Fideisme: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan |
+ikhtisar |
||
Baris 71:
Klaim tersebut umumnya dianut dalam berbagai bentuk oleh kebanyakan teolog dan [[anti-rasionalisme|anti-rasionalis]] sedari [[Santo Paulus]] hingga beberapa penganut [[neo-ortodoks]].<ref name="Popkin"/> Pemahaman semacam ini sepakat bahwa kebenaran ilahiah tak dapat ditopang maupun dibuktikan oleh pembuktian rasional, melainkan semestinya dipahami sebagai sesuatu yang hanya dapat dicapai melalui keimanan.<ref name="caroll"/>
== Ikhtisar ==
=== Søren Kierkegaard ===
Tulisan Søren Kierkegaard mengenai eksistensi Tuhan yang tak mungkin tergapai dan, karenanya, untuk mengimaninya tak perlu menggunakan justifikasi rasional adalah argumen fideistik di ranah eksistensialisme Kristen. Dalam ''Frygt og Bæven,'' Kierkegaard menceritakan pengorbanan Ibrahim atas Ishak yang dalam Perjanjian Baru aksi tersebut dinilai sebagai penampakan keimanan yang teguh. Akan tetapi, di mata lawan keimanan ini, aksi tersebut dapat dinilai sebagai hasil atas delusi yang gila. Kierkegaard menggunakan contoh ini untuk menjelaskan problem atas keimanan secara umum.<ref>{{cite book
|title=Christian Apologetics
|last=Geisler
|first=Norman
|publisher=Baker Book House
|date=1976}}
</ref> Kierkegaard berargumen bahwa keimanan atas inkarnasi Yesus atas Tuhan ke dalam bentuk manusia dinilai paradoksal, karena hal tersebut menyiratkan kesempurnaan tuhan diturunkan ke dalam bentuk manusia yang sederhana. Menurutnya, nalar tak cukup untuk memahami hal tersebut. Sehingga, untuk mengimani hal tersebut dibutuhkan "lompatan keimanan" untuk memahaminya.
=== William James ===
Psikolog dan filsuf pragmatisme William James mengenalkan konsep ''will to believe'' pada tahun 1896. Dependen terhadap karyanya mengenai teori kebenaran, James berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan religiositas hanya dapat dijawab dengan mempercayai doktrin religiositas terlebih dahulu. Sehingga, seseorang takkan dapat mengetahui apakah doktrin religius dapat benar-benar bekerja kecuali dengan benar-benar mengimani doktrin religius terlebih dahulu. Karena pengalaman religius dinilai tak dapat terlukiskan dengan "bahasa umum," maka tidak mungkin dilakukan diskursus koheren mengenai pengalaman religiositas dengan bahasa di luar konteks religiositas. Karena itu, keimanan religius tak dapat didiskusikan secara efektif menggunakan bahasa umum—nalar tak dapat mempengaruhi keimanan. Sebaliknya, keimanan dicapai dengan pengalaman spiritual, dan untuk memahami keimanan hanya dapat digapai dengan praktik religiositas itu sendiri.
== Referensi ==
|