Sejarah Malang Raya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Penambahan Gambar dan Keterangan di Bagian Kerajaan Hindu |
Penambahan Media, Referensi, dan tautan kata |
||
Baris 60:
Tidak ada catatan yang menjelaskan secara detail status dan peran daerah sekitar Malang pada masa kepemimpinan [[Airlangga|Raja Airlangga]] selain kenyataan bahwa Malang masuk ke dalam wilayah [[Kerajaan Kahuripan]]. Pasalnya, daerah Malang tidak lagi menjadi pusat pemerintahan dari Kerajaan yang berpusat di sekitar Gunung Penanggungan dan Sidoarjo dengan ibukotanya Kahuripan. Bahkan ketika [[Airlangga|Raja Airlangga]] membagi [[Kerajaan Kahuripan|Kahuripan]] menjadi Panjalu yang terpusat di Daha ([[Kerajaan Kadiri|Kadiri]]) dan [[Kerajaan Janggala|Jenggala]] yang tetap berpusat di Kahuripan, wilayah Malang termasuk periferi dari kekuasaan kedua kerajaan ini. Namun, dapat dipastikan bahwa wilayah Malang masuk ke dalam wilayah Jenggala pada saat pembagian ini. Pembagian [[Kerajaan Kahuripan|Kahuripan]] menunjukkan bahwa [[Gunung Kawi]] digunakan sebagai batas dua kerajaan baru tersebut dengan sisi timur diperoleh [[Kerajaan Janggala|Jenggala]].
[[Berkas:Kediri Kingdom id.svg|kiri|jmpl|Pembagian Wilayah Kerajaan Panjalu (jingga gelap) dan Kerajaan Jenggala (jingga terang) sebelum 1135 Masehi. Batas kedua wilayah tersebut merupakan Gunung Kawi]]
Wilayah Malang kembali menjadi aktor penting dalam sejarah Panjalu/Jenggala ketika [[Jayabaya|Raja Jayabhaya]] dari [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] menaklukkan [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Dalam Prasasti Hantang (1057 Saka/1135 Masehi), tertulis ''Panjalu Jayati'' (“Panjalu Menang”), menandakan kemenangan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] atas [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Prasasti tersebut juga memuat pemberian hak-hak istimewa terhadap beberapa desa di Hantang ([[Ngantang, Malang|Ngantang]], [[Kabupaten Malang]]) dan sekitarnya atas jasa mereka dalam memihak [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] saat perang.<ref>‘Prasasti Hantang, Hadiah Raja Jayabhaya untuk Warga Ngantang,’ ''Ngalam.co'' (daring), 16 April 2017, https://ngalam.co/2017/04/16/prasasti-hantang-hadiah-raja-jayabhaya-warga-ngantang/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Prasasti ini juga sekaligus menunjukkan bahwa wilayah Malang berada dalam kekuasaan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]].
Prasasti Kamulan (1116 Saka/1194 Masehi) mencatat peristiwa penyerangan sebuah wilayah dari timur Daha (Kadiri) terhadap [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] (dalam ''[[Pararaton]]'' disebut Dandang Gendhis) yang berdiam di Kedaton Katang-Katang.<ref>‘Prasasti Kamulan Kabupaten Trenggalek,’ ''Situs Budaya'' (daring), https://situsbudaya.id/prasasti-kamulan-trengalek/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Tidak ada penelitian lebih lanjut mengenai apakah penyerangan tersebut merupakan pemberontakan atau percobaan penaklukan. Namun, keberadaan Prasasti Kamulan menunjukkan bahwa terdapat sebuah kekuatan politik baru yang muncul untuk menentang kekuasaan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]]. Argumen ini diperkuat oleh keberadaan Prasasti Sukun (1083 Saka/1161 Masehi) yang menyebut seorang raja bernama Jayamerta yang memberikan hak-hak istimewa terhadap Desa Sukun (diduga di [[Sukun, Sukun, Malang|Kelurahan Sukun]], [[Sukun, Malang|Kecamatan Sukun]], [[Kota Malang|Malang]]) karena telah memerangi musuh.<ref>Suwardono, S. Rosmiayah, dan Maskur (1997), ''Monografi Sejarah Kota Malang'', Malang: Sigma Media</ref> Jayamerta tidak pernah tercantum secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai catatan yang merujuk informasi baik mengenai daftar penguasa [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] maupun [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Beberapa ahli sejarah seperti Agus Sunyoto menyebut bahwa daerah asal perlawanan tersebut bernama Purwa atau Purwwa. Ini didukung oleh argumen Sunyoto ketika merujuk bahwa semua penguasa [[Majapahit]] merupakan keturunan dari [[Ken Arok]] yang “[...] mengalirkan benihnya ke dunia lewat cahaya (''teja'') yang memancar dari “rahasia” [[Ken Dedes]], ''naraiswari'' [...] Kerajaan Purwa.”<ref>A. Sunyoto (2004), ''Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar''. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. p. 32</ref> ''Naraiswari'' (atau ''nareswari/ardanareswari'') sendiri dalam [[bahasa Sanskerta]] berarti “perempuan utama” dan Ken Dedes sendiri merupakan putri dari [[Mpu Purwa]], brahmana dari Panawijyan ([[Polowijen, Blimbing, Malang|Kelurahan Polowijen]], [[Blimbing, Malang|Kecamatan Blimbing]], [[Kota Malang|Malang]]). Pada akhirnya upaya perlawanan dari wilayah yang konon bernama Purwa/Purwwa tersebut berhasil ditumpas oleh [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]].
[[Berkas:Penculikan ken dedes.jpg|jmpl|Diorama penculikan [[Ken Dedes]] oleh [[Tunggul Ametung]] di Museum Mpu Purwa, [[Kota Malang|Malang]]]]
Beberapa ahli sejarah mengaitkan rangkaian peristiwa perlawanan dan penumpasan tersebut sebagai konteks sosial politik dari dua konflik yang melibatkan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] dengan kelas brahmana. Yang pertama ialah kebijakan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] yang berusaha untuk mengurangi sejumlah hak dari kelas [[Brahmana]]. Beberapa cerita rakyat menunjukkan bahwa [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] ingin “disembah” oleh para [[Brahmana]] sehingga bertentangan dengan ajaran agama dari kalangan brahmana. Yang kedua ialah peristiwa penculikan [[Ken Dedes]] oleh [[Tunggul Ametung]], ''akuwu'' (setara camat) untuk wilayah [[Tumapel]].<ref>‘Kerajaan Purwwa,’ ''Ngalam.id'' (daring), 29 Oktober 2012, http://ngalam.id/read/98/kerajaan-purwwa/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Menurut Blasius Suprapto dalam disertasinya, letak [[Tumapel]] sendiri berada di wilayah yang dulu bernama Kutobedah (sekarang bernama [[Kotalama, Kedungkandang, Malang|Kelurahan Kotalama]], [[Kedungkandang, Malang|Kecamatan Kedungkandang]], [[Kota Malang|Malang]]).<ref>B. Suprapta (2015), ''Makna Gubahan Ruang Situs-Situs Hindhu-Buddha Masa Sinhasari Abad XII Sampain XIII Masehi di Saujana Dataran Tinggi Malang dan Sekitarnya''. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada</ref> Implikasi dari kedua konflik tersebut ialah penarikan dukungan politik dari kelas [[Brahmana]] terhadap [[Kertajaya|Raja Kertajaya]].
=== [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] ===
[[Berkas:Candi Jago C.JPG|kiri|jmpl|[[Candi Jago]], tempat pen-''dharma''-an [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]], di [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]|al=]]
Keruntuhan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu/Kadiri]] dan lahirnya Kerajaan Tumapel di [[Kota Malang|Malang]] berawal dari kelas Brahmana dari Panjalu yang berusaha menyelamatkan diri dari persekusi politik yang dilakukan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]]. Mereka melarikan diri ke arah timur dan bergabung dengan kekuatan politik di Tumapel yang dipimpin oleh [[Ken Arok|Ken Angrok]]. Ia kemudian memberontak terhadap ''akuwu'' [[Tunggul Ametung]] dan menguasai Tumapel. Kemenangan [[Ken Arok|Ken Angrok]] tersebut sekaligus pernyataan perang untuk memisahkan diri dari [[Kerajaan Kadiri|Kadiri]]. Perebutan kekuasaan antara [[Kertajaya]] dan [[Ken Arok|Ken Angrok]] terhadap wilayah Malang dan sekitarnya berujung pada Pertempuran Ganter di [[Ngantang, Malang|Ngantang]] (sekarang kecamatan di [[Kabupaten Malang]]) (1144 Saka/1222 Masehi) yang dimenangkan oleh [[Ken Arok|Ken Angrok]]. Ia pun menahbiskan dirinya sebagai raja pertama Kerajaan Tumapel dengan gelar Rajasa Sang Amurwabhumi. Ibukotanya sendiri tetap berada di Tumapel namun berganti nama menjadi Kutaraja.
[[Berkas:Candi
Hingga periode perpindahan ibukota kerajaan pada masa pemerintahan [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]] dari Kutaraja ke Singhasari ([[Singosari, Malang|Kecamatan Singosari]], [[Kabupaten Malang]]) pada 1176 Saka/1254 Masehi, belum ada catatan komprehensif mengenai status strategis wilayah Malang di era Tumapel. Tidak dijelaskan alasan perpindahan tersebut namun mulai pada era inilah [[Kerajaan Singasari|Singhasari]] menjadi nama bagi kerajaan ini. Data selebihnya hanya menunjukkan beberapa tempat bersejarah di Malang seperti daerah Gunung Katu di Genengan ([[Parangargo, Wagir, Malang|Prangargo]], [[Wagir, Malang|Wagir]], [[Kabupaten Malang]]) yang menurut sejarawan Dwi Cahyono merupakan situs pen-''dharma''-an [[Ken Arok|Ken Angrok]],<ref>R. H. Putri, ‘Persembahan Terakhir bagi Rajasa,’ ''Historia'' (daring), 14 Oktober 2017, https://historia.id/kuno/articles/persembahan-terakhir-bagi-rajasa-PKNGQ, diakses pada 11 Januari 2019</ref> daerah Rejo Kidal ([[Kidal, Tumpang, Malang|Desa Kidal]], [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]), di mana [[Anusapati|Raja Anusapati]] di-''dharma''-kan dalam [[Candi Kidal]], dan daerah Tumpang di mana [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]] di-''dharma''-kan dalam [[Candi Jago]]. Peninggalan lainnya ialah mata air Watugede di [[Watugede, Singosari, Malang|Desa Watugede]], [[Singosari, Malang|Kecamatan Singosari]], [[Kabupaten Malang]]. Menurut Agus Irianto, juru pemandian Watugede, ''Pararaton'' menuliskan bahwa tempat ini sering dijadikan oleh [[Ken Dedes]] dan para calon putri lainnya untuk membersihkan badan.<ref name=":3">D. A. Pitaloka, 'Jejak Singosari dan Majapahit di Malang.' ''Historia'' (daring), 23 Maret 2016 https://historia.id/kuno/articles/jejak-singosari-dan-majapahit-di-malang-vxGOL diakses pada 22 Januari 2019</ref> Para sesepuh desa juga meyakini bahwa di tempat ini pula [[Ken Arok|Ken Angrok]] melihat cahaya yang terpancar dari tubuh [[Ken Dedes]] sebagai sebuah pertanda bahwa ia adalah ''nareswari''.<ref name=":3" />
Pada masa kepemimpinan [[Kertanagara|Raja Kertanegara]], [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] menghadapi pemberontakan oleh [[Jayakatwang]] dari daerah Gelang-Gelang (sekitar [[Kota Madiun|Madiun]]).<ref>A. C. Irapta & C. D. Duka (2005). ''Introduction to Asia: History, Culture, and Civilization''. Quezon: Rex Bookstore, Inc.</ref> [[Jayakatwang]] sendiri adalah cicit dari [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] menurut ''[[Kakawin Nagarakretagama|Negarakertagama]]'' dan keponakan dari [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]] (dari garis keturunan perempuan) menurut [[Prasasti Mula Malurung]].<ref>S. Muljana (1979). ''Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara</ref> Pemberontakan tersebut menewaskan [[Kertanagara|Raja Kertanegara]], raja [[Kerajaan Singasari|Singhasari]] yang terakhir, akibat wilayahnya yang tidak memiliki pertahanan ketika sebagian besar militernya dikirim untuk [[Ekspedisi Pamalayu]].<ref>M. Rossabi (1989). ''Khubilai Khan: His Life and Times''. Berkeley: University of California Press.</ref> [[Jayakatwang]] dengan mudah menduduki ibukota, mengambil alih kekuasaan dan memindahkan pusat pemerintahan ke tanah leluhurnya, [[Kerajaan Kadiri|Kadiri]].<ref>G. Coedès (1968). ''The Indianized states of Southeast Asia''. Honolulu: University of Hawaii Press. p. 199</ref>
== Masa penjajahan ==
|