Tanpa menghapuskan unsur keutuhan dari hak asasi manusia, beberapa hak dianggap lebih penting untuk mempertahankan nyawa manusia dan menegakkan martabatnya. Oleh sebab itu, hak-hak tersebut dipandang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lainnya dan memerlukan tanggung jawab khusus dari negara. Sebagai contoh, hak untuk hidup dan pelarangan penyiksaan dianggap lebih utama daripada hak untuk beristirahat seperti yang dicantumkan di dalam Pasal 24 PUHAM.{{sfn|van Boven|2010|p=181}} Perjanjian-perjanjian HAM internasional sendiri mengakui sejumlah "hak inti" yang tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, dan hak tersebut boleh dikatakan sebagai "hak inti".{{sfn|van Boven|2010|p=182}} Menurut Pasal 4(2) ICCPR, hak-hak tersebutyang tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan darurat meliputi hak untuk hidup, pelarangan penyiksaan atau "perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia", pelarangan perbudakan, larangan menjebloskan seseorang ke penjara karena tidak mampu memenuhi kewajiban kontrak, [[asas legalitas]] dalam [[hukum pidana]], pengakuan bahwa semua orang setara di mata hukum, serta kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.{{sfn|ICCPR|1966}}{{sfn|van Boven|2010|p=182}} Selain itu, pengadilan-pengadilan di tingkatan nasional, regional, dan internasional telah mengakui beberapa norma yang berkenaan dengan hak asasi manusia sebagai norma yang memiliki status ''[[jus cogens]]'' (norma yang diakui oleh komunitas internasional secara keseluruhan dan tidak dapat dilanggar dalam keadaan apapun). Contohnya adalah pelarangan penyiksaan. Akibatnya, kalaupun ada suatu negara yang menolak meratifikasi ICCPR dan [[Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia]] (CAT), negara tersebut tetap terikat dengan norma pelarangan penyiksaan dalam hukum internasional.{{sfn|Chinkin|2010|p=113-114}}