Pulau Sebesi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k ←Suntingan 120.188.39.41 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh AABot
Tag: Pengembalian
Baris 12:
 
[[Berkas:Piek van Sebesi in Straat Soenda.jpg|jmpl|300px|Gambar Pulau Sebesi pada tahun 1880]]
'''Pulau Sebesi''' (Sebesi IslandIslan) adalah sebuah [[pulau]] yang secara administratif berada di wilayah Bumi Sari Natar, Kecamatan Rajabasa, [[Kabupaten Lampung Selatan]], Provinsi Lampung, Indonesia. Berbentuk seperti gunung berapi dengan ketinggian 844m, secara geografis pulau ini terletak di [[Selatselat Sunda]] atau wilayah selatan Perairanperairan Lampung. Lebih tepatnya PulauP. Sebesi berada di sebelah selatan dari [[Pulaupulau Sebuku, Lampung|Pulau Sebuku]], sebelah [[timur]] [[Pulau Serdang]] dan [[Pulau Legundi]], serta sebelah Timur Laut Gugusan Kaldera Krakatau.
 
Pulau ini merupakan daratan yang paling dekat dengan Gugusan Kaldera Krakatau dan turut menjadi saksi kedahsyatan letusan besar Krakatau tahun 1883. Sejak dulu [[Pulau Sebesi]] sangat terkenal akan kesuburan tanahnya. Kini, selain memiliki keunggulan di sektor perkebunan, pulau ini juga sedang dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata andalan [[Kabupaten Lampung Selatan]] selain [[Gunung Anak Krakatau]] dan sejumlah pantai seperti Merak Belantung, Kalianda Resortresort, dll.
 
Nama [[Pulau Sebesi]] diduga berasal dari Bahasabahasa Sansekerta, ''Sawesi (Savvesi)''. Masyarakat sekitar biasa menyebut Pulau Sebesi dengan sebutan ''<nowiki>Pulo'</nowiki>''.
 
== Riwayat Kepemilikan ==
Hingga kini catatan yang menggambarkan mengenai awal mula keberadaan pulau ini belum pernah ditemukan. Namun beberapa dokumen yang dibuat oleh orang-orang Eropa pada abad ke-17 mengindikasikan bahwa pulau ini pernah disinggahi oleh orang-orang Eropa yang berlayar dari wilayah perairan Utara menuju [[Provinsi Banten]] atau sebaliknya. Pada saat itu Pulau Sebesi dihuni oleh masyarakat yang ada di sepanjang pesisir di wilayah [[IV Marga]] (kaki Gununggunung Raja RajabasaBasa) yang mayoritas bertani rempah-rempah. Meski begitu nama pemilik pulau ini tidak pernah ditemukan dalam catatan hingga memasuki abad ke-19.
 
=== Pangeran Cecobaian ===
Menurut legenda, dahulu pulau ini berada dibawah kekuasaan [[Kesultanan Banten|Sultan Banten]]. Lalu pada akhir abad ke-16 seorang ''Mekhanai'' (Pemuda) Lampung) dari Desa Damaian datang ke Gununggunung Raja RajabasaBasa dan menetap di wilayah yang saat ini dihuni oleh IV Marga yaitu :
# Marga Kesugihan (sekarang Marga Legun)
# Marga Ratu (Ratu Menangsi)
# Marga Penengahan (sekarang Marga Dantaran)
# [[Marga Raja Basa (Pesisir)|Marga Raja Basa]] (sekarang Marga Pesisir)
Sang Pemuda juga datang ke Pulau Sebesi dan Gugusan Kaldera Krakatau untuk membeli hasil lada yang ditanam warga. Sebagian dari hasil lada tersebut diserahkan oleh pemuda itu kepada Sultan Banten. Sebagai imbalannya Sultan Banten memberikan pemuda tersebut gelar [[Pangeran Cecobaian]] (ejaan dalam arsip Belanda : Pangeran Tjetjobaian / Pangeran Tjoba Tjoba), sebagai percobaan karena saat itu [[Kesultanan Banten]] belum pernah memberikan gelar Pangeran kepada orang Sabrang (sebutan untuk Orangorang Lampung pada masa itu). Selain gelar Pangeran tersebut, diberikan pula hak kepemilikan atas [[Pulau Sebesi]], [[Pulau Sebuku]], dan [[Gugusan Krakatau]] kepadanya.<ref name="pangerantjetjobaian">Helfrich, O.L. 1930. [http://sipus.simaster.ugm.ac.id/digilib/index.php?mod=book_detail&sub=BookDetail&act=view&typ=htmlext&buku_id=181119&obyek_id=1 ''Adatrechtbundels XXXII : Zuid-Sumatra'']. hlm. 233-241. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.</ref>
<br /><br />
 
=== Pangeran Singa Brata ===
Setelah [[Pangeran Cecobaian]] wafat, hak kepemilikan atas Pulau Sebesi ini pada akhirnya diwariskan pada Pangeran Singa Brata, yang juga menjabat sebagai Kepala [[Marga Raja Basa]]. [[Pangeran Singa Brata]] adalah keturunan ke-18 dari Pangeran Cecobaian<ref name="pangerantjetjobaian" />. Ia juga merupakan salah satu pejuang dari [[KeresidenanKaresidenan Lampung]], [[onderafdeeling Katimbang]], yang turut membantu [[Radin Inten II|Raden Inten II]] berjuang melawan pemerintah Hindia Belanda<ref>Pemerintah Provinsi Lampung. Dinas Pendidikan. ''Pahlawan Nasional Radin Intan II'', Leaflet. 2004.</ref>. Sempat terjadi sengketa kepemilikan Pulau Sebesi dan Pulau Sebuku antara [[Pangeran Singa Brata]] dengan seorang penduduk [[Teluk Betung, Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung|Teluk Betung]] yang bernama Haji Abdurrachman bin Ali. Haji Abdurrachman bin Ali mengajukan permintaan tertanggal 17 Juli 1848 kepada ''Civiele en Militaire Gezaghebber ''agar diperbolehkan menanam di Pulau Sebesi dan Sebuku. Hal ini diduga dilakukan untuk melemahkan perjuangan Pangeran Singa Brata terhadap penjajah. Pangeran Singa Brata pun mengajukan keberatan pada pihak pemerintah. Lalu pemerintah [[Hindia - Belanda]] pada saat itu melakukan penyelidikan terhadap status hukum Pulau Sebesi dan Sebuku. Dari hasil investigasi itu diketahui bahwa [[Pangeran Singa Brata]] adalah pemilik yang sah atas Pulau Sebesi dan Sebuku<ref name="besluitpangeransingabrata">Nederlands-Indië. 1864. [http://sipus.simaster.ugm.ac.id/digilib/index.php?mod=book_detail&sub=BookDetail&act=view&typ=htmlext&buku_id=181119&obyek_id=1 ''Besluiten van den Gouvernement 6 April 1864. Staatblad No. 54. 1864'']</ref>. Namun pada tahun 1856 Pangeran Singa Brata tertangkap oleh tentara [[Hindia Belanda]] dan dibuang ke [[Kota Manado|Manado, Sulawesi Utara]]. Untuk mengakhiri konflik, maka hak kepemilikan [[Pangeran Singa Brata]] atas pulau ini disahkan melalui ''Besluit'' (Keputusan) [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda|Gubernur Jenderal Hindia - Belanda]] tahun 1864. Selama masa pengasingan Pangeran Singa Brata ke Manado, pemerintahan Marga Raja Basa dan pengelolaan [[Pulau Sebesi]] dan [[Sebuku]] ditangani oleh para keluarga dari Pangeran Singa Brata, antara lain [[Pangeran Warta Manggala I]] (saudara kandung), [[Raden Tinggi]] (anak dari Pangeran Warta Manggala I), dan [[Dalom Mangku Minggar]] (tetua dalam marga Raja Basa)<ref name="pangerantjetjobaian"/>.
 
Tahun 1879, atau 23 tahun setelah menjalani pengasingannya, Pangeran Singa Brata dipulangkan ke Raja Basa atas permintaan 14 kepala kampung di pesisir dengan jaminan bahwa [[Pangeran Singa Brata]] tidak akan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun 4 tahun setelah kepulangannya, tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1883, [[Krakatau]] meletus dengan dahsyat yang memporak-porandakan wilayah pesisir Gununggunung RajabasaRaja Basa. Pangeran Singa Brata turut menjadi korban atas peristiwa ini dan ia dinyatakan tewas.<ref name="pangerantjetjobaian"/>
 
Seluruh penduduk pesisir yang tak sempat menyelamatkan diri dinyatakan tewas, termasuk 3000 warga yang menghuni [[Pulau Sebesi]], [[Sebuku]], dan [[Krakatau]]. Seluruh flora dan fauna serta rumah warga yang berada di Pulau Sebesi dan Pulau Sebuku dinyatakan musnah total. Kedua pulau ini seketika berubah menjadi pulau tak berpenghuni untuk beberapa saat.
<br /><br />
 
=== Pangeran Minak Putra ===
Tahun 1884, Minak Putra (Kepalakepala Kampungkampung Rajabasa) yang juga merupakan adik mendiang Pangeran Singa Brata dikukuhkan sebagai Kepalakepala Margamarga pengganti Pangeran Singa Brata. Hal ini dikarenakan mendiang Pangeran Singa Brata tidak memiliki keturunan<sup>A </sup>(yang tersisa). Maka berdasarkan aturan dan tatacara adat, Minak Putra diangkat menjadi Pangeran dan meneruskan tahta sebagai kepala Marga (penyimbang tua) Raja Basa dan mewarisi hak atas
kepemilikan PulauP. Sebesi, PulauP. Sebuku, dan Gugusan Kaldera Krakatau<sup>B</sup>. Peristiwa pengangkatan dan peralihan hak atas kepulauan ini juga disetujui oleh Sultan Banten Maulana Mohammad Shafiuddin (yang saat itu sedang menjalani masa pembuangannya di Kota Surabaya) dan Pemerintah Hindia Belanda, dengan syarat pendirian marga tidak boleh lagi memakai nama Raja Basa. Maka Pangeran Minak Putra pun memilih menggunakan nama [[Marga Raja Basa (Pesisir)|Marga Pesisir]]<sup>C</sup>. Kemudian hal ini dikuatkan oleh Staatsblad tahun 1885 ketika Pangeran Minak Putra menyewakan P. Sebuku kepada Mr. Barzal.<ref name="bandakhmargarajabasa">Perbatasari, RG. 2012. : ''Bandakh Marga Raja Basa''. Pesisir Kalianda Lampung Selatan.</ref>
<br /><br />
<u>'''Catatan Kaki :'''</u>