Pada tahun 1978 (pada usia 11 tahun) Waryo kecil bersama dengan bapaknya dan ''Ki'' Sana (paman) berkempatan untuk mengikuti festival seni tradisional bertaraf internasional di [[Jakarta]], mereka pentas mewakili seniman Cirebon dipimpin oleh bapak Endo Suanda, festival seni inilah yang kemudian memicu Waryo untuk tetap konsisten dalam berkesenian dan ingin bersekolah setinggi-tingginya, hal tersebut dikarenakan Waryo bisa melihat para maestro seni tradisional berkelas dunia.
Pada saat tamat dari Sekolah Dasar (SD) Negeri Bongas 2, Waryo kecil nyaris putus sekolah karena tidak ada biaya, dia sempat membantu Adimadik ibunya (paman) yang bernama Rasa dan ibunya hampir menjadi tukang kayu, tidak lama kemudian Waryo kecil mendapat kesempatan bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) PGRI dan berhasil lulus, ketika Waryo kecil bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) PGRI dia berusaha mencari cara agar dirinya bisa diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri, dengan usahanya akhirnya dia bisa masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Jatiwangi. Pada saat baru masuk kelas satu di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Jatiwangi [[Majalengka]], dia sudah dikenal oleh teman-temannya bisa bermain kesenian, dari situlah yang mengantarkan Waryo bertemu dengan para sahabat yang hebat dan mendukung langkahnya, mereka aktif di gamelan dan seni lawak, bahkan teman semejanya yang bernama Deni Mardiana (Deni Oncel) sangat terinspirasi dengan apa yang Waryo lakukan dalam berkesenian, Deni Mardiana merupakan seorang kristiani yang taat dari kalangan keluarga guru, sekarang Deni Mardiana disamping menjadi guru dia juga konsisten menjadi seniman di [[Bandung]] hingga saat ini. Deni Mardiana inilah yang terus menyemangati seorang Waryo kecil untuk kuliah, karena pada saat Waryo kecil lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Jatiwangi dia tidak berniat untuk melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi seperti mimpi sebelumnya saat dia terlibat dalam festival seni tradisional bertaraf internasional pada tahun 1978 di [[Jakarta]], semua itu dikarenakan faktor biaya, akan tetapi teman-temannya termasuk teman semejanya yaitu Deni Mardiana terus menyemangatinya. Deni Mardiana juga turut membantu Waryo dalam usahanya masuk ke Perguruan Tinggi dengan mmembelikan blangko pendaftarannya, akhirnya Waryo ikut mencoba dan diterima di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta jurusan seni rupa yang merupakan cita-citanya sejak dia masih dibangku Sekolah Dasar (SD) Bongas 2, [[Sumberjaya, Majalengka | Sumberjaya]], [[Majalengka]], namun karena faktor ekonomi Waryo tidak mengambil kesempatan itu, kemudian atas saran teman yang lain sesama aktifis Pramuka Waryo disarankan untuk mencoba masuk kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) [[Bandung]], dia mencoba test dengan Deni Mardiana sahabatnya, saat itu Waryo mencoba untuk mengambil jurusan Karawitan sementara Deni Mardiana mengambil jurusan Teater. Mereka akhirnya lulus tes dan diterima, akan tetapi akhirnya mereka berpisah karena Deni Mardiana lebih memilih saran orang tuanya untuk mengambil kuliah di Institut Kesenian dan Ilmu Pendidikan (IKIP) [[Bandung]].
Pada masa awal perkuliahan Waryo sempat frustasi hingga Indek Prestasinya (IP) buruk, selain itu Waryo juga berusaha bertahan dengan kondisi keuangan yang pas-pasan, di semester berikutnya Waryo mampu bangkit dan dipercaya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa (HIMA) jurusan Karawitan tahun 1989, setelah lulus program Diploma 3 (D3) di ASTI Bandung, Waryo melanjutkan ke program Sarjana (S1) pada tahun 1991 di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) [[Surakarta]]. Program Sarjana (S1) Waryo sempat terseok-seok karena dia harus membagi waktunya antara manggung dan kuliah, hingga akhirnya dia berhasil menyelseikan skripsinya pada akhir 1995 dan diwisuda awal 1996.
|