Muhammad Thoha Ma'ruf: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Palladin911 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 26:
Pada usia 22 tahun ia telah menamatkan Madrasah Muallimin di [[Bukittinggi]] ([[1942]]) setelah satu tahun sebelumnya ia juga menamatkan Institute Islamic College di [[Padang]]. Dari sinilah kemuadian Ia mulai menapakkan dirinya di jalan dakwah. Di Padang, bumi pertiwi para intelektual ini pula ia membuka lebar-lebar cakrawala pemikirannya terhadap dunia dengan mempelajari pula bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Bahkan bahasa Jepang inilah yang sempat menyelamatkannya dari hukuman tentara Pendudukan Jepang ketika ia ditangkap karena dianggap menentang penjajah.
 
Sejak merantau ke Minang inilah Thaha Ma'ruf menunjukkan bakti yang begitu kuat terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa. Terutama dari sisi pendidikan. karena itulah ia terlibat dalam banyak sekali gerakan pendidikan sejak semasa mudanya. bahkan sebenarnya sejak sebelum ia berangkat ke negeri rantau, ia telah pula mengajar sebagai guru agama di tanah kelahirannya, Manado. Dan bukan hanya di Padang saja, melainkan juga ke wilayah-wilayah [[SumateraSumatra Tengah]] lainnya, yakni di [[Riau]], [[Jambi]] dan [[Medan]].
 
Di Minang, Thaha Ma'ruf menikah dengan seorang gadis belia asli Minang yang kelak mendampinginya hingga akhir hayat, Hj Sariani binti H Muhammad Yasin. begitulah gadis itu biasa dipanggil. Sejak kecil Sariani telah dipanggil Hajjah, kerena sejak berusia lima tahun ia telah diajak berangkat ke tanah suci Makkah-Madinah untuk pertama kalinya, beberapa kali ia pulang pergi ke Haramain sebelum akhirnya dinikahkan dengan pemuda Thaha Ma'ruf, seorang guru agama militan asal Banjar yang telah diterima sebagai bagian dari penduduk Minang. Keluarga Istrinya ini adalah sebuah keluarga saudagar kaya raya yang memiliki keseharian hidup agamis. Hj. Sariani pun seorang da’iyah handal sejak awal, sekaligus juga adalah pengatur keuangan keluarga yang terbukti sangat ulet.
Baris 34:
Terbukti kemudian pasangan muda ini kedua-duanya aktif sebagai kader pejuang unggul yang mampu mensinergikan antara perjuangan bangsa dan dakwah keagamaan dalam satu tarikan napas bahtera rumah tangga mereka. Thaha Ma'ruf, selain menjadi wartawan di Harian Penerangan, juga aktif sebagai guru di berbagai sekolah dan majlis taklim, sehingga ia mampu menanamkan rasa kecintaan masyarakat dan seluruh anak didiknya terhadap perjuangan bangsa dan agama sekaligus.
 
Hal ini senyatanya menjadi sebuah fakta ketika pada tahun 1953, dalam usia 33 tahun, Ia menjadi pelopor sekaligus deklarator berdirinya Partai NU di wilayah SumateraSumatra Tengah, wilayah yang sekarang menjadi tiga provinsi, SumateraSumatra Barat, Jambi dan Riau. Pendirian partai NU di SumateraSumatra Tengah ini dilaksanakan setelah selama enam tahun Thaha Ma'ruf bergulat dalam perjuangannya sebagai Sekretaris Jenderal PERTI yang berpusat di Bukittinggi.
 
=== Bergabung di NU ===
Tiga tahun setelah mendirikan partai NU di SumateraSumatra Tengah, Ia hijrah ke Jakarta sebagai anggota Pengurus Besar NU (PBNU) dan aktif dalam perjuangan Nahdlatul Ulama di level Pusat.
 
Di Jakarta, Thaha Ma'ruf sekeluarga sempat beberapa kali pindah alamat, dari Kebun Nanas, Matraman hingga Cipinang. Dalam menjalani kehidupannya sebagai aktivis Nahdlatul Ulama di Jakarta ini Ia selalu didampingi oleh sang istri yang juga seorang aktivis Fatayat-Muslimat NU.
Baris 51:
Salah satu gagasan penting yang dicetuskannya dengan sukses adalah kembalinya Indonesia ke pangkuan PBB pada tahun 1966. Dari sinilah kemudian Thaha Ma'ruf dipercaya untuk menjalani berbagai kunjungan kenegaraan ke berbagai wilayah di luar negeri. Termasuk untuk menghadiri Kongres Perdamaian di Moskow tahun 1962 dan mempersiapkan pendirian Konsulat RI. di Seoul, Korea Selatan pada tahun 1968.
 
Ketika terjadi banyak kemelut antara pemerintah pusat dengan beberapa wilayah termasuk dengan PRRI di SumateraSumatra Barat, Thaha Ma'ruf mengambil sikap pro pemerintah pusat, karena baginya, keutuhan NKRI lebih penting daripada perpecahan antar bangsa. karenanya, hal ini juga menjadikannya berada dalam garis depan untuk menolak setiap bentuk perlawanan terhadap kedaulatan NKRI, termasuk ketika terjadi peristiwa pemberontakan PKI 1965.
 
Dukungannya yang begitu kuat untuk keutuhan NKRI juga tercermin dari pendirian dan deklarasi NU wilayah SumateraSumatra Tengah, yang diawali oleh argumentasi bahwa semestinya umat Islam di Indonesia memang memiliki sebuah wadah keagamaan yang mencakup dan menjangkau ke seluruh wilayah NKRI, sehingga tidak menimbulkan friksi antar daerah.
 
KH. Thaha Ma'ruf adalah seorang tokoh yang hidup dalam suasana kesederhanaan dan memiliki keteladanan yang patut diikuti oleh masyarakat muslim. Salah satu kegemaran positif semasa hidupnya adalah bersilaturrahim. Menurut penuturan KH Fadhli Ma'ruf, putera ke-7, semasa hidupnya KH Thaha Ma'ruf sangat gemar bersilaturahim ke Ulama-ulama yang juga adalah teman-teman dan kerabatnya. Selain itu ia juga sangat gemar berziarah ke makam para Aulia di Jakarta dan sekitarnya, seperti ke Luar Batang, makam KH. Mas Mansur di Tanah Abang dan lain-lain.