Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak 2 perubahan teks terakhir (oleh Azharul Husna dan AABot) dan mengembalikan revisi 14646669 oleh Kim Dong Kyu: Riset asli tanpa sumber.
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 118:
Robinson mencatat bahwa meskipun beberapa pengusaha bisnis yang kecil di Aceh telah mendapat manfaat dari masuknya modal asing selama ''booming'' LNG, ada banyak yang merasa dirugikan saat kalah dari orang lain dengan koneksi politik yang lebih kuat ke pemerintah pusat, terutama pemimpin GAM sendiri, yaitu [[Hasan di Tiro]]. Hasan di Tiro adalah salah satu pihak yang dirugikan ketika ia mengajukan tawaran kontrak [[pipa minyak]] untuk ''[[Mobil Oil]]'' Indonesia pada tahun 1974, namun dikalahkan oleh sebuah perusahaan [[Amerika Serikat]].<ref>{{cite journal|last=Robinson|title=Rawan is as Rawan Does|journal=Indonesia|volume=66|page=137}}</ref> Robinson mencatat waktu deklarasi kemerdekaan GAM pada bulan Desember 1976 dan aksi militer pertama GAM pada tahun 1977 terhadap Mobil Oil terjadi pada waktu yang sama ketika fasilitas ekstraksi dan pengolahan gas alam telah diresmikan.<ref>{{cite journal|title=ibid|page=138}}</ref> Memang, dalam deklarasi kemerdekaan GAM, GAM mengklaim sebagai berikut:
 
: "''Aceh, SumateraSumatra, telah menghasilkan pendapatan lebih dari 15 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk neokolonialis Jawa, yang mereka gunakan seluruhnya untuk kepentingan Jawa dan orang Jawa.''"<ref>{{cite book|last=di Tiro|title=The Price of Freedom|pages=16}}</ref>
 
Walaupun demikian, Robinson mencatat bahwa meskipun faktor ini menjelaskan sebagian alasan munculnya pemberontakan GAM pada pertengahan 1970-an, hal ini tidak menjelaskan munculnya kembali GAM pada tahun 1989 dan tingkat kekerasan yang tidak pernah dilihat sebelumnya sejak saat itu.<ref>{{cite journal|last=Robinson|title=Rawan is as Rawan Does|journal=Indonesia|volume=66|page=139}}</ref> Aspinall juga mendukung sudut pandang ini dan berpendapat bahwa meskipun keluhan mengenai sumber daya alam dan ekonomi tidak boleh dihiraukan sebagai penyebab, faktor ini bukan penyebab secara keseluruhan, dengan contoh provinsi Riau dan Kalimantan Timur yang juga menghadapi eksploitasi ekonomi yang sama atau bahkan lebih buruk oleh pemerintah pusat, tetapi tidak memunculkan pemberontakan separatis karena perbedaan kondisi politik.<ref>{{cite journal|last=Aspinall|first=Edward|title=The Construction of Grievance: Natural Resources and Identity in a Separatist Conflict|journal=The Journal of Conflict Resolution|year=2007|month=December|volume=51|series=6|pages=964–967}}</ref> Dia melanjutkan bahwa keluhan berlatar ekonomi dan sumber daya alam telah menjadi sarana bagi GAM untuk meyakinkan masyarakat Aceh bahwa mereka harus meninggalkan harapan untuk perlakuan khusus dan otonomi di Indonesia dan sebaliknya berjuang untuk memulihkan kejayaan Aceh dengan mendapat kemerdekaan.<ref name=Aspinall_Greivance_964>{{cite journal|title=ibid|page=964}}</ref>
Baris 131:
:"''"Indonesia" was a fraud. A cloak to cover up Javanese colonialism. Since the world begun [sic], there never was a people, much less a nation, in our part of the world by that name.''"<ref>{{cite book|last=Tiro|title=The Price of Freedom|page=248}}</ref> ([[Bahasa Indonesia|BI]]: "''"Indonesia" adalah sebuah penipuan. Sebuah kedok untuk menutupi kolonialisme Jawa. Sejak dunia mulai, tidak pernah ada orang, apalagi bangsa, dalam bagian dari dunia kami dengan nama tersebut.''")
 
Upaya untuk menyebarkan propaganda GAM banyak mengandalkan dari mulut ke mulut. Elizabeth Drexler (akademis Universitas Pennsylvania) telah mengamati bahwa masyarakat Aceh dan pendukung GAM sering mengulangi klaim yang sama yang dibuat dalam propaganda GAM yang mereka telah datangi melalui modus penyebaran ini.<ref>{{cite book|last=Drexler|first=Elizabeth|title=Aceh, Indonesia: Securing the Insecure State|year=2008|publisher=University of Pennsylvania Press|location=Philadelphia, Pennsylvania|isbn=978-0-8122-4057-3|pages=69}}</ref> Almarhum [[M. Isa Sulaiman]] (penulis buku "''Sejarah Aceh''") menulis bahwa ketika di Tiro pertama kali memulai kegiatan separatis itu antara tahun 1974 dan 1976, ia mengandalkan jaringan kerabatnya dan sejumlah intelektual muda yang berpikiran sama untuk menyebarkan pesannya yang kemudian memperoleh massa simpatisan, khususnya di [[Medan]], [[SumateraSumatra Utara]].<ref>{{cite journal|last=Sulaiman|first=M. Isa|title=From Autonomy to Periphery|journal=Verandah of Violence: The Background of the Aceh Problem|year=2006|series=ed Anthony Reid. Singapore: Singapore University Press|page=138}}</ref> Aspinall juga menuliskan ingatan para simpatisan GAM tentang hari-hari awal pemberontakan di mana mereka akan menyebarkan pamflet kepada teman atau menyelipkannya secara anonim di bawah pintu kantor rekan-rekan mereka.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=78}}</ref>
 
Namun hasil dari upaya propaganda tersebut cukup berbeda-beda. Eric Morris ketika mewawancarai pendukung GAM tahun 1983 untuk tesisnya mencatat bahwa, daripada untuk kemerdekaan, para pendukung GAM lebih tertarik baik pada sebuah [[negara Islam]] Indonesia atau bagi Aceh untuk diperlakukan lebih adil oleh pemerintah pusat.<ref>{{cite book|last=Morris|title=Islam and Politics in Aceh|page=301}}</ref> Aspinall juga mencatat bahwa untuk beberapa daerah, GAM tidak membedakan dirinya dari [[Darul Islam]] atau [[Partai Persatuan Pembangunan]] yang berkampanye di atas panggung Islam untuk [[Pemilihan umum legislatif Indonesia 1977|Pemilu legislatif Indonesia tahun 1977]].<ref name=Aspinall_Islam_79>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=79}}</ref> Namun bagi individu yang telah menjadi pendukung inti GAM, pesan kemerdekaan yang ditemukan dalam propaganda GAM dipandang sebagai pewahyuan Islam dan banyak yang merasakan momen kebangkitan Islam.<ref name=Aspinall_Islam_79>{{cite book|title=ibid}}</ref>
Baris 158:
 
Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh:<ref>{{cite journal|last=Kingsbury|title=Military Businesses in Aceh|journal=Verandah of Violence|pages=212–217}}</ref>
* [[Obat terlarang]]: Pasukan keamanan mendorong petani lokal Aceh untuk menanam [[ganja]] dan membayar mereka harga yang jauh di bawah nilai [[pasar gelap]]. Salah satu contoh kasus yang disorot adalah di mana seorang polisi pilot helikopter mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia mengangkut 40&nbsp;kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala polisi [[Aceh Besar]] (perlu dicatat bahwa pada saat itu [[Kepolisian Republik Indonesia]] atau Polri berada di bawah komando militer atau [[ABRI]]). Kasus lain adalah pada bulan September 2002 di mana sebuah truk tentara dicegat oleh polisi di Binjai, [[SumateraSumatra Utara]] dengan muatan 1.350&nbsp;kg ganja.
* [[Industri pertahanan|Penjualan senjata ilegal]]: Wawancara pada tahun 2001 dan 2002 dengan para pemimpin GAM di Aceh mengungkapkan bahwa beberapa senjata mereka sebenarnya dibeli dari oknum militer Indonesia. Metode pertama penjualan ilegal tersebut adalah: personel militer Indonesia melaporkan senjata-senjata tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran. Kedua, oknum personel militer utama Indonesia yang mempunyai otoritas akses bahkan langsung mensuplai GAM dengan pasokan senjata serta amunisi.
* [[Pembalakan liar]] : Oknum militer dan polisi [[Penyuapan|disuap]] oleh [[perusahaan penebangan]] untuk mengabaikan kegiatan penebangan yang dilakukan di luar wilayah berlisensi. Proyek Pembangunan [[Leuser]] yang didanai oleh [[Uni Eropa]] dari pertengahan 1990-an untuk memerangi pembalakan liar sebenarnya telah menemukan bahwa oknum polisi dan militer Indonesia yang seharusnya membantu mencegah pembalakan liar, pada kenyataannya malah memfasilitasi, dan dalam beberapa kasus, bahkan memulai kegiatan ilegal tersebut.