Orang Jawa Suriname: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Perancis +Prancis) |
OrophinBot (bicara | kontrib) |
||
Baris 32:
Mohon periksa Daftar Nama-Nama Kapal, terlampir.
Ternyata program pengiriman TKI ke Suriname ini, telah mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Atas dasar itu maka pada bulan Nopember 1905 Pemerintah Kerajaan Belanda memindahkan 155 kepala keluarga (KK) asal Pulau Jawa (dari Keresidenan Kedu, yaitu dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen dan Purworejo) ke daerah Gedong Tataan di Keresidenan Lampung,
Geografi Republik Suriname.
Baris 120:
Tahun 1950 di Suriname diadakan pemilihan umum (Pemilu). Setelah terbentuk Lembaga Legislative hasil Pemilu, Suriname menjadi Daerah Otonom di bawah Kerajaan Belanda.
Secara otomatis seluruh penduduk Suriname menjadi Warga Negara Belanda. Ketentuan ini ditentang oleh sekitar 75% masyarakat Indonesia. Mereka menolak menjadi warga negara Belanda dan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia serta ingin pulang ke Indonesia, meskipun dengan biaya sendiri.Akhirnya mereka berhasil mengirimkan delegasi ke Indonesia, menghadap Presiden Republik Indonesia untuk menyampaikan keinginannya itu. Pada tanggal 15 Oktober 1951 mereka mendirikan Yayasan Tanah Air (YTA) dengan tujuan utama “Mulih nDjowo”. Karena padatnya penduduk di Pulau Jawa, awalnya Pemerintah Republik Indonesia berencana akan menempatkan para Repatrian itu di daerah Metro, Provinsi Lampung. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya Pemerintah memutuskan dan menempatkan para Repatrian Suriname itu di Desa Lingkin Baru (Tongar), Kapupaten Pasaman,
Berkat usaha dan perjuangan yang gigih itu, maka pada tanggal 04 Januari 1954 denganmenumpang sebuah kapal cargo (kapal angkut barang) MS Langkoeas, rombongan pertama Repatrian Suriname itu pulang ke Indonesia sebagai Repatrian. Saat kapal sedang mengadakan persiapan akan meninggalkan pelabuhan Paramaribo, ribuan penduduk Suriname baik orang-orang Creol, India, Tionghoa, dll. terutama para wong Jowo yang masih tinggal, datang dari berbagai daerah di Suriname, ke Paramaribo, berjubel dipinggir jalan sekitar pelabuhan untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Ratusan perahu bermotor dan perahu dayung mengelilingi kapal untuk memberi penghormatan dengan cara membakar mercon/petasan dan mengibarkan bendera. Hampir semua orang, baik yang ada di pelabuhan maupun yang ada di dalam kapal semuanya sedih dan menangis sambil mengucapkan selamat berpisah, selamat jalan dan sampai ketemu lagi pada gelombang berikutnya.
Baris 126:
Suasana pada waktu itu sangat amat mengharukan, sehingga sangat sulit untuk melukiskannya. Ada suami yang meninggalkan isteri, ada pula isteri yang meninggalkan suami. Banyak keluarga yang terpaksa berpisah. Banyak anak yang meninggalkan orangtua dan saudara-saudaranya, antara lain seperti yang dialami oleh penulis makalah ini.
Untuk mewujudkan perhelatan besar mulih nDjowo itu, semua konskuensi biaya yang timbul, ditanggung sendiri oleh para Repatrian. Antara lain ongkos perjalanan laut dari Suriname ke Indonesia untuk orang dewasa dan remaja yang telah berusia 10 tahun keatas membayar Sf 375,- per orang dan anak-anak yang berusia antara 1 s/d 9 tahun membayar Sf 187,50 per orang. Anak-anak yang berusia di bawah 1 tahun, tidak membayar. Disamping membayar tiket kapal, para Repatrian membawa bahan pangan berupa beras 35 ton, alat-alat pertanian, kendaraan bermotor, mesin-mesin diesel dan alat-alat berat lainnya untuk persiapan tinggal di tanah harapan
Rombongan pertama Repatrian Suriname itu sebanyak 316 kepala keluarga (KK) atau 1.018 orang, dengan rincian sebagai berikut :
Baris 152:
Alat transportasi umum tidak ada, sehingga untuk belanja sekaligus “rekreasi” ke pasar Simpang Empat hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Disamping itu, kondisi Tongar waktu malam cukup mengerikan. Binatang buas seperti harimau kadang-kadang masih bebas berkeliaran. Setiap saat terdengar suara nyaring monyet hutan “siamang” yang memecah kesunyian baik siang maupun malam. Babi hutan “celeng” sering mengganggu tanaman yang ada. Semua itu membuat para Repatrian sedih dan ingin kembali ke Suriname atau setidak-tidaknya pindah kedaerah lain yang lebih aman dan nyaman.
Pada tanggal 15 Februari 1954 diadakan Upacara Penyambutan secara Adat Setempat oleh Wali Nagari beserta Ninik Mamak, Cerdik Pandai, Alim Ulama, para Sesepuh dan para Pemuka Masyarakat. Upacara ini dihadiri pula oleh Kepala Jawatan Transmigrasi Propinsi
Pada waktu para Repatrian masih di Suriname, diperoleh informasi bahwa Pemerintah Republik Indonesia akan menyediakan dan memberikan tanah garapan sekaligus tanah untuk tempat tinggal seluas 2.500 HA per Kepala Keluarga. Kenyataannya tanah yang dibagi-bagikan pada tahun 1954 itu hanya sebidang tanah yang hanya cukup untuk membangun sebuah rumah ukuran 20 x 40 m. Sisanya belum dibagi dan kondisinya masih berujud hutan. Diareal tanah berukuran 20 x 40 m itulah setiap Kepala Keluarga membangun rumah pribadi dengan biaya sendiri sesuai kemampuannya masing-masing.
|