Hak asasi manusia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 147:
Pasal 1 Piagam PBB mengakui hak asasi manusia sebagai salah satu tujuan utama organisasi internasional tersebut. Selain itu, Pasal 55 dan 56 juga mengharuskan negara anggota untuk mengambil tindakan kolektif maupun terpisah untuk memastikan penghormatan dan pengejawantahan hak asasi manusia di seantero jagad tanpa mengecualikan siapapun. Dengan adanya landasan hukum ini, sejumlah lembaga hak asasi manusia telah dibentuk di bawah naungan PBB. Pada tahun 1946, [[Dewan Ekonomi dan Sosial PBB]] sebagai salah satu organ utama PBB mendirikan [[Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa|Komisi Hak Asasi Manusia]] yang terdiri dari 53 utusan dari negara-negara anggota PBB. Komisi ini berdiri selama 60 tahun dan telah melaksanakan berbagai kegiatan demi perlindungan dan pemberdayaan hak asasi manusia. Beberapa sumbangsih terpenting dari organisasi ini adalah perumusan PUHAM, ICCPR, dan ICESCR, serta pengembangan kemampuan lembaga PBB dalam melindungi dan mempromosikan HAM. Komisi ini pernah mendirikan [[Sub-Komisi Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia]] yang mempersiapkan berbagai kajian tematik dan mengizinkan [[masyarakat madani]] ikut serta dalam kegiatan-kegiatannya. Selain itu, Komisi HAM PBB juga telah berjasa dalam memperbaiki situasi hak asasi manusia di berbagai negara karena lembaga ini telah mengirim para ahli yang diberi mandat untuk menyelidiki masalah hak asasi manusia tertentu atau pelanggaran hak asasi manusia di negara tertentu, dan juga karena lembaga ini memiliki mekanisme rahasia yang memberi ruang bagi individu untuk melaporkan pelanggaran HAM berat dan sistematis di negara mereka.{{sfn|Schmidt|2010|p=392}} Namun, banyak pula yang mengkritik komisi ini karena politik internasional dirasa telah menghambat kinerja lembaga tersebut. Mantan [[Sekretaris Jenderal PBB]] [[Kofi Annan]] mengakui di dalam laporannya pada tahun 2005 bahwa komisi tersebut sedang merosot kredibilitas dan profesionalismenya, dan negara-negara seringkali ingin menjadi anggota komisi tersebut bukan untuk melindungi hak asasi manusia, tetapi untuk melindungi negara mereka dari kritik sekaligus menyerang negara lain. Maka dari itu, Kofi Annan menyerukan reformasi yang mengubah sistemnya dari "penetapan standar" (seperti perumusan dan perundingan instrumen HAM baru) menjadi berpusat pada implementasi di lapangan untuk menanggulangi krisis dan kedaruratan HAM. Ia juga menolak usulan pendirian sebuah lembaga dengan keanggotaan yang terdiri dari semua negara, dan ia lebih mendukung pendirian sebuah dewan dengan jumlah anggota yang terbatas dan berperan sebagai [[badan subsider]] Majelis Umum PBB. Ia ingin agar dewan ini berperan sebagai "ruang peninjauan sejawat" dengan tugas untuk mengevaluasi pemenuhan semua kewajiban HAM yang diemban oleh semua negara, dan setiap negara anggota akan dipanggil secara berkala untuk melalui peninjauan menyeluruh terhadap rekam jejak HAM mereka. Awalnya usulan Kofi Annan menuai tanggapan negatif, tetapi perundingan tetap dapat dimulai pada musim panas tahun 2005.{{sfn|Schmidt|2010|p=393}} Berbagai permasalahan yang timbul (seperti soal jumlah anggota dan proses pengambilan keputusan) dapat diselesaikan, dan pada tanggal 15 Maret 2006, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 60/251 yang mendirikan [[Dewan Hak Asasi Manusia PBB|Dewan Hak Asasi Manusia]].{{sfn|Schmidt|2010|p=394}}
Dewan Hak Asasi Manusia PBB terdiri dari 47 kursi keanggotaan, dan semua negara anggota PBB dapat menjadi bagian dari dewan tersebut asalkan mereka
Namun, Dewan HAM juga telah menuai banyak kritik akibat kentalnya unsur politisasi di dalam tubuh dewan. Sebagai contoh, pada Mei 2009, anggota Dewan dari negara-negara [[Uni Eropa]] menghadapi kesulitan dalam mencari 16 dukungan dari negara anggota Dewan lainnya untuk menghimpun sesi khusus untuk membahas situasi HAM di Sri Lanka.{{sfn|Schmidt|2010|p=397}} Selain itu, akibat banyaknya kursi yang dimiliki oleh negara-negara Afrika dan Asia, terbentuk blok-blok regional yang dapat menentukan apakah akan meloloskan atau menolak suatu resolusi atas dasar politik. [[Organisasi Konferensi Islam]] sangat berpengaruh dalam hal ini. Faktor ini pula yang mengakibatkan munculnya kritik bahwa Dewan bertindak selektif atau bahkan bias. Sebagai contoh, Dewan HAM dianggap terlalu sering mengadakan sesi khusus mengenai Palestina, sementara upaya negara-negara Barat untuk mengadakan sesi khusus mengenai [[Zimbabwe]] gagal karena negara-negara Asia dan Afrika enggan mendukungnya.{{sfn|Schmidt|2010|p=398}}
|