Hak properti wanita: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (- + ) |
k Bot: Perubahan kosmetika |
||
Baris 33:
Pembatasan hak properti dilakukan pada wanita berdasarkan landasan [[filosofi]] dan pola tradisi masyarakat. Pola tersebut berasal dari berbagai sumber yang terkombinasikan sehingga menghasilkan gagasan bahwa wanita adalah makhluk yang lemah, tidak cakap, dan jahat. Tradisi Judeo-Kristen (''Judeo-Christian'') memiliki andil dalam pembentukan pola terhadap wanita tersebut. Ajaran gereja merujuk pada [[Kitab Kejadian]] (''Genesis'') memperhitungkan kejatuhan manusia, dengan wanita (Eve) yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Mereka melihat Eve sebagai sumber kejahatan, dan diteruskan kepada seluruh wanita yang ada. Cerita dalam Kitab Kristen seperti [[Delilah]], Rebekah, dan istri [[Nabi Luth|nabi Lot]], lebih lanjut membuktikan bahwa wanita merupakan tipu daya, bersifat tidak patuh, dan berakhlak buruk.<ref name=":1" /><ref>Merry E. Weisner, Women and Gender in Early Modern Europe (Cambridge:Cambridge University Press, 1993), 10–11</ref> Sepanjang periode ''[[Renaissance]]'' dan [[reformasi]], gambaran ideal seorang wanita ialah sosok yang patuh, penghibur anak di waktu sedih atau bosan, dan pelayan suami tanpa banyak bertanya. Revolusi ilmiah yang memperdebatkan mengenai [[anatomi]] wanita, berakhir dengan simpulan bahwa wanita lebih rendah kualitas fisiknya dibandingkan pria dalam segala aspek, dan menyetujui bahwa wanita mempunyai ciri tidak rasional, mudah histeris, dan membutuhkan pria untuk menyalurkan keinginan mereka. Berdasarkan gagasan tersebut bahwa wanita secara [[fisik]], [[spiritual]], dan [[emosional]], inferior terhadap pria, hukum umum Inggris mengembangkan sebuah sistem yang bertujuan membatasi peluang wanita merusak masyarakat. Pola tersebut juga berdampak pada identitas wanita yang terdefinisi oleh peran mereka sebagai istri dan ibu, daripada [[entitas]] hukum. Berdasarkan peran-peran tersebut, wanita dapat membuktikan karakter dan budi baik mereka di bawah pengawasan pria.<ref name=":1" />
== Hak primogenetur
Hukum umum Inggris pertama yang berdampak pada hak properti wanita pada masa moderen awal ialah [[hak primogenetur]] (''primogeniture'') atau [[hak anak sulung]]. Hak tersebut berlaku secara efektif terutama selama masa gadis seorang wanita. Hak primogenetur menetapkan bahwa harta peninggalan diberikan sepenuhnya kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga, dan seringkali meninggalkan anggota keluarga yang perempuan dengan sedikit atau tidak ada samasekali [[harta]] peninggalan. Alasan dibalik peraturan tersebut dapat diterima untuk sebuah negara dengan keterbatasan lahan seperti Inggris, yakni untuk menjaga tanah agar tidak terpecah-pecah menjadi bagian yang lebih kecil akibat pernikahan dan pewarisan berulang-ulang, oleh sebab itu anak laki-laki pertama dalam keluarga yang mewarisinya. Apabila seorang wanita diberikan tanah sebagai [[mahar]] atau [[warisan]], maka akibat pernikahan itu, tanah tersebut tidak lagi menjadi tanah keluarga, sehingga dapat menurunkan harga tanah tersebut. Sedangkan apabila anak laki-laki termuda yang mendapatkan tanah melalui warisan, maka tanah tersebut akan menjadi cepat berkurang karena pembagian dengan masing-masing generasi baru. Selain [[tanah]], benda-benda lain diturunkan kepada semua anak, seperti barang yang dapat dipindahkan, misalnya [[furnitur]] dan [[pakaian]], atau sejumlah [[uang]]: namun tanah, karena merupakan penentu kekayaan dan kekuasaan di Inggris, maka harus dipertahankan dengan segala cara. Hak primogenetur mempertahankan golongan aristokrasi melalui penjagaan terhadap tanah dan juga gelar ke[[bangsawan]]<nowiki/>an, serta menjaga peruntungan keluarga untuk kelangsungan anak cucu dan keturunan selanjutnya.<ref name=":1" />
Meski demikian, dalam realita yang terjadi, wanita dapat pula semakin memiliki pertambahan harta melalui warisan, yang terkadang termasuk di dalamnya berupa tanah. Wanita pada umumnya mendapatkan warisan properti yang dapat dipindahkan sebagaimana yang lebih dapat diterima berdasarkan hukum umum; namun hukum menyediakan kondisi dimana anak perempuan dapat menerima warisan berupa tanah. Apabila ayah wanita tersebut tidak mempunyai anak laki-laki, namun menginginkan agar tanah yang dimilikinya dapat tetap berada dalam kepemilikan keluarga langsungnya (''immediate family'') daripada diberikan kepada keluarga laki-laki jauh, maka anak perempuannya dapat mewarisi tanah tersebut.<ref name=":1" /> Di samping itu, apabila seorang ayah memiliki beberapa anak perempuan dan tidak memiliki anak laki-laki, tanah yang dimilikinya dapat dibagi secara merata di antara anak-anak perempuannya. Diperkirakan sekitar 33% wanita menerima warisan properti tanah di bawah peraturan hukum umum tersebut.<ref>Eileen Spring, Law, Land, and Family: Aristocratic Inheritance in England, 1300 to 1800 (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1993) 10–11</ref> Tanah warisan untuk wanita juga bervariasi menurut wilayah. Sebagai contoh, catatan dari [[Yorkshire]] mengindikasikan sekitar 26% pria yang memiliki anak laki-laki dan anak perempuan memberikan warisan tanah kepada anak dengan kedua gender tersebut, sementara di [[Sussex]], laju pemberian warisan kepada anak perempuan ialah serendah 5%. Gagasan memberikan tanah kepada wanita dibandingkan kepada keluarga laki-laki benar adanya, bahkan di dalam lingkup keluarga inti. Sebagai contoh, dalam kasus Tuan [[John Shelton]], ia mengatur agar tanah yang dimilikinya dapat diberikan kepada tiga anak perempuannya karena saudara laki-lakinya, satu-satunya laki-laki yang dapat mewarisi tanah tersebut, meninggal sebelum dirinya.<ref>Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 21</ref> Sementara hukum umum idealnya memberikan warisan tanah kepada anak laki-laki tertua, namun pada praktiknya dalam [[Periode modern awal|periode moderen awal]] Inggris memberikan pula kepada wanita warisan berupa tanah, meskipun lebih jarang terjadi.<ref name=":1" />
== Mahar
Praktik pembatasan hak properti wanita yang kedua ialah [[mas kawin]] atau mahar. Sebagai penukar janji hak istri untuk pengantin wanita, mahar merupakan setengah dari kontrak pernikahan, dan seringkali terdiri dari sejumlah uang yang dibayarkan secara penuh atau dapat pula dibayarkan secara berangsung dari waktu ke waktu. Pihak keluarga akan memberikan mahar sebesar-besarnya semampu yang dapat mereka berikan, sebab pernikahan merupakan jalan utama untuk meningkatkan [[status sosial]] dan [[ekonomi]].<ref>Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 43-44</ref> Mahar dapat bervariasi dari sejumlah kecil hingga sejumlah besar uang, di samping properti lainnya, dan jumlah tersebut dirundingkan oleh keluarga atau wali pengantin pria dan pengantin wanita. Pada beberapa kasus, ibu merupakan perunding utama dalam transaksi tersebut, seperti misalnya dalam kasus [[Margaret Green]] pada tahun 1635.<ref>Amy Louise Erickson, Women and Property in Early Modern England, (New York: Routledge, 1993), 93</ref> Pada tahun 1536, gelar bangsawan Huntington pertama bersedia membayar mahar sebesar 2,000 marks kepada suami dari anak perempuannya, sebagai kembalian atas harta istri (''jointure'') sebesar 200 marks.<ref>Amy Louise Erickson, Women and Property in Early Modern England, (New York: Routledge, 1993), 45</ref> Negosiasi mahar itu dapat berlangsung hingga berbulan-bulan. [[Mabel Parr]] melakukan negosiasi perjanjian antara anak perempuannya dengan keturunan [[bangsawan Scrope]] pada tahun 1524, yang berakhir dengan dibatalkannya perjanjian tersebut setelah perundingan selama delapan bulan karena tidak ada kesepakatan yang tercapai mengenai jumlah harta istri (''jointure'') yang akan diberikan.<ref>Amy Louise Erickson, Women and Property in Early Modern England, (New York: Routledge, 1993), 46</ref> Seringkali mahar merupakan bagian warisan keluarga untuk wanita, yang jumlahnya dapat bervariasi di antara anak-anak perempuan apabila ayah mereka memutuskan bahwa seorang anak perempuan tertentu lebih berharga dibanding anak perempuan yang lainnya. Semakin besar mahar, semakin menarik seorang wanita sebagai pasangan pernikahan yang potensial.<ref>Mary Chan and Nancy E. Wright, “Marriage, Identity, and the Pursuit of Property in Seventeenth–Century England: The Cases of Anne Clifford and Elizabeth Wiseman,” in Wright, Ferguson, and Buck, 162–182</ref> Meskipun mahar seorang wanita merupakan bagian milik mereka dalam warisan keluarga, beberapa ayah memilih untuk tetap memberi lebih banyak warisan kepada anak perempuannya yang telah menikah. Berdasarkan hukum umum negosiasi mahar, semua properti yang diberikan kepada pengantin wanita akan diberikan segera kepada suami mereka sebagai pembayaran untuk janji harta istri (''[[jointure]]''), yang tidak akan dimiliki oleh wanita/istri tersebut sampai masa jandanya tiba.<ref name=":1" />
Baris 47:
Cara yang pertama yakni melalui ''jointure'' (harta istri). Apabila kontrak pernikahan tidak dijalankan sepenuhnya, atau apabila sebuah pernikahan gagal memenuhi [[Hukum Gereja|hukum gereja]] (''ecclesiastical law''), harta istri sekurangnya dikembalikan kepada keluarga istri tersebut sebagian. Harta istri (''jointure'') tidak hanya merupakan pengaman kekayaan bagi keluarga pengantin wanita, tetapi juga dimaksudkan oleh hukum umum untuk melindungi istri dari berakhirnya pernikahan akibat perceraian maupun [[kematian]].<ref>Eileen Spring, Law, Land, and Family: Aristocratic Inheritance in England, 1300 to 1800 (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1993), 25-26</ref> Terdapat dua kondisi dimana hukum gereja dapat berlaku, yang pertama ialah keadaan dimana pengantin wanita berusia lebih muda dari 12 tahun dan pengantin pria berusia lebih muda dari 14 tahun, dan diterapkan ketika pasangan tersebut telah cukup dewasa untuk memutuskan bahwa sebenarnya mereka tidak ingin dinikahkan pada saat pernikahan mereka dilangsungkan. Hal ini merupakan landasan yang sah untuk mengakhiri pernikahan yang telah terlanjur dilakukan, dan landasan yang kuat pula untuk mengembalikan mahar kepada pihak wanita. Keadaan yang kedua ialah apabila baik pengantin pria maupun pengantin wanita meninggal sebelum pelaksanaan pernikahan atau sebelum mencapai usia 16 tahun.<ref>Barbara J. Harris, British Aristocratic Women, 1450–1550: Marriage and Family, Property and Careers (Oxford: Oxford University Press, 2002), 45</ref> Harta istri (''jointure'') diberikan kepada wanita/istri untuk kasus-kasus tersebut, sebagai langkah pengamanan bagi wanita. Hal ini juga menggambarkan dimana hukum umum menjadi tidak berlaku karena harta istri (''jointure'') sangat bergantung erat pada hukum gereja.<ref name=":1" />
====== ''Separate estate''
Cara kedua keluar dari pembatasan ''couverture'' (kedudukan wanita bersuami) ialah melalui bentuk kontrak pernikahan yang disebut dengan ''[[separate estate]]'' (lahan terpisah). Kontrak pernikahan ini memungkinkan wanita memiliki sepenuhnya tanah selama masa pernikahan. Hal ini berarti bahwa pengantin wanita menjaga sepenuhnya hak atas pemilikan properti tanah yang dimilikinya selama pernikahan (tanah tidak menjadi milik suami setelah pernikahan). Gagasan ini serupa dengan perjanjian moderen sebelum masa pernikahan (''pre-nuptial''), diakibatkan karena berakhirnya pernikahan oleh perceraian ataupun kematian, wanita dapat menjaga properti mahar tertentu dan juga harta istri (''jointure''). Namun demikian, bentuk kontrak pernikahan ini hanya digunakan oleh anggota masyarakat yang paling kaya untuk melindungi kekayaan keluarga, dan lahan terpisah (''separate estate'' ) ini termasuk salah satu di antara hal yang paling sulit untuk mendapat pembelaan secara hukum karena hanya berlaku berdasarkan hukum kewajaran (''[[law of equity]]'').<ref>Amy Louise Erickson, Women and Property in Early Modern England, (New York: Routledge, 1993), 103</ref>
|