Adityawarman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 51:
Menurut sebagian sejarahwan Adityawarman dilahirkan dan dibesarkan di [[Majapahit]]<ref>Hardjowardojo, R. Pitono, (1966), ''Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV'', Djakarta: Bhratara.</ref><ref name="Muljana2">Slamet Muljana, (2005), ''Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara'', Yogyakarta: LKiS, ISBN 979-98451-16-3</ref> pada masa pemerintahan [[Raden Wijaya]] (1294–1309). Menurut ''[[Pararaton]]'', raja kedua Majapahit, yaitu [[Jayanagara]], adalah putra Raden Wijaya yang lahir dari [[Dara Petak]]. Dengan demikian, hubungan antara Adityawarman dengan Jayanagara adalah saudara sepupu sesama cucu raja Melayu dari [[Kerajaan Dharmasraya]]. Dari versi lain, mereka disebutkan juga saudara seayah sesama anak Raden Wijaya alias Kertarajasa Jayawardana.<ref name="Berg" />
 
Dengan hubungan kekeluargaan yang begitu dekat, maka ketika Jayanagara menjadi raja, Adityawarman dikirim sebagai duta besar Majapahit untuk [[CinaTiongkok]] selama dua kali yaitu pada tahun [[1325]] dan [[1332]]. Dalam kronik [[Dinasti Yuan]] ia disebut dengan nama ''Sengk'ia-lie-yu-lan''.<ref name="Muljana2" /> Pengiriman utusan ini menunjukkan adanya usaha perdamaian antara Majapahit dengan bangsa [[Mongol]], setelah terjadinya perselisihan dan peperangan pada masa Singhasari dan zaman Raden Wijaya.
 
Pada masa pemerintahan [[Tribhuwana Tunggadewi]] (adik Jayanagara), Adityawarman diangkat sebagai ''Wreddhamantri'', atau ''perdana menteri''. Hal ini tersebut pada [[Prasasti Manjusri]] tahun [[1343]] yang menyatakan bahwa, Adityawarman selaku wreddhamantri menempatkan arca ''Mañjuçrī'' (salah satu sosok ''[[bodhisattva]]'') di tempat pendarmaan ''Jina'' (Buddha) dan membangun candi Buddha ([[Candi Jago]]) di ''bhumi jawa'' untuk menghormati orang tua dan para kerabatnya.<ref>Brandes, J.L.A., (1904), ''Beschrijving van de ruïne bij de desa Toempang, genaamd Tjandi Djago in de Residentie Pasoeroean''. 's-Gravenhage-Batavia, Nijhoff/Albrecht.</ref><ref>[[Bosch, F.D.K.]], (1921), ''De inscriptie op het Mansjuri-beeld van 1265 Caka'', Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde. 77: 194-201.</ref><ref name="Uli">Kozok, Uli, Reijn, Eric van, ''Adityawarman: three incriptions of the Sumatran king of all supreme kings'', Indonesia and the Malay World, Vol. 38, Issue 110 March 2010, pp 135 - 158, ISSN: 1469-8382 (electronic) 1363-9811 (paper), [http://dx.doi.org/doi:10.1080/13639811003665488 doi: 10.1080/13639811003665488] (Jurnal berbayar)</ref> Dan sebelumnya namanya juga tercatat dalam prasasti Blitar yang bertarikh [[1330]] sebagai ''Sang Arya Dewaraja Mpu Aditya''. Dari ''Piagam Bendasari'' terdapat istilah ''tanda rakryan makabehan'' yang menyatakan urutan jabatan di Majapahit setelah raja, di mana disebutkan secara berurutan dimulai dengan jabatan ''wreddamantri sang aryya dewaraja empu Aditya'', ''sang aryya dhiraraja empu Narayana'', ''rake mapatih ring Majapahit empu Gajah Mada'', dan seterusnya<ref name="Muljana4">Al-Fayyadl, Muhammad, & Muljana, Slamet, (2005), ''Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit'', Yogyakarta: LKIS, ISBN 979-8451-35-X.</ref>. Jadi dengan demikian jelas terlihat kedudukan Adityawarman begitu sangat tinggi di Majapahit melebihi kedudukan dari Gajah Mada pada waktu itu.
Baris 66:
Dari beberapa prasasti peninggalan Adityawarman, memang belum ada ditemukan kata-kata ''[[Kerajaan Pagaruyung|Pagaruyung]]'', begitu juga [[tambo]] yang ada pada masyarakat juga tidak secara jelas menyebutkan nama dari raja mereka, dalam hal ini nama Adityawarman itu sendiri. Namun yang pasti Adityawarman memang menjadi raja di wilayah Pagaruyung, dari salah satu prasastinya menyebutkan bahwa ia sebagai ''Suravasawan'' atau ''Tuan Surawasa''. Surawasa berubah tutur menjadi [[Suruaso, Tanjung Emas, Tanah Datar|Suruaso]], sebuah [[nagari]] yang bersempadanan dengan nagari [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] sekarang.
 
== Berita dari CinaTiongkok ==
Catatan [[Dinasti Ming]] ([[1368]]-[[1644]]) menyebut di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja.<ref name="Muljana2" /> Mereka adalah ''Sengk'ia-li-yu-lan'' (alias Adityawarman), ''Ma-ha-na-po-lin-pang'' (Maharaja Palembang), dan ''Ma-na-cha-wu-li'' (Maharaja Dharmasraya). Sebelumnya pada masa [[Dinasti Yuan]] ([[1271]]-[[1368]]), Adityawarman juga pernah dikirim oleh [[Jayanegara]] sebanyak dua kali sebagai duta ke [[CinaTiongkok]]. Nama yang sama pada masa Dinasti Ming masih merujuk kepada Adityawarman, yang kemudian kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377.<ref name="Cas" /> Berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan ''[[Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah]]'' di [[Kerinci]] yang diperkirakan berasal dari zaman Adityawarman. Naskah tersebut menyebutkan tentang adanya ''Maharaja Dharmasraya''. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang [[Arca Amoghapasa]], Adityawarman bergelar '''Maharajadiraja''' dan membawahi [[Dharmasraya]] dan [[Palembang]].<ref name="Kozok">Kozok, Uli, (2006), ''Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua'', Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.</ref> Melihat gelar yang disandang oleh Adityawarman, terlihat ia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, ''Mauli'' merujuk garis keturunannya kepada Dinasti [[Mauli]] penguasa [[Dharmasraya]] dan gelar ''[[Sri Udayaditya Warmadewa|Sri Udayadityavarman]]'' pernah disandang oleh salah seorang raja [[Sriwijaya]] serta menambahkah [[Rajendra Chola|Rajendra]] nama penakluk Sriwijaya, [[Dinasti Chola|raja Chola]] dari [[Koromandel]]. Hal ini dilakukannya untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa yang ada di ''bhumi malayu'', sesuai dengan manuskrip pengukuhannya sebagai ''Maharajadiraja'', bahwa Adityawarman menyebutkan dirinya sebagai ''pelindung persatuan dan menentang perpecahan dalam kerajaannya''.
 
== Pindah ke Bhumi Malayu ==
Baris 81:
Kemungkinan yang menyebabkan Adityawarman untuk memindahkan pusat kerajaannya lebih ke dalam yaitu daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso) adalah sebagai salah satu strategi untuk menghindari konfrontasi langsung dengan kerajaan [[Majapahit]], yang pada masa itu lagi gencarnya melakukan penaklukan perluasan wilayah di bawah Mahapatih [[Gajah Mada]], karena dari gelar yang disandang oleh Adityawarman jelas menunjukan kesetaraan gelar dengan gelar raja di Majapahit, sehingga hal ini dapat menunjukan bahwa Adityawarman memang melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Majapahit. Namun ada juga pendapat lain berasumsi bahwa Adityawarman pindah ke daerah pedalaman untuk dapat langsung mengontrol sumber [[emas]] yang terdapat pada kawasan [[Bukit Barisan]] tersebut<ref>Miksic, John., (1985), ''Traditional Sumatran Trade'', Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient.</ref>.
 
Walaupun memerintah dari kawasan pedalaman namun hubungan perdagangan dengan pihak luar tetap terjaga, hal ini terlihat dari catatan CinaTiongkok yang menyebutkan, Adityawarman pernah mengirimkan utusan sebanyak 6 kali. Selain itu salah satu dari prasasti yang ditemukan di [[Suruaso, Tanjung Emas, Tanah Datar|Suruaso]] juga terdapat prasasti yang beraksara ''Nagari'' (Tamil), jadi pengaruh [[India]] selatan pun telah sampai ke ranah [[Minang]].
 
Setelah Adityawarman meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya yang bernama [[Ananggawarman]], sebagaimana tersebut dalam [[Prasasti Batusangkar]] yang bertarikh 1375, yang menyebutkan Adiytawarman dan putranya Ananggawarman melakukan upacara ''hewajra'', dalam ritual tersebut Adityawarman diibaratkan telah menuju kepada tingkat ''ksetrajna''.