Madraisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hapus semua referensi dari Blogspot dan Wordpress, karena bukan WP:ST (user-generated content).
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{Sedang ditulis}}
{{Aliran kepercayaan di Indonesia}}
'''Agama Sunda''' adalah kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan [[Cigugur, Kuningan]], [[Jawa Barat]]. Agama tersebut juga dikenal sebagai ''Cara Karuhun Urang'' (tradisi nenek moyang), ''agama [[Sunda Wiwitan]]'', ''ajaran Madrais'' atau ''agama Cigugur''. [[Abdul Rozak]], seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari ''agama Buhun'', yaitu kepercayaan tradisional masyarakat [[Sunda]] yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di [[Kabupaten Kuningan]], tetapi juga masyarakat [[Baduy]] di [[Kabupaten Lebak]], para pemeluk "Agama Kuring" di daerah Kecamatan [[Ciparay, Bandung|Ciparay]], [[Kabupaten Bandung]], dll. Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk ''agama Buhun'' ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Agama Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran [[Madrais]] dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke [[Ternate]], dan baru kembali sekitar tahun [[1920]] untuk melanjutkan ajarannya.
 
Madrais — yang biasa juga dipanggil ''Kiai Madrais'' — adalah keturunan dari [[Kesultanan Gebang]], sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah [[Hindia Belanda]] menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai '''Pangeran Sadewa''', dibesarkan dalam tradisi [[Islam]] dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan [[pesantren]] sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Sunda.
 
== Ajaran dan ritual ==
Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya [[Seren Taun]] yang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada [[1860]], dan yang kini dihuni oleh Pangeran [[Djatikusuma]].
 
Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (''ngagondang''). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh [[Tuhan]] kepada manusia. Upacara "Seren Taun" yang biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara ini dihidupkan kembali. Salah satu upacara "Seren Taun" pernah dihadiri oleh Menteri Perindustrian, [[Andung A. Nitimiharja]], mantan Presiden RI, [[Abdurahman Wahid]], dan istri, serta sejumlah pejabat pemerintah lainnya.
 
Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap [[Dewi Sri]] (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia memuliakan [[Maulid]] serta semua [[Nabi]] yang diturunkan ke bumi.
 
Selain itu karena non muslim Agama Sunda atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan [[khitanan]]. Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti mati.
 
== Masa depan ==
Pada masa pemerintahan [[Orde Baru]], para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu [[Islam]], [[Kristen]] (Protestan), [[Katolik Roma|Katolik]], [[Hindu]] dan [[Buddha]]. Pada akhir [[1960-an]], ketika pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan ajaran Madrais, banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau Katolik.
 
Kiai Madrais wafat pada tahun [[1939]], dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran [[Tedjabuana]], dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang [[11 Juli]] [[1981]] mendirikan ''Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang'' (PACKU).
 
Pangeran Djatikusuma telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu [[Gumirat Barna Alam]], untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak Djatikusuma lainnya, bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain.
 
== Pranala luar ==