang. Penduduk pedesaan, kelompok minoritas dan kelompok penduduk yang memiliki pendapatan rendah adalah mereka yang paling minim mendapat exposure teknologi ini <ref>Schaefer, Sociology, 2012. hal.168</ref>.
Daya jangkauan telepon seluler di Indonesia mencapai 90% dari teritori Indonesia dipada tahun 2010 (Jakarta Globe, 6 Januari 2012). Pasar yang potensial ini bisa menjadi jembatan atau penghubung yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengatasi kesenjangan digital. ''Digital divide'' di Indonesia dapat dilihat dari terkonsentrasinya penggunaan teknologi berbasis internet di pulau Jawa, terutama di kota-kota besar. Daerah tertinggal atau pulau-pulau yang jauh, sayangnya, belum mendapatkan akses internet. Berdasarkan data 2007, penduduk Indonesia yang memiliki akses internet hanya 2% dari jumlah populasi. Bandingkan misalnya dengan Singapura, yang berada di kisaran 76%.
 
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia memiliki rencana yang dikenal dengan dengan program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Salah satu yang menjadi prioritas adalah dengan membangun ''interconnectivity'' antara enam koridor ekonomi, yang salah satunya adalah investasi infrastruktur di bidang informasi dan teknologi komunikasi.