Temu Mesti: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 6:
Informasi tentang silsilah nenek moyang Temu tidak banyak, itupun hanya berasal dari pihak ayah yang hanya sampai pada kakeknya yang bernama Samin. Kakeknya itu menikah dengan perempuan yang berasal dari Cungking, Glagah, Banyuwangi bernama Miasih. Pasangan Samin-Miasih dikaruniai enam orang anak, yaitu: Atidjah, Mustari, Yahwi, Yahyo, Raziz, dan Marwah. Garis keturunan dari pihak ibu tidak dikenal oleh Temu. Dia hanya mengenal seorang pamannya dari pihak ibunya, yang biasa dipanggil dengan sebutan Ahmad Jonggrang (tinggi). Hal ini disebabkan karena sejak masih bayi dia tidak tinggal dengan kedua orang tuanya. Di sisi lain, kedua orang tuanya juga bercerai ketika Temu masih kecil.<ref>{{Cite book|title=Biografi Tokoh Seni|last=Sri Retna Astuti dan Dwi Ratna Nurhajarini|first=|publisher=Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta|year=2013|isbn=|location=Yogyakarta|pages=36-37}}</ref> Keduanya kemudian memiliki rumah tangga masing-masing karena mereka lantas menikah lagi.
 
Darah seni Temu mengalir dari ayahnya yang merupakan pemain [[ludruk]] dan biasa membawakan lagu Jula-Juli (sering disebut ''kidungan ludruk'').<ref>{{Cite book|title=Ibid|last=|first=|publisher=|year=|isbn=|location=|pages=37}}</ref> Dalam satu lakon [[ludruk]] dikenal ada empat macam kidung, yaitu: ''kidungan tari ngrema, kidungan lawak, kidungan bedhayan,'' dan ''kidungan adegan''.<ref>{{Cite book|title=Lakon Ludruk Jawa Timur|last=Supriyanto|first=Henri|publisher=Gramedia Widiasarana Indonesia|year=1992|isbn=|location=Jakarta|pages=24}}</ref> Selain itu, darah seni juga dimiliki oleh kakeknya yang merupakan seorang ustad yang mengusai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu syariat (dalam pengertian ini adalah semacam ahli pengasihan dan mantra-mantra).<ref>{{Cite journal|last=Wiwin Indiarti dan Abdul Munir|first=|date=April 2016|title=Peran dan Relasi Gender Masyarakat Using dalam Lakon Barong Kemiren-Banyuwangi|url=|journal=Patra Widya|volume=Vol. 17, No. 1|issue=Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya|doi=|issn=1411-5239|pmid=|access-date=}}</ref> Kakek Temu adalah seorang yang ahli dalam seni tradisi ''mocoan lontar''.<ref name=":0" /><ref name=":1" /> Seni yang dominan dalam ''mocoan lontar'' ini adalah seni suara dalam melafalkan [[lontar]] yang dibacanya.
 
=== Masa Kecil ===
Sejak berumur tujuh bulan, Misti (nama kecil Temu) sudah harus berhenti menyusui dan diasuh oleh bibinya yang tidak dikaruniai keturunan bernama Atidjah karena ibunya telah mengandung anak ketiganya (Musriah).<ref name=":3" /> Masa kecil Misti dihabiskan bersama Atidjah dan Buang (pamannya/suami Atidjah) yang dianggap sebagai ayah dan ibu kandungnya sendiri. Ketika berada di bawah asuhan mereka, Misti sering sakit-sakitan, sedangkan pada tahun 1950-1960-an di Desa Kemiren dan sekitarnya belum terdapat tenaga medis, yang ada hanyalah dukun.<ref name=":3" /> Dukun di [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]] saat itu mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat karena mereka dianggap memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan orang lain,<ref>{{Cite journal|last=Munawaroh|first=Siti|date=Desember 2004|title=Masyarakat Using di Banyuwangi: Studi Tentang Kehidupan Sosial-Budaya|url=|journal=Patra Widya|volume=Vol. 5, No. 4|issue=Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya|doi=|issn=1411-5239|pmid=|access-date=}}</ref> bahkan sampai saat ini pengobatan ke dukun pun masih sering dilakukan oleh masyarakat [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]].<ref>{{Cite book|title=Komunitas Adat Using Desa Aliyan Regojampi Banyuwangi Jawa Timur|last=Salamun|first=dkk|publisher=Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta|year=2015|isbn=|location=Yogyakarta|pages=38-39}}</ref>
 
Tatkala sakit dan tidak kunjung sembuh itulah Misti dibawa oleh Atidjah dan Buang ke dukun yang sering disebut dengan panggilan Mbah Kar. Di tempat itulah dia dipijat dan disuruh untuk meminum air putih yang telah dijampi oleh Mbah Kar. Setelah dari rumah Mbah Kar, Misti dibawa ke rumah juragan [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] bernama Mbah Ti'ah yang berada di daerah Pancoran. Di situlah Misti makan dengan sangat lahap dan mendapatkan kesembuhan. Kesembuhan Misti itu menurut istilah dari Mbah Ti'ah adalah ''nemu nyawa'' (mendapatkan kehidupan lagi setelah sakit parah). Juragan [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] itulah yang juga mengusulkan agar Misti kecil menjadi seorang penari [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] dan namanya juga diubah karena telah sembuh dari sakit.<ref name=":0" /><ref name=":6" /> Pergantian nama tersebut merupakan suatu kebiasaan masyarakat desa apabila seorang anak memiliki perilaku aneh atau terkena sakit parah. Dari istilah ''nemu'' tersebut, namanya kemudian berubah menjadi "temu".<ref>{{Cite book|title=Sawitri Penari Topeng Losari|last=Masunah|first=J.|publisher=Tarawang|year=2000|isbn=|location=Yogyakarta|pages=44}}</ref> Hal itulah yang membuat dirinya sampai sekarang dikenal dengan nama Temu, dan karena keahlian Temu dalam seni [[Gandrung Banyuwangi|gandrung]] dia juga dikenal dengan julukan "Gandrung Temu" (masyarakat [[Suku Osing|suku Using]] menyebutnya dengan nama Gandrung Temuk atau Mak Muk).