Tirto Adhi Soerjo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Cleanup
Baris 32:
Tirto Adhi Soerjo juga mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes. Ini disebabkan karena Tirto memegang peranan pula dalam pembentukan [[Sarekat Dagang Islam]] di [[Surakarta]] bersama [[Haji Samanhudi]], yang merupakan asal mula [[Sarikat Islam]] yang kemudian berkembang ke seluruh Indonesia. Anggaran Dasar Sarikat Islam yang pertama mendapat persetujuan Tirto Adi Soerjo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai redaktur suratkabar Medan Prijaji di Bandung.
 
Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun [[1952]], [[Ki Hajar Dewantara]] mencatat tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut: "Kira-kira pada tahun berdirinya [[Boedi Oetomo]] ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid [[STOVIA]] yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian ''Bintang Betawi'' (yang kemudian bernama ''Berita Betawi'') lalu memimpin ''Medan Prijaji'' dan ''Soeloeh PengadilanKeadilan''. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik."
 
Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani. "Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan," tulis Tjokrosisworo.