Nagari: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Syidiqmulya (bicara | kontrib)
Penambahan konten
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 1:
{{dab|Artikel ini mengenai pembagian administratif di SumateraSumatra Barat. Untuk jenis aksara lihat [[Aksara Dewanagari]]}}
{{Daerah administrasi Indonesia}}
[[Berkas:Pariangan.jpg|jmpl|300px|Nagari [[Pariangan, Pariangan, Tanah Datar|Pariangan]] di [[Kabupaten Tanah Datar]]]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Negri-huis te Loeboe Gedang Padangse Bovenlanden Sumatra`s Westkust TMnr 60002742.jpg|jmpl|300px|Balai nagari Lubuak Gadang ([[Kabupaten Solok Selatan]]) pada tahun 1877-1879]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Negri-huis te Si Lago Padangse Bovenlanden Sumatra`s Westkust TMnr 60002707.jpg|jmpl|300px|Balai nagari Silago ([[Kabupaten Dharmasraya]]) pada tahun 1877-1879]]
'''Nagari''' adalah pembagian wilayah administratif sesudah [[kecamatan]] di provinsi [[SumateraSumatra Barat]], [[Indonesia]]. Istilah nagari menggantikan istilah [[desa]] atau kelurahan, yang digunakan di provinsi lain di Indonesia.
 
Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.dan juga Nagari merupakan kumpulan Dari beberapa Jorong /Korong yang memiliki tujuan Dan prinsip yang sama. Nagari dipimpin oleh seorang yang namanya Wali Nagari. Wali Nagari ini dipilih melalui musyawarah Dan mufakat Dari berbagai kumpulan Jorong Dan at melalui pemilu.
Baris 19:
berikutnya. Jumlah anggota BMN ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 orang dan paling banyak 11 orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan nagari, serta ditetapkan dengan keputusan [[Bupati]]/[[Wali kota]].
 
Dengan diterapkannya kembali model pemerintahan nagari di provinsi SumateraSumatra Barat, maka hal ini berdampak terhadap wewenang atas penguasaan kembali tanah ulayat nagari maupun juga terhadap tanah-tanah adat baik yang dimiliki secara individual maupun telah dikuasai negara sebelumnya<ref>Yayasan Kemala, (2005), ''Tanah masih di langit: penyelesaian masalah penguasaan tanah dan kekayaan alam di Indonesia yang tak kunjung tuntas di era reformasi'', Bandung: Yayasan Kemala, ISBN 978-979-97910-5-4.</ref>.
 
Sementara itu di sejumlah kabupaten, nagari memiliki wewenang yang cukup besar. Misalnya di [[Kabupaten Solok]], nagari memiliki 111 kewenangan dari pemerintah kabupaten, termasuk di antaranya pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin tempat usaha (SITU).
Baris 36:
Pada tahun [[1914]] dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah [[Hindia Belanda]]. Hal ini dilakukan dengan asumsi untuk mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai kepala nagari atau [[wali nagari]], sehingga posisi [[penghulu]] suku kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, jabatan kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing akhirnya dapat diterima dan menjadi ''tradisi adat'', di mana jabatan ini juga akhirnya turut diwariskan kepada kemenakan dari pemegang jabatan sebelumnya<ref>''Verbaal'', 22 Januari 1875, No. 39.</ref>. Namun sekarang jabatan ''tuanku laras'' sudah dihapus sedangkan ''wali nagari'' tidak boleh diwariskan kepada kemenakan yang memegang jabatan sebelumnya tetapi tetap harus dipilih secara demokratis.
 
Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah agar lebih sesuai dengan keadaan waktu itu. Pada tahun [[1946]] diadakan pemilihan langsung di seluruh SumateraSumatra Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Calon-calon yang dipilih tak terbatas pada penghulu saja. Partai politik pun boleh mengajukan calon. Pada kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari terpilih yang merupakan anggota partai. [[Masyumi]] menjadi partai yang mendominasi. Dalam masa perang kemerdekaan dibentuk juga organisasi pertahanan tingkat nagari, yaitu Badan Pengawal Negeri dan Kota (BNPK). Badan ini didirikan atas inisiatif [[Chatib Sulaiman]].
 
Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom, maka sejak itu pemerintahan nagari hampir tidak berperan lagi. Dan kemudian ditambah sewaktu Kabinet [[Mohammad Natsir]] tahun [[1951]] membekukan Dewan Perwakilan Rakyat di Provinsi SumateraSumatra Tengah yang juga mencakup wilayah SumateraSumatra Barat, [[Riau]], [[Kepulauan Riau]], dan [[Jambi]] sekarang. Maka dengan demikian dewan perwakilan tingkat nagari pun statusnya menjadi tidak jelas juga. Kemudian pasca [[Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia]], hampir keseluruhan aparat nagari diganti oleh pemerintah pusat yang sekaligus mengubah pemerintahan nagari<ref>Asnan, Gusti, (2007), ''Memikir ulang regionalisme: SumateraSumatra Barat tahun 1950-an'', Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-640-6.</ref>.
 
Tahun [[1974]] Gubernur [[Harun Zain]] memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun [[1979]] tentang pemerintahan desa, sistem nagari dihilangkan dan jorong digantikan statusnya menjadi [[desa]]. Kedudukan wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para [[kepala desa]].
Baris 44:
Meskipun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. [[Peraturan daerah]] No. 13 tahun 1983 mengatur tentang pendirian [[Kerapatan adat nagari|Kerapatan Adat Nagari]] (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama. Namun KAN sendiri tidak memiliki kekuasaan formal.
 
Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat SumateraSumatra Barat untuk kembali menjalankan sistem pemerintahan nagari. Dengan berlakunya otonomi daerah pada tahun [[2001]], istilah pemerintahan nagari kembali digunakan untuk menganti istilah pemerintahan desa yang digunakan sebelumnya dalam sistem pemerintahan kabupaten, sedangkan nagari yang berada dalam sistem pemerintahan kota masih seperti sebelumnya yaitu bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah.
 
Dan pada tahun [[2004]], untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan [[pemerintahan daerah]], dan UU No 22 Tahun 1999 dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, kemudian [[Presiden Indonesia]] dengan persetujuan [[Dewan Perwakilan Rakyat]] secara bersama, disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari [[undang-undang]] baru ini diharapkan munculnya pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Baris 57:
|last=Kahin
|first=Audrey
|title=Dari Pemberontakan ke Integrasi: SumateraSumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998
|publisher=Yayasan Obor Indonesia
|year=2005
Baris 63:
 
== Lihat pula ==
* [[Daftar nagari di SumateraSumatra Barat]]
* [[Suku Minangkabau]]