Sejarah Malang Raya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Bagian Etimologi dan Masa Pra-Sejarah beserta referensinya |
Penambahan bagian untuk kerajaan-kerajaan Hindu, penambahan data dan referensi, serta pertautan antar laman wikipedia |
||
Baris 34:
== Masa Kerajaan Hindu dan Islam ==
=== [[Kerajaan Kanjuruhan]] ===
[[Berkas:Candi_Badut_2.jpg|jmpl|300x300px|[[Candi Badut]], salah satu peninggalan [[Kerajaan Kanjuruhan]]<ref>{{Cite web|url=http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/candi-badut.html|title=Candi Badut|website=Sejarah dan Budaya Nusantara|access-date=2017-10-22}}</ref> yang menjadi bukti bahwa Kerajaan Kanjuruhan adalah tonggak perkembangan Kota Malang]]Entitas politik pertama dan tertua yang muncul dari permukiman kuno di Malang, yang tercatat dalam sejarah, ialah [[Kerajaan Kanjuruhan]]. Berdasarkan informasi yang dituturkan [[Prasasti Dinoyo|Prasasti Kanjuruhan/Dinoyo]] (682 Saka/760 Masehi), kerajaan ini sempat dipimpin oleh Dewa Simha. Setelah wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama Liswa atau Limwa dengan gelar [[Gajayana]] pada 760 Masehi. Pada masa kekuasaannya, ia telah menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya,<ref>W. J. van der Meulen (1976). The Puri Putikesvarapavita and the Pura Kanjuruhan. ''Bijdragen Tot De Taal – En Volkenkunde, 132(4)''. 445-462</ref> membangun tempat-tempat suci sebagai simbol restorasi kekuasaan, mendermakan sejumlah hewan ternak kepada masyarakat dan pendeta, serta membangun sejumlah fasilitas publik yang diperuntukkan bagi kegiatan keagamaan dan aktivitas sehari-hari.<ref>D. I. Widodo (2015), ''Malang Tempo Doeloe''. Surabaya: Dukut Publishing. p. 15</ref> Peninggalan dari [[Kerajaan Kanjuruhan]] yang masih tersisa hingga kini selain [[Prasasti Dinoyo]] termasuk ''[[yoni]]'' Candi Wurung,<ref>B. Indo, ‘Situs Purbakala Diduga Bagian Candi Ditemukan di Merjosari Kota Malang, Kerajaan Kanjuruhan?’ ''SuryaMalang.com'' (daring), 16 Juni 2017, http://suryamalang.tribunnews.com/2017/06/16/situs-purbakala-diduga-bagian-candi-ditemukan-di-merjosari-kota-malang-kerajaan-kanjuruhan, diakses pada 8 Januari 2019</ref> yang terletak di [[Merjosari, Lowokwaru, Malang]], dan [[Candi Badut]] yang terletak di [[Karangwidoro, Dau, Malang|Karangwidoro, Dau, Kabupaten Malang]].
=== Rakryan Kanuruhan ([[Kerajaan Medang|Mataram Kuno]]) ===
Kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan diperkirakan tidak bertahan lama. Kerajaan itu akhirnya berada di bawah kekuasaan ''Medang i Bhumi Mataram'' ([[Kerajaan Medang|Kerajaan Mataram Kuno]]) semasa kepemimpinan [[Dyah Balitung|Raja Dyah Balitung]] (899-911 Masehi). Dalam [[Prasasti Balingawan]] (813 Saka/891 Masehi), disebutkan Pu Huntu sebagai ''Rakryan Kanuruhan'' (penguasa ''watak'' Kanuruhan) di masa kekuasaan [[Mpu Daksa|Raja Mpu Daksa]] (911-919 Masehi).<ref>J. L. A. Brandes (1913). ''Oud-Javaansche Oorkonden: Nagelaten transcripties van willen Dr. JLA Brandes Uitgegeven door Dr. NJ Krom''. Den Haag: Martinus Nijhoff</ref> Artinya, wilayah yang dulu menjadi kerajaan otonom telah turun satu tingkat menjadi ''watak'' (wilayah) yang setingkat dengan kadipaten atau kabupaten (satu tingkat di bawah kekuasaan raja). Watak Kanuruhan yang mencakup pusat Kota Malang saat ini adalah entitas yang berdiri berdampingan dengan Watak Hujung (di sekitar [[Singosari, Malang|Singosari]], [[Lawang, Malang|Lawang]], dan [[Jabung, Malang|Jabung]], [[Kabupaten Malang]]) dan Watak Tugaran (di Tegaron, [[Lesanpuro, Kedungkandang, Malang|Lesanpuro]], [[Kedungkandang, Malang|Kedungkandang]], [[Kota Malang|Malang]]) yang masing-masing membawahi beberapa ''wanua'' (setingkat desa).<ref>I. Lutfi (2003). Desa-Desa Kuno di Malang Periode Abad ke-9-10 Masehi: Tinjauan Singkat Berbasis Data Tekstual Prasasti dan Toponimi. ''Sejarah, 9(1)''. 28-40</ref>
Ketika pusat pemerintahan Mataram Kuno dipindah ke daerah Tamwlang dan [[Watugaluh, Diwek, Jombang|Watugaluh]] ([[Kabupaten Jombang|Jombang]]) pada masa kekuasaan [[Mpu Sindok|Raja Mpu Sindok]] (929-948 Masehi), beberapa prasasti seperti Sangguran, Turyyan, Gulung-Gulung, Linggasutan, Jeru-Jeru, Tija, Kanuruhan, Muncang, dan Wurandungan menggambarkan sejumlah kebijakan kewajiban pajak terhadap desa-desa perdikan (''sima'') di Malang dan sejumlah proses wakaf sejumlah bidang tanah untuk didirikan bangunan suci.<ref name=":2">‘Daftar Tahun Sejarah Malang I,’ ''Ngalam.id'' (daring), 21 Januari 2014, http://ngalam.id/read/122/daftar-tahun-sejarah-malang-i/, diakses pada 8 Januari 2019</ref> Oleh karena itu, beberapa ''wanua'' kuno yang diperkirakan “terwariskan” (berdasarkan nama-nama prasasti maupun nama tokoh setempat di masa lalu) hingga menjadi beberapa daerah di Malang sampai saat ini mencakup sebagai berikut:<ref name=":2" />
# Dinoyo (sekarang Kelurahan [[Dinoyo, Lowokwaru, Malang|Dinoyo]], [[Lowokwaru, Malang|Kecamatan Lowokwaru]], [[Kota Malang|Malang]]),
# Waharu (sekarang [[Lowokwaru, Lowokwaru, Malang|Kelurahan Lowokwaru]], [[Lowokwaru, Malang|Kecamatan Lowokwaru]], [[Kota Malang|Malang]]),
# Bantaran (sekarang Jalan Bantaran, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, [[Kota Malang|Malang]]),
# Balingawan (sekarang [[Mangliawan, Pakis, Malang|Desa Mangliawan]], [[Pakis, Malang|Kecamatan Pakis]], [[Kabupaten Malang]]),
# Turryan (sekarang [[Turen, Turen, Malang|Kelurahan Turen]], [[Turen, Malang|Kecamatan Turen]], [[Kabupaten Malang]]),
# Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron, [[Lesanpuro, Kedungkandang, Malang|Kelurahan Lesanpuro]], [[Kedungkandang, Malang|Kecamatan Kedungkandang]], [[Kota Malang|Malang]]),
# Kabalon (sekarang [[Kotalama, Kedungkandang, Malang|Kelurahan Kotalama]] (sekitar Jalan dan Pasar Kebalen), [[Kedungkandang, Malang|Kecamatan Kedungkandang]], [[Kota Malang|Malang]]),
# Panawijyan (sekarang [[Polowijen, Blimbing, Malang|Kelurahan Polowijen]], [[Blimbing, Malang|Kecamatan Blimbing]], [[Kota Malang|Malang]]),
# Daerah yang dulu dikuasai kepala ''wanua'' Pu Bulul (sekarang bernama [[Bunulrejo, Blimbing, Malang|Kelurahan Bunulrejo]], [[Blimbing, Blimbing, Malang|Kecamatan Blimbing]], [[Kota Malang|Malang]]),
# Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan, [[Landungsari, Dau, Malang|Desa Landungsari]], [[Dau, Malang|Kecamatan Dau]], [[Kabupaten Malang]]), dan
# Jeru-Jeru (sekarang [[Jeru, Tumpang, Malang|Desa Jeru]], [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]).
=== [[Kerajaan Kahuripan]]: Dari [[Kerajaan Janggala|Jenggala]] hingga [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] ===
Tidak ada catatan yang menjelaskan secara detail status dan peran daerah sekitar Malang pada masa kepemimpinan [[Airlangga|Raja Airlangga]] selain kenyataan bahwa Malang masuk ke dalam wilayah [[Kerajaan Kahuripan]]. Pasalnya, daerah Malang tidak lagi menjadi pusat pemerintahan dari Kerajaan yang berpusat di sekitar Gunung Penanggungan dan Sidoarjo dengan ibukotanya Kahuripan. Bahkan ketika [[Airlangga|Raja Airlangga]] membagi [[Kerajaan Kahuripan|Kahuripan]] menjadi Panjalu yang terpusat di Daha ([[Kerajaan Kadiri|Kadiri]]) dan [[Kerajaan Janggala|Jenggala]] yang tetap berpusat di Kahuripan, wilayah Malang termasuk periferi dari kekuasaan kedua kerajaan ini. Namun, dapat dipastikan bahwa wilayah Malang masuk ke dalam wilayah Jenggala pada saat pembagian ini. Pembagian [[Kerajaan Kahuripan|Kahuripan]] menunjukkan bahwa [[Gunung Kawi]] digunakan sebagai batas dua kerajaan baru tersebut dengan sisi timur diperoleh [[Kerajaan Janggala|Jenggala]].
Wilayah Malang kembali menjadi aktor penting dalam sejarah Panjalu/Jenggala ketika [[Jayabaya|Raja Jayabhaya]] dari [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] menaklukkan [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Dalam Prasasti Hantang (1057 Saka/1135 Masehi), tertulis ''Panjalu Jayati'' (“Panjalu Menang”), menandakan kemenangan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] atas [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Prasasti tersebut juga memuat pemberian hak-hak istimewa terhadap beberapa desa di Hantang ([[Ngantang, Malang|Ngantang]], [[Kabupaten Malang]]) dan sekitarnya atas jasa mereka dalam memihak [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] saat perang.<ref>‘Prasasti Hantang, Hadiah Raja Jayabhaya untuk Warga Ngantang,’ ''Ngalam.co'' (daring), 16 April 2017, https://ngalam.co/2017/04/16/prasasti-hantang-hadiah-raja-jayabhaya-warga-ngantang/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Prasasti ini juga sekaligus menunjukkan bahwa wilayah Malang berada dalam kekuasaan Panjalu.
Prasasti Kamulan (1116 Saka/1194 Masehi) mencatat peristiwa penyerangan sebuah wilayah dari timur Daha (Kadiri) terhadap [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] (dalam ''[[Pararaton]]'' disebut Dandang Gendhis) yang berdiam di Kedaton Katang-Katang.<ref>‘Prasasti Kamulan Kabupaten Trenggalek,’ ''Situs Budaya'' (daring), https://situsbudaya.id/prasasti-kamulan-trengalek/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Tidak ada penelitian lebih lanjut mengenai apakah penyerangan tersebut merupakan pemberontakan atau percobaan penaklukan. Namun, keberadaan Prasasti Kamulan menunjukkan bahwa terdapat sebuah kekuatan politik baru yang muncul untuk menentang kekuasaan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]]. Argumen ini diperkuat oleh keberadaan Prasasti Sukun (1083 Saka/1161 Masehi) yang menyebut seorang raja bernama Jayamerta yang memberikan hak-hak istimewa terhadap Desa Sukun (diduga di [[Sukun, Sukun, Malang|Kelurahan Sukun]], [[Sukun, Malang|Kecamatan Sukun]], [[Kota Malang|Malang]]) karena telah memerangi musuh.<ref>Suwardono, S. Rosmiayah, dan Maskur (1997), ''Monografi Sejarah Kota Malang'', Malang: Sigma Media</ref> Jayamerta tidak pernah tercantum secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai catatan yang merujuk informasi baik mengenai daftar penguasa [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] maupun [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Beberapa ahli sejarah seperti Agus Sunyoto menyebut bahwa daerah asal perlawanan tersebut bernama Purwa atau Purwwa. Ini didukung oleh argumen Sunyoto ketika merujuk bahwa semua penguasa [[Majapahit]] merupakan keturunan dari [[Ken Arok]] yang “[...] mengalirkan benihnya ke dunia lewat cahaya (''teja'') yang memancar dari “rahasia” [[Ken Dedes]], ''naraiswari'' [...] Kerajaan Purwa.”<ref>A. Sunyoto (2004), ''Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar''. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. p. 32</ref> ''Naraiswari'' (atau ''nareswari/ardanareswari'') sendiri dalam [[bahasa Sanskerta]] berarti “perempuan utama” dan Ken Dedes sendiri merupakan putri dari [[Mpu Purwa]], brahmana dari Panawijyan ([[Polowijen, Blimbing, Malang|Kelurahan Polowijen]], [[Blimbing, Malang|Kecamatan Blimbing]], [[Kota Malang|Malang]]). Pada akhirnya upaya perlawanan dari Purwa/Purwwa berhasil ditumpas oleh [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]].
Beberapa ahli sejarah mengaitkan rangkaian peristiwa perlawanan dan penumpasan tersebut sebagai konteks sosial politik dari dua konflik yang melibatkan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] dengan kelas brahmana. Yang pertama ialah kebijakan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] yang berusaha untuk mengurangi sejumlah hak dari kelas [[Brahmana]]. Beberapa cerita rakyat menunjukkan bahwa [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] ingin “disembah” oleh para [[Brahmana]] sehingga bertentangan dengan ajaran agama dari kalangan brahmana. Yang kedua ialah peristiwa penculikan [[Ken Dedes]] oleh [[Tunggul Ametung]], ''akuwu'' (setara camat) untuk wilayah [[Tumapel]].<ref>‘Kerajaan Purwwa,’ ''Ngalam.id'' (daring), 29 Oktober 2012, http://ngalam.id/read/98/kerajaan-purwwa/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Menurut Blasius Suprapto dalam disertasinya, letak [[Tumapel]] sendiri berada di wilayah yang dulu bernama Kutobedah (sekarang bernama [[Kotalama, Kedungkandang, Malang|Kelurahan Kotalama]], [[Kedungkandang, Malang|Kecamatan Kedungkandang]], [[Kota Malang|Malang]]).<ref>B. Suprapta (2015), ''Makna Gubahan Ruang Situs-Situs Hindhu-Buddha Masa Sinhasari Abad XII Sampain XIII Masehi di Saujana Dataran Tinggi Malang dan Sekitarnya''. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada</ref> Implikasi dari kedua konflik tersebut ialah penarikan dukungan politik dari kelas [[Brahmana]] terhadap [[Kertajaya|Raja Kertajaya]].
=== [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] ===
Keruntuhan Panjalu/Kadiri dan lahirnya Kerajaan Tumapel di Malang berawal dari kelas Brahmana dari Panjalu yang berusaha menyelamatkan diri dari persekusi politik yang dilakukan Raja Kertajaya. Mereka melarikan diri ke arah timur dan bergabung dengan kekuatan politik di Tumapel yang dipimpin oleh Ken Angrok. Ia kemudian memberontak terhadap ''akuwu'' Tunggul Ametung di Tumapel. Pemberontakan tersebut berhasil dan membuat Ken Angrok Perebutan kekuasaan antara Kertajaya dan Ken Angrok terhadap wilayah Malang dan sekitarnya berujung pada Pertempuran Ganter di Ngantang (1144 Saka/1222 Masehi) yang dimenangkan oleh Ken Angrok. Alhasil, Ken Angrok menahbiskan dirinya sebagai raja pertama Kerajaan Tumapel dengan gelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Ibukotanya sendiri tetap berada di Tumapel namun berganti nama menjadi Kutaraja.
Hingga periode perpindahan ibukota kerajaan pada masa pemerintahan Raja Wisnuwardhana dari Tumapel ke Singhasari (Singosari, Kabupaten Malang) pada 1176 Saka/1254 Masehi, belum ada catatan komprehensif mengenai status strategis wilayah Malang di era Tumapel. Tidak dijelaskan alasan perpindahan tersebut namun mulai pada era inilah Singhasari menjadi nama bagi kerajaan ini. Nama inilah yang juga dipakai untuk menyebut nama candi di pusat kerajaan, yakni Candi Singosari. Data selebihnya hanya menunjukkan beberapa tempat bersejarah di Malang seperti daerah Gunung Katu di Genengan (Prangargo, Wagir, Malang) yang menurut sejarawan Dwi Cahyono merupakan situs pen-''dharma''-an Ken Arok,<ref>R. H. Putri, ‘Persembahan Terakhir bagi Rajasa,’ ''Historia'' (daring), 14 Oktober 2017, https://historia.id/kuno/articles/persembahan-terakhir-bagi-rajasa-PKNGQ, diakses pada 11 Januari 2019</ref> daerah Rejo Kidal di mana Raja Anusapati di-''dharma''-kan dalam Candi Kidal, dan daerah Tumpang di mana Raja Wisnuwardhana di-''dharma''-kan dalam Candi Jago.
Pada masa kepemimpinan Raja Kertanegara, Singhasari menghadapi pemberontakan oleh Jayakatwang dari daerah Gelang-Gelang (sekitar Madiun).<ref>A. C. Irapta & C. D. Duka (2005). ''Introduction to Asia: History, Culture, and Civilization''. Quezon: Rex Bookstore, Inc.</ref> Jayakatwang sendiri adalah cicit dari Raja Kertajaya menurut ''Negarakertagama'' dan keponakan dari Raja Wisnuwardhana menurut Prasasti Mula Malurung.<ref>S. Muljana (1979). ''Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara</ref> Pemberontakan tersebut menewaskan Kertanegara akibat wilayah Singhasari yang tidak memiliki pertahanan ketika sebagian besar militernya dikirim untuk Ekspedisi Pamalayu.<ref>M. Rossabi (1989). ''Khubilai Khan: His Life and Times''. Berkeley: University of California Press.</ref> Jayakatwang dengan mudah mengambil alih kekuasaan dan memindahkan pusat pemerintahan ke tanah leluhurnya, Kadiri.<ref>G. Coedès (1968). ''The Indianized states of Southeast Asia''. Honolulu: University of Hawaii Press. p. 199</ref>
== Masa penjajahan ==
|