Pulau Kemaro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ramtrm (bicara | kontrib)
Penambahan konten
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 4:
Di Pulau Kemaro juga terdapat makam dari putri Palembang, Siti Fatimah. Menurut legenda setempat yang tertulis di sebuah batu di samping Klenteng Hok Tjing Rio, pada zaman dahulu, datang seorang pangeran dari [[RRT|Negeri Cina]], bernama ''Tan Bun An'', ia datang ke Palembang untuk berdagang. Ketika ia meminta izin ke Raja Palembang, ia bertemu dengan putri raja yang bernama Siti Fatimah. Ia langsung jatuh hati, begitu juga dengan Siti Fatimah. Merekapun menjalin kasih dan berniat untuk ke pelaminan. Tan Bun An mengajak sang Siti Fatimah ke daratan Cina untuk melihat orang tua Tan Bun Han. Setelah beberapa waktu, mereka kembali ke Palembang. Bersama mereka disertakan pula tujuh guci yang berisi emas. Sesampai di muara Sungai Musi Tan Bun han ingin melihat hadiah emas di dalam Guci-guci tersebut. Tetapi alangkah kagetnya karena yang dilihat adalah sayuran sawi-sawi asin. Tanpa berpikir panjang ia membuang guci-guci tersebut ke laut, tetapi guci terakhir terjatuh di atas dek dan pecah. Ternyata di dalamnya terdapat emas. Tanpa berpikir panjang lagi ia terjun ke dalam sungai untuk mengambil emas-emas dalam guci yang sudah dibuangnya. Seorang pengawalnya juga ikut terjun untuk membantu, tetapi kedua orang itu tidak kunjung muncul. Siti Fatimah akhirnya menyusul dan terjun juga ke Sungai Musi. Untuk mengenang mereka bertiga dibangunlah sebuah kuil dan makam untuk ketiga orang tersebut<ref>[Batu Legenda disamping Klenteng Hok Tjing Rio]</ref>.
 
Versi lain dari cerita Pulau Kemaro
(Tiongkok-Islam Ver.)
Pada zaman dahulu, datang seorang pangeran dari [[RRT|Negeri Cina]], bernama ''Tan Bun An'', ia datang ke Palembang untuk berdagang. Suatu hari dia bertemu dengan anak seorang bangsawan yang bernama Siti Fatimah. Ia langsung jatuh hati, begitu juga dengan Siti Fatimah. Merekapun menjalin kasih dan berniat untuk menikah. Karena Siti Fatimah merupakan anak seorang bangsawan dari Palembang Darusalam, tentu saja keluarga Siti Fatimah merasa berat hati jika harus menerima lamaran dari Tan Bun An yang berbeda agama dan budaya dengan mereka, akhirnya Ayah Siti Fatimah meminta syarat yang sulit untuk menghindari pernikahan tersebut, Ayah Siti Fatimah meminta tujuh guci berisi emas yang di datangkan langsung dari Tiongkok, tanpa ragu Tan Bun An langsung menyetujui dan mengabarkan kepada keluarganya secepat mungkin, mendengar kabar bahwa Tan Bun An menyetujui syarat tersebut Ayah Siti Fatimah terkejut dan pasrah terhadap apa yang akan terjadi. Karena Palembang dan Tiongkok berjarak sangat jauh, keluarga Tan Bun An menutupi emas di dalam guci tersebut dengan sawi/sayur asin agar terhindar dari perompak, hari demi hari bahkan hingga berbulan bulan dilewati sayur sayur asin tersebut telah membusuk. Tan Bun An marah melihat isi guci yang seharusnya berisi emas tetapi malah berisi sayur yang sudah membusuk dan berulat. Tanpa berpikir panjang Tan Bun An langsung membuang guci guci tersebut ke dalam sungai. Lalu guci terakhir terjatuh di atas dek dan pecah. Alangkah kagetnya ia melihat ternyata di dalam guci tersebut terdapat emas. Tanpa berpikir panjang lagi ia terjun ke dalam sungai untuk mengambil emas-emas dalam guci yang sudah dibuangnya. Seorang pengawalnya juga ikut terjun untuk membantu, tetapi kedua orang itu tidak kunjung muncul. Siti Fatimah akhirnya menyusul dan terjun juga ke Sungai Musi. Untuk mengenang mereka bertiga dibangunlah sebuah kuil dan makam untuk ketiga orang tersebut.