Gintangan, Blimbingsari, Banyuwangi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
k Bot: Penggantian teks otomatis (-  + )
Baris 25:
 
== Sejarah Gintangan ==
Gintangan, nama sebuah desa di Kecamatan Blimbingsari,   Kabupaten Banyuwangi memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Berawal dari sebuah dukuh yang sudah berdiri sebelum Perang Semesta Blambangan di Bayu (1771-1774), Gintangan telah ada jauh sebelumnya.
 
Menurut cerita rakyat, Gintangan berasal dari nama ‘Gontang' dan disebut menjadi ‘Gontangan’, yang memiliki arti Bumbung Bambu untuk wadah air. Yakni wadah air yang digunakan oleh tokoh bernama Sulung Agung.
Baris 49:
Masa pemerintahan Prabu Tawangalun II di Macanputih terjadi antara tahun 1655-1691. Dalam Suluk Balumbung disebutkan bahwa sepuluh tahun pertama adalah masa konsolidasi dan pembangunan kekuatan. Sementara pada tahun 1674-1676, tanah Jawa bagian barat saat itu sedang dilanda kemarau panjang dan gagal panen.
 
Sejarawan Belanda,   De Graff menyatakan bahwa Jawa Timur khususnya Balambangan tidak mengalami bencana kelaparan seperti di Jawa Tengah (Mataram). Dikabarkan bahwa Balambangan dapat menjual beras dengan harga lebih mahal kepada ''kompeni.''
 
Dari keterangan itu dapat disimpulkan bahwa pada masa Prabu Tawangalun II itulah Balambangan mencapai zaman kemakmuran dan rakyat bisa hidup sejahtera, makan kenyang dan tidur nyenyak. Maka dapat diperkirakan saat itulah tokoh Sulung Agung melakukan babat hutan dan mendirikan desa Galintang/Gelintang/Gelinting(an).
Baris 55:
Lalu, siapakah nama asli dari tokoh Sulung Agung?, Secara bahasa, Sulung berarti yang tua atau yang pertama (anak pertama/tertua) yang bermakna ''pengarep'' (pemuka/pemimpin. Dan kata Agung tentu adalah karakternya sebagai Pemimpin Besar. Dengan demikian, Sulung Agung tentu bukan nama asli melainkan julukan dari seorang pemimpin besar kala itu yang memerintahkan pembangunan desa di hutan tersebut (kemungkinan juga desa-desa lainnya).
 
Kita boleh saja menebak-nebak siapa nama asli tokoh tersebut, yang jelas keturunannya tetap menjadi pemuka desa di masa-masa selanjutnya. Terbukti 98 tahun kemudian, dari masa Sulung Agung 1674-1676 hingga ke masa Ki Mahisa Gethuk 1771-1774,   pada masa terjadinya perang Bayu Ki Mahisa Gethuk juga berpihak pada Mas Rempeg Jagapati di Bayu.
 
Sebagai catatan, nama Mahisa atau Kebo atau Lembu menunjukkan bahwa dia masih trah bangsawan kerajaan, maka dapat dipastikan bahwa Mahisa Gethuk yang hidup sampai tahun 1774 masih keturunan (dua atau tiga generasi) dari tokoh Sulung Agung yang hidup sekitar tahun 1676.