Hak asasi manusia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 14:
[[Thomas Hobbes]] menerbitkan karyanya yang berjudul ''[[Leviathan (buku)|Leviathan]]'' pada tahun 1651. <!--Raja [[Charles I dari Inggris]] baru saja dipenggal dua tahun sebelumnya oleh [[Roundhead|para pendukung Parlemen]] yang dipimpin oleh [[Oliver Cromwell]], dan -->Di dalam buku tersebut, Hobbes berpendapat bahwa kekuasaan absolut wajib ada, dan ia menolak gagasan mengenai pembatasan terhadap kekuasaan. Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa semua bawahan seyogianya tunduk kepada penguasanya, dan ia tidak banyak bersentuhan dengan hak kodrati. Walaupun begitu, Hobbes meyakini bahwa penguasa harus menjalankan wewenangnya secara bertanggung jawab dan dengan mengikuti hukum Allah dan hukum kodrat. Selain itu, Hobbes dianggap berjasa karena telah memperkenalkan gagasan [[kontrak sosial]] yang menyatakan bahwa penguasa punya wewenang untuk berkuasa karena rakyat sebelumnya sudah menyatakan kesediaan mereka untuk diperintah.{{sfn|Bates|2010|p=20}}
 
John Locke mengembangkan gagasan ini lebih lanjut di dalam karyanya, ''[[Two Treatises of Government]]'', yang diterbitkan pada tahun 1689. Locke dikenal dengan pemikirannya mengenai [[hak kodrati]] bahwa manusia terlahir dengan "kebebasan sempurna" dan penikmatan hak-hak dan keistimewaan yang "tak terkendali" dalam [[keadaan alamiah]] sebelum adanya negara, dan manusia secara alamiah juga memiliki kekuatan untuk mempertahankan kehidupan, kebebasan, dan hak-hak pemilikannya dari ancaman atau serangan manusia lain.{{sfn|Bates|2010|p=20}} Ia menolak mentah-mentah klaim bahwa manusia dapat melepaskan hak-hak kodratinya; menurutnya, tidak ada orang yang bisa menyerahkan wewenang yang lebih besar daripada yang dimilikinya, dan juga tidak ada satu pun insan yang punya kekuasaan mutlak dan sewenang-wenang terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain sampai-sampai mereka dapat membunuh atau merampas hak milik orang lain. Maka dari itu, manusia dianggap tidak dapat menundukkan dirinya kepada kekuasaan sewenang-wenang orang lain, dan dari sini muncul kesimpulan bahwa manusia masih tetap mempertahankan kebebasan alamiahnya bahkan ketika mereka hidup di dalam suatu negara, dan perumusan kontrak sosial untuk mendirikan negara bukan dianggap sebagai penyerahan hak tanpa syarat seperti yang dibayangkan oleh Hobbes. Gagasan ini membuka jalan bagi kemunculan hak asasi yang melindungi seseorang dari permintaan-permintaan yang tidak berdasar dari negara.{{sfn|Tomuschat|2008|p=12}} Lebih jauh lagi, Locke mengatakan bahwa penguasa kadang-kadang perlu dilawan jika mereka sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya atau memakainya untuk mengakibatkan kehancuran, dan bukannya untuk kebaikan umat manusia dan perlindungan hak mereka.{{sfn|Bates|2010|p=20}} Gagasan ini kelak tertuang di dalam mukadimah PUHAM: "Menimbang bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penindasan."{{sfn|PUHAM|1948}}
 
Pada tahun yang sama, pemerintah Inggris mengeluarkan piagam ''[[Bill of Rights 1689|Bill of Rights]]'' yang memberikan hak-hak yang terbatas, seperti pelarangan pengganjaran hukuman yang "lalim dan tak lazim". Namun, sumbangsih terbesar piagam ini adalah dalam menetapkan konsep [[kedaulatan parlemen]] secara konstitusional. Berdasarkan pemahaman masyarakat modern, piagam ini tidak memenuhi syarat sebagai piagam hak asasi manusia, tetapi dianggap penting karena telah memastikan gagasan bahwa kekuasaan mutlak di tangan negara perlu dibatasi demi kepentingan individu-individu di dalamnya.{{sfn|Bates|2010|p=19}}