Borobudur: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
k Perbaikan kata dan huruf. Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 43:
}}</ref>.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel [[relief]] dan aslinya terdapat 504 [[Buddharupa|arca Buddha]]<ref name="p35-36">Soekmono (1976), halaman 35–36.</ref>. Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia<ref name="unesco-whc"/>. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan [[Siddhartha Gautama|Buddha]] sekaligus berfungsi sebagai tempat [[ziarah]] untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.<ref name="Kompas">{{Cite news|first = Gunawan|last = Kartapranata|title = Upacara Waisak di Borobudur (Infografik)|format = Infographic|publisher = Harian "Kompas"|date = 2007-06-01|language = Indonesian}}</ref> Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah ''[[Kamadhatu|Kāmadhātu]]'' (ranah hawa nafsu), ''[[Rupadhatu]]'' (ranah berwujud), dan ''[[Arupadhatu]]'' (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.<ref name="Soekmono4">Soekmono (1976), halaman 4.</ref> Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh [[Sir Thomas Stamford Raffles]], yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982 atas upaya [[Pemerintah Republik Indonesia]] dan [[UNESCO]], kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar [[Situs Warisan Dunia]].<ref name="unesco-whc"/>
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun [[Agama Buddha di Indonesia|umat Buddha]] yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci [[Waisak]]. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.<ref>{{cite book|last =|first =|authorlink =|coauthors =|title =Indonesia|publisher =Lonely Planet Publications Pty Ltd|month =November|year =2003|location =Melbourne|pages =211–215|url =|doi =|isbn = 1-74059-154-2|author = Mark Elliott ...}}.</ref><ref name="Hampton2004">{{cite journal| author=Mark P. Hampton| title=Heritage, Local Communities and Economic Development| journal=Annals of Tourism Research| doi=10.1016/j.annals.2004.10.010| volume=32| issue=3| pages=735–759| year=2005}}</ref><ref name="Sedyawati1997">{{cite conference|author=E. Sedyawati| title=Potential and Challenges of Tourism: Managing the National Cultural Heritage of Indonesia| booktitle=Tourism and Heritage Management| editor=W. Nuryanti (ed.)| pages=25–35| publisher=Gajah Mada University Press| location=Yogyakarta| year=1997}}</ref>
Baris 53:
== Nama Borobudur ==
[[Berkas:Borobudur 2008.JPG|jmpl|kiri|Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh. Selama berabad-abad bangunan suci ini sempat terlupakan.]]
Dalam [[Bahasa Indonesia]], bangunan keagamaan purbakala disebut ''[[candi]]''; istilah ''candi'' juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya [[gerbang]], [[gapura]], dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama ''Borobudur'' tidak jelas,<ref name="Soekmono13" /> meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.<ref name="Soekmono13" /> Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "[[Sejarah Pulau Jawa]]" karya [[Sir Thomas Raffles|Sir Thomas Stamford Raffles]].<ref name="Raffles1814">{{cite book|title=The History of Java|author=Thomas Stamford Raffles|authorlink=Sir Thomas Raffles|year=1817|edition=1978|isbn=0-19-580347-7|publisher=Oxford University Press}}</ref> Raffles menulis mengenai monumen bernama ''borobudur'', akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.<ref name="Soekmono13">Soekmono (1976), halaman 13.</ref> Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah [[Nagarakretagama]], yang ditulis oleh [[Mpu Prapanca]] pada 1365.<ref name="moens" />
Nama ''Bore-Budur'', yang kemudian ditulis ''BoroBudur'', kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan ''candi'' memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah ''Buda'' dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".<ref name="Soekmono13" /> Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama ''Budur'' berasal dari istilah ''bhudhara'' yang berarti gunung.<ref name="casparis" />
Baris 63:
== Lingkungan sekitar ==
[[Berkas:Borobudur Map id.svg|jmpl|ka|380px|Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang]]
Terletak sekitar {{convert|40|km|mi}} barat laut dari [[Kota Yogyakarta]], Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; [[Gunung Sundoro|Gunung Sindoro]]-[[Gunung Sumbing|Sumbing]] di sebelah barat laut dan [[Gunung Merbabu|Merbabu]]-[[Gunung Merapi|Merapi]] di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit [[Tidar]], lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan [[Menoreh]], serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu [[Sungai Progo]] dan [[Sungai Elo]] di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai [[dataran Kedu]] adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.<ref name="p1">Soekmono (1976), halaman 1.</ref>
=== Tiga candi serangkai ===
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu [[Candi Mendut]] dan [[Candi Pawon]] yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.<ref name="krom">{{cite book|author=N. J. Krom|title=Borobudur, Archaeological Description|year=1927|publisher=Nijhoff|location=The Hague|url=http://www.borobudur.tv/mendut_borobudur.htm|accessdate=17 August 2008}}</ref> Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.<ref name="moens">{{cite journal| title=Barabudur, Mendut en Pawon en hun onderlinge samenhang (''Barabudur, Mendut and Pawon and their mutual relationship'') |author=J. L. Moens |year=1951 |quote=trans. by Mark Long |url=http://www.borobudur.tv/Barabudur_Mendut_Pawon.pdf| journal=Tijdschrift voor de Indische Taai-, Land- en Volkenkunde |publisher=Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen |pages=326–386|format=PDF}}</ref>
Selain
=== Danau purba ===
[[Berkas:Borobudur Panoramic View.jpg|jmpl|ka|380px|Borobudur di tengah kehijauan alam [[dataran Kedu]]. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.]]
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian {{convert|265|m|ft|abbr=on}} dari permukaan laut dan {{convert|15|m|ft|abbr=on}} di atas dasar danau purba yang telah mengering.<ref name="Murwanto">{{cite journal|author=Murwanto, H.; Gunnell, Y; Suharsono, S.; Sutikno, S. and Lavigne, F|title=Borobudur monument (Java, Indonesia) stood by a natural lake: chronostratigraphic evidence and historical implications|journal=The Holocene|issue=3|year=2004|pages=459–463|doi=10.1191/0959683604hl721rr|volume=14|unused_data=volume14}}</ref> Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada tahun 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, [[W.O.J. Nieuwenkamp]], mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga [[teratai]] yang mengapung di atas permukaan danau.<ref name="casparis">J.G. de Casparis, "The Dual Nature of Barabudur", in Gómez and Woodward (1981), halaman 70 dan 83.</ref> Bunga teratai baik dalam bentuk ''padma'' (teratai merah), ''utpala'' (teratai biru), ataupun ''kumuda'' (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha. seringkali digenggam oleh [[Boddhisatwa]] sebagai ''laksana'' (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab [[Mahayana]] (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga teratai.<ref name="Murwanto" /> Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog. pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.<ref>R.W. van Bemmelen (1949). ''The geology of Indonesia, general geology of Indonesia and adjacent archipelago, vol 1A'', The Hague, Government Printing Office, Martinus Nijhoff. cited in Murwanto (2004).</ref> Sebuah penelitian [[stratigrafi]], sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,<ref name="Murwanto" /> yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil
== Sejarah ==
|