Hukum Sali: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
bentuk baku
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Perancis +Prancis)
Baris 1:
[[Berkas:Jugement de Childebert III accordant à l'abbaye de Saint-Denis la terre de Hodenc-l'Evêque dans l'Oise.jpg|jmpl|300px|Selembar surat keputusan Raja [[Kildebert III]]]]
'''Hukum Sali''' ({{lang-lat|Lex Salica}}) adalah [[Hukum sipil (sistem hukum)|kumpulan undang-undang hukum sipil]] [[orang Franka Sali]] yang disusun pada ''[[circa|ca.]]'' 500 M oleh [[Clovis I|Klovis]], [[Daftar Raja orang Franka|raja orang Franka]] yang pertama. Meskipun ditulis dalam [[bahasa Latin]] atau menurut sejumlah ahli bahasa dalam [[bahasa PerancisPrancis|bahasa semi-PerancisPrancis]],<ref>{{Cite book|url=https://books.google.fr/books?id=vb0FAAAAQAAJ&|title=Lex Salica: The Ten Texts with the Glosses, and the Lex Emendata|last=Hessels|first=Jan Hendrik|publisher=John Murray|year=1880|isbn=978-1402146336|location=London|pages=438}}</ref> Hukum Sali juga memuat sejumlah kata yang disebut-sebut oleh para ahli bahasa Belanda sebagai salah satu peninggalan tertulis paling tua dalam [[bahasa Belanda Kuno]], bahkan mungkin tertua kedua sesudah [[prasasti Bergakker]].<ref>{{cite web|url=http://www.kennislink.nl/publicaties/hoe-het-nederlands-is-ontstaan|title=Lees: Hoe het Nederlands is ontstaan|publisher=}}</ref> Hukum Sali merupakan hukum asasi [[Suku Franka|orang Franka]] pada [[Abad Pertengahan Awal|Awal Abad Pertengahan]], dan di kemudian hari mempengaruhi [[Hukum barat|tatanan hukum Eropa]]. Asas yang paling terkenal dari hukum kuno ini adalah pengecualian kaum perempuan dalam aturan pewarisan jabatan, tanah, dan pusaka-pusaka warisan lainnya. Lembaga penegak Hukum Sali adalah sebuah panitia yang ditunjuk langsung dan diberi kuasa oleh [[Daftar Raja orang Franka|raja orang Franka]]. Ada lusinan naskah Hukum Sali dari abad ke-6 sampai abad ke-8, dan tiga naskah Hukum Sali teremendasi selambat-lambatnya dari abad ke-9 yang sintas sampai sekarang.<ref>{{harvnb|Drew|1991|page=53}}.</ref>
 
Hukum Sali merupakan kodifikasi hukum-hukum tertulis, baik [[hukum perdata]] semisal [[hukum Waris|hukum waris]], maupun [[hukum pidana]] misalnya hukuman atas tindak pidana [[pembunuhan]]. Hukum Sali mempengaruhi pembentukan tradisi [[hukum tertulis]] yang berlanjut sampai ke [[zaman modern]] di Eropa Barat dan [[Eropa Tengah]], khususnya di negara-negara bagian [[Jerman]], [[PerancisPrancis]], [[Belgia]], [[Belanda]], sebagian [[Italia]], [[Austria-Hongaria]], [[Rumania]], dan negara-negara di semenanjung [[Balkan]].
 
== Sejarah ==
Baris 72:
== Penerapan hukum suksesi dan hukum waris ==
 
=== Di PerancisPrancis ===
Raja-raja [[wangsa Meroving]] membagi-bagi wilayah kekuasaannya secara merata kepada semua putra mereka yang masih hidup. Tindakan ini menjadi penyebab timbulnya berbagai sengketa dan bunuh-membunuh antarsaudara di kalangan kaum keturunan raja. Wangsa Karoling juga melakukan tindakan yang sama, namun wilayah kekuasaan mereka sudah bertaraf kekaisaran, sehingga tidak dapat dibagi-bagi dan hanya dapat diwariskan kepada satu orang saja pada setiap masa pemerintahan. Primogenitur, yakni asas pengistimewaan terhadap keturunan yang lahir lebih dulu sebagai ahli waris atas seluruh harta si pewaris, pada akhirnya muncul di PerancisPrancis pada masa pemerintahan raja-raja wangsa Capet. Raja-raja wangsa Capet yang terdahulu hanya memiliki satu orang ahli waris, yaitu putra tertua, yang [[Penobatan Raja PerancisPrancis#Pemahkotaan Pewaris|dinobatkan menjadi raja muda]] ({{lang-lat|rex iunior}}) selagi ayahnya masih hidup. Karena warisan tidak lagi dibagi-bagi secara merata, maka sebagai gantinya, putra-putra raja dari wangsa Capet selain putra tertua dianugerahi [[apanase]], yakni daerah kekuasaan feodal di bawah suzeranitas raja. Hukum feodal memperbolehkan pewarisan pertuanan kepada anak perempuan jika tidak ada anak lelaki. Aturan ini juga diterapkan pada apanase-apanase terdahulu. Mengenai apakah hukum feodal ini juga diterapkan dalam pewarisan takhta Kerajaan PerancisPrancis, tak seorang pun yang tahu sampai dengan tahun 1316.
 
==== Tata suksesi pada 1316 ====
Selama jangka waktu yang benar-benar panjang, semenjak berkuasanya wangsa Capet pada 987 sampai dengan mangkatnya [[Louis X dari PerancisPrancis|Raja Louis X]] pada 1316, putra tertua yang masih hidup dari Raja PerancisPrancis akan naik takhta menjadi raja baru bilamana ayahnya mangkat. Selama waktu itu pula tidak pernah muncul kesempatan untuk menunjukkan apakah kaum perempuan ikut diperhitungkan atau tidak diperhitungkan sebagai ahli waris takhta. Raja Louis X mangkat tanpa meninggalkan seorang putra, namun permaisurinya sedang mengandung. Adik mendiang raja, yakni [[Philippe V dari PerancisPrancis|Philippe, Bupati Poitiers]], memerintah sebagai wali. Philippe mengikat perjanjian dengan [[Eudes IV dari Bourgogne|Eudes IV, Adipati Bourgogne]], paman dari [[Juana II dari Navarra|Putri Jeanne]] (putri Raja Louis X dari permaisuri pertama), bahwa jika permaisuri kelak melahirkan seorang putra, maka sang putra akan segera dinobatkan menjadi Raja PerancisPrancis berikutnya, sementara jika ternyata seorang putri, maka Philippe akan terus memerintah selaku wali sampai putri-putri mendiang Louis X cukup umur untuk memerintah sendiri. Dengan demikian, terbukti bahwa anak perempuan berkesempatan untuk menjadi ahli waris takhta Kerajaan PerancisPrancis.
 
Kerajaan PerancisPrancis sempat merasa lega ketika permaisuri akhirnya melahirkan seorang putra, yakni [[Jean I dari PerancisPrancis|Jean I]]. Akan tetapi Jean hanya bertahan hidup selama beberapa hari. Philippe, yang melihat ada peluang bagi dirinya untuk menjadi raja, mengingkari janjinya pada Adipati Bourgogne dan mengatur agar dirinya diurapi menjadi [[Philippe V dari PerancisPrancis|Raja Philippe V]] di Reims pada bulan Januari 1317. [[Agnes dari PerancisPrancis|Putri Agnes]], anak perempuan Santo Louis, ibu Adipati Bourgogne, dan nenek dari Putri Jeanne, memperkarakan tindakan ini sebagai penyerobotan takhta, dan menuntut agar wakil-wakil dari segenap lapisan kawula PerancisPrancis bersidang demi menuntaskan perkara ini. Gugatan Putri Agnes diterima oleh Raja Philippe.
 
Suatu majelis yang terdiri atas para rohaniwan tinggi, kaum bangsawan, kaum borjuis kota Paris, dan para doktor Universitas Paris, yakni majelis yang disebut ''États généraux'' tahun 1317, bersidang pada bulan Februari. Raja Philippe meminta sidang majelis untuk menyusun argumen yang mengesahkan hak warisnya atas takhta Kerajaan PerancisPrancis. Sidang majelis memutuskan bahwa "kaum perempuan tidak boleh mewarisi takhta Kerajaan PerancisPrancis", dan dengan demikian membenarkan tindakan Raja Philippe sekaligus memustahilkan kaum perempuan menduduki takhta Kerajaan PerancisPrancis. Keputusan ini terus berlaku sampai monarki PerancisPrancis ditumbangkan. Kala itu, Hukum Sali belum dijadikan dasar: argumen-argumen yang diajukan sebagai pembenaran terhadap tindakan Philippe ini hanya didasarkan atas kedekatan Philippe dengan [[Louis IX dari PerancisPrancis|Santo Louis]]. Raja Philippe didukung oleh kaum bangsawan dan memiliki sumber-sumber daya yang dapat dimanfaatkan demi mewujudkan ambisi-ambisinya.
 
Raja Philippe dapat menjinakkan Adipati Bourgogne dengan menikahkan Sang Adipati dengan putrinya yang juga bernama [[Jeanne III dari Bourgogne|Jeanne]], dengan embel-embel Kabupaten Artois dan Kabupaten Bourgogne (bukan Kadipaten Bourgogne) sebagai tanah warisan Sang Putri. Pada 27 Maret 1317, Adipati Bourgogne dan Raja Philip V menandatangani sebuah perjanjian di Laon yang memuat pernyataan pelepasan hak waris Putri Jeanne (anak perempuan Raja Louis X) atas takhta Kerajaan PerancisPrancis.
 
==== Tata suksesi pada 1328 ====
Raja Philippe pun mangkat tanpa meninggalkan putra, dan digantikan oleh saudaranya yang naik takhta menjadi [[Charles IV dari PerancisPrancis|Raja Charles IV]] tanpa tentangan. Raja Charles juga mangkat tanpa meninggalkan putra, namun juga meninggalkan permaisurinya dalam keadaan mengandung. Situasi ini menimbulkan krisis suksesi, sama seperti yang pernah terjadi pada 1316, sehingga kaum bangsawan mulai bersiap sedia, baik untuk memilih dan mengangkat seorang wali, maupun untuk memanfaatkan peluang menjadi penguasa berikutnya. Pada saat itu, sudah dimaklumi bahwasanya kaum perempuan tidak dapat mewarisi takhta kerajaan PerancisPrancis (meskipun belum ditetapkan secara tertulis).
 
Dengan penerapan asas agnatis, pihak-pihak berikut ini tidak diperhitungkan sebagai ahli waris takhta:
* Anak-anak perempuan dari Raja Louis X, Raja Philippe V, dan Raja Charles IV, termasuk anak yang sedang dikandung oleh [[Jeanne d'Évreux]], permaisuri mendiang Raja Charles, jika kelak terlahir perempuan;
* [[Isabella dari PerancisPrancis|Putri Isabelle]], saudari Raja Louis X, Raja Philippe V, dan Raja Charles IV, yang diperistri oleh penguasa Inggris, [[Edward II dari Inggris|Raja Edward II]].
 
Permaisuri mendiang Raja Charles IV melahirkan seorang anak perempuan. [[Isabella dari PerancisPrancis|Putri Isabelle]], saudari Raja Charles IV, mengklaim hak waris bagi putranya, [[Edward III dari Inggris|Raja Edward III]]. PerancisPrancis menolak klaim ini, dengan alasan bahwa "kaum perempuan tidak dapat mewariskan hak yang tidak dimilikinya", yakni penjabaran dari asas suksesi yang ditetapkan pada 1316. Wali raja, Philippe dari Valois, naik takhta menjadi Raja Philippe VI pada 1328. Philippe menjadi raja tanpa tentangan yang serius sampai ia berusaha merebut [[Gascogne]] pada 1337, sehingga memancing Raja Edward III untuk memaksa PerancisPrancis mengakui hak warisnya atas takhta Kerajaan PerancisPrancis.
 
==== Kemunculan Hukum Sali ====
Sejauh yang dapat dipastikan, Hukum Sali tidak secara eksplisit disebutkan pada 1316 maupun pada 1328. Hukum Sali telah terlupakan pada zaman feodal, dan penegasan bahwasanya takhta Kerajaan PerancisPrancis hanya boleh diwariskan kepada dan melalui garis nasab laki-laki menjadikannya unik dalam pandangan orang PerancisPrancis. Di kemudian hari, para hakim mengangkat kembali Hukum Sali yang sudah lama tak digunakan dan menafsir ulang isi hukum ini untuk membenarkan praktik suksesi yang terjadi pada 1316 dan 1328 dengan tidak saja melarang pewarisan kepada perempuan tetapi juga melarang pewarisan melalui garis nasab perempuan (''In terram Salicam mulieres ne succedant'').
 
Dengan demikian pada mulanya penerapan asas agnatis terbatas untuk suksesi jabatan penguasa Kerajaan PerancisPrancis. Sebelum wangsa Valois berkuasa, raja-raja wangsa Capet menganugerahkan apanase kepada semua putra selain putra tertua dan kepada semua adik laki-laki. Apanase-apanase milik para pangeran wangsa Capet ini kelak dapat diwariskan kepada anak cucu mereka, laki-laki maupun perempuan. Pada zaman wangsa Valois, apanase-apanase yang dianugerahkan kepada para pangeran ini, selaras dengan hukum suksesi monarki yang memberikan anugerah, hanya boleh diwariskan kepada keturunan laki-laki saja. Cabang nasab wangsa Capet lainnya, yakni garis nasab [[Montfort dari Bretagne]], mengklaim sebagai ahli waris yang sah atas jabatan penguasa Kadipaten Bretagne menurut garis nasab laki-laki. Klaim mereka ini didukung oleh Raja Inggris, sementara seteru-seteru mereka yang mengklaim sebagai ahli waris yang sah menurut garis nasab perempuan di Bretagne didukung oleh Raja PerancisPrancis. Keluarga Montfort pada akhirnya berjaya menjadi penguasa Kadipaten Bretagne melalui perang, tetapi harus tunduk di bawah suzeranitas Raja PerancisPrancis.
 
Hukum Sali sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengatur segala macam tindakan pewarisan. Sebagai contoh, larangan pewarisan kepada anak perempuan tidak diterapkan dalam pewarisan harta bergerak – hanya tanah saja yang dianggap sebagai "harta pusaka orang Sali" — bahwa definisi legal dari "tanah Sali" pun masih diperdebatkan, sekalipun pada umumnya diartikan sebagai tanah-tanah ''[[fiscus]]'' kerajaan (tanah pertuanan pribadi raja). Beratus-ratus tahun kemudian, pada masa pemerintahan raja-raja dari [[wangsa Capet]] di [[PerancisPrancis]] dan rekan-rekan sejawat mereka di Inggris yang memiliki tanah di PerancisPrancis, barulah Hukum Sali dijadikan dasar untuk mengukuhkan atau menentang suksesi. Kala itu Hukum Sali sudah menjadi sesuatu yang dianggap anakronistik — sudah tidak ada lagi tanah-tanah pusaka Sali, karena monarki Sali berikut tanah-tanah kekuasaannya mula-mula muncul di daerah yang sekarang menjadi wilayah negara [[Belanda]].
 
Shakespeare mengklaim bahwa [[Charles VI dari PerancisPrancis|Raja Charles VI]] menolak klaim [[Henry V dari Inggris|Raja Henry V]] atas takhta Kerajaan PerancisPrancis berdasarkan aturan pewarisan Hukum Sali. Penolakan ini merupakan pemicu [[pertempuran Agincourt]]. Sesungguhnya konflik antara Hukum Sali dan hukum Inggrislah yang menjadi penyebab dari [[Klaim Inggris atas takhta PerancisPrancis|banyaknya klaim yang tumpang tindih]] antara pihak PerancisPrancis dan pihak Inggris atas takhta Kerajaan PerancisPrancis.
 
Lebih dari seabad kemudian, [[Felipe II dari Spanyol|Raja Spanyol, Felipe II]], mencoba mengklaim takhta Kerajaan PerancisPrancis bagi putrinya, [[Isabella Clara Eugenia]], yang dilahirkan oleh permaisuri Felipe II, seorang bangsawati dari wangsa Valois. Para kaki tangan Raja Felipe diperintahkan untuk "pandai-pandai menciptakan kesan" bahwa Hukum Sali hanyalah "karangan belaka". Akan tetapi andaikata "Hukum Sali" memang tidak diterapkan dalam tata suksesi Kerajaan PerancisPrancis, asas suksesi agnatis telah menjadi batu sendi dari tata suksesi Kerajaan PerancisPrancis; asas ini telah dipertahankan oleh Kerajaan PerancisPrancis dalam Perang Seratus Tahun melawan Inggris, dan telah diterapkan untuk menentukan orang-orang yang layak menjadi Raja PerancisPrancis selama lebih dua abad. Pengakuan kesahihan status raja dari [[Henry IV Dari PerancisPrancis|Henry IV]], Raja PerancisPrancis yang pertama dari wangsa Bourbons, semakin memperkukuh penerapan asas agnatis di PerancisPrancis.
 
=== Penerapan Hukum Sali di negara-negara Eropa lainnya ===
Baris 116:
 
== Rujukan dalam karya sastra ==
* [[William Shakespeare|Shakespeare]] menjadikan Hukum Sali sebagai salah satu sarana alur cerita (''plot device'') dalam drama ''[[Henry V (drama)|Henry V]]''. Dalam drama ini dikisahkan bahwa PerancisPrancis menjadikan Hukum Sali sebagai dasar untuk menafikan hak waris Henry V atas takhta Kerajaan PerancisPrancis. Drama ''Henry V'' bermula dengan adegan [[Uskup Agung Canterbury]] dimintai pendapat mengenai apakah penuntutan hak waris itu dapat dibenarkan kendati bertentangan dengan Hukum Sali. Sang Uskup Agung menjawab, "''Tanah Salique''" itu letaknya di Negeri Jerman, di antara batang air [[Sungai Saale|Sala]] dan batang air [[Elbe|Elba]]". Jawaban ini menyiratkan bahwa Hukum Sali adalah hukum Jerman, dan bukan hukum PerancisPrancis. Pembenaran dari Sang Uskup Agung, yang sengaja dibuat sedemikian rupa oleh Shakespeare agar terkesan bebal dan bertele-tele (untuk keperluan komedi dan rekayasa politik) itu pun sebenarnya keliru, karena [[orang Franka Sali]] menetap di daerah hilir Sungai [[Rhein]] dan Sungai [[Skaldis]], yang sekarang ini termasuk dalam wilayah [[Flandria]] di negeri PerancisPrancis.
* Dalam novel ''[[Royal Flash]]'', karya [[George MacDonald Fraser]], sang jagoan, [[Harry Flashman]], saat menikahi Adipati Putri Irma, dihadiahi harta pusaka yang menjadi hak pendamping kepala negara, dan "Sang Adipati Putri malah jauh lebih beruntung lagi"; sang jagoan yang merasa dicurangi pun berpikir, "Dulu pernah aku sadari, dan kini pun kembali aku sadari, bahwa Hukum Sali adalah suatu gagasan hebat yang terkutuk".<ref>G. M. Fraser (2006) ''Royal Flash'', hlm.&nbsp;172, Grafton paperback.</ref>
* Dalam novelnya, ''Waverley'', Sir [[Walter Scott]] mengutip "Hukum ''Salique''" dalam penjabaran cerita sehubungan dengan permintaan si tokoh utama untuk diberi seekor kuda dan seorang pemandu jalan yang dapat mengantarnya ke Edinburgh. {{quote|Si nyonya rumah, seorang pekerja ulet yang sopan dan pendiam, datang untuk menanyakan apa yang ia inginkan untuk disajikan sebagai santapan malamnya, tetapi menolak untuk memberi jawaban perihal kuda dan pemandu; karena Hukum ''Salique'', tampaknya, berlaku pula atas kandang-kandang kuda di penginapan Kaki Dian Emas.|Bab XX1X}}