Kalau perantau-perantau Minang umumnya cenderung mengadu nasib sebagai pedagang, maka berbeda dengan bocah Delsy ini yang di panggil ke Jakarta oleh penerbit dengan fasilitas cukup. Atas adanya kepastian itu Barulah ibunya mau melepas Delsy dan menginginkan anaknya tersebut menjadi “pelukis terkenal” seperti Raden Saleh dan Basuki Abdullah. Delsy sejak di SD sudah dibelikan cat minyak oleh ayahnya seorang yang pengukir Rumah Gadang. Meskipun Delsy dikenal sebagai sosok seorang pelukis komik sejarah,illustrator, wartawan masmedia dan penata artistik di berbagai banyak Film nasional,namun ia tidak meninggalkan kanvas dan cat minyak.
Ilustrasinya banyak mendapat sambutan literature-literatur seni di [[Australia]] dan [[PerancisPrancis]] sebagai pembuat kartun di beberapa masmedia dan cover cover novel Indonesia serta di perfilman sebagai Art Director senior. Ia sebagai seorang Art Director Film sempat meraih penghargaan pada Festival Nasional dan Asia. Disanggarnya selain ia mendidik pelukis pelukis muda berbakat juga membimbing mereka menjadi tenaga perfilman handal (peraih Piala Film dan Sinetron). Pameran tunggal Delsy pada tahun 1985 di Balai Budaya dianggap sebagai peristiwa seni nasional karena gaya cat minyaknya selaras membawakan ilustrasinya yang telah terlebih dahulu dikenal, ekspresif dan ekstensial dan selalu mudah di ingat orang (pengamat Seni Rupa Agus Darmawan T. dalam “Suara Pembaharuan”)
[[Berkas:Diponegoro Prince of Java by Delsy Sjamsumar Wikipedia1.JPG|jmpl|kiri]]
Baris 80:
== Ilustrasi ==
Meledaknya novel-novel Motinggo Busye sekitar tahun 70 an membuat Delsy ikut naik daun kata pers gossip di Tanah Air. Lektur-lektur di PerancisPrancis mengenai pengarang-pengarang Indonesia, tak luput menyebut “I’exellent dessinatur Delsy Syamsumar” terutama untuk illustrasi-illustrasi untuk Motinggo Busye sesuai dengan tuntutan cerita, maka penerbitan gossip yang tadinya menyorot artis film, dengan popularitas Delsy melihat peluang lain untuk meningkatkan oplag. Disinyalir bahwa illustrasi-illustrasi Delsy yang sexy identik dengan wanita-wanita, isteri atau modelnya yang silih berganti meninggalkannya. Beberapa Koran dan majalah mingguan saling mengutip, dan polemik tak dapat dihindarkan termasuk karikatur Delsy sendiri mempertahankan diri. Dia bukan artis film, malah kuli film, katanya. Ia bukan milioner Picasso yang mampu memelihara banyak model bantahnya. Setelah kegaduhan ranjangnya ini memuncak pula jadi problem kode etik pers nasional (ditutup oleh topik majalah “Tempo” Desember 1973), maka kehidupan Delsy yang selalu stabil dalam kesulitan, suksesnya itu malah sebagai pelengkap penderita.