Sumpah Satie Bukit Marapalam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 1:
{{inuse}}
 
Sebelum Islam masuk ke wilayah [[SumateraSumatra Barat]], mayarakat [[Minang]] mengambil pedoman dalam menjalani hidup dengan melihat alam sebagai guru. Mereka menggali nilai-nilai yang diberikan alam untuk dijadikan landasan hidup. Ketika agama [[islam]] masuk, masyarakat Minang dapat dengan mudah menerimanya karena ajaran Islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah dianut oleh masyarakat Minang itu sendiri.
 
Pada masa penjajahan Belanda, kolonial Belanda mengadu domba masyarakat Minang dengan memunculkan pertentangan dan perbedaan pendapat, yang melatar belakangi munculnya [[Perang Padri|Perang Paderi.]] Untuk mengakiri pertentangan dan perbedaan pendapat ini, dilaksanakanlah Piagam Bukik Marapalam yang disebut juga Sumpah Sati Bukik Marapalam. Perjanjian ini merumuskan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Rumusan ini adalah hasil kesepakatan antara pemuka agama dan pemuka adat Minang. Perjanjian ini dilaksanakan di puncak Bukit Pato, [[Tanah Datar|Tanah Datar,]] yang disebut juga bukit Marapalam. Daerah ini dipilih karena posisinya yang strategis karena terletak di wilayah perbukitan antara [[Kecamatan Lintau]] dengan [[kecamatan Sungayang.]] Piagam Bukik Marapalam ini melahirkan konsep ideologis masyarakat Minang, yang kemudian dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sosial, budaya,dan politik.<ref>{{Cite book|title=Kamus Sejarah Minangkabau|last=Asnan|first=Gusti|publisher=Pusat Pengkajian Islam dan Minangabau|year=2003|isbn=979-97407-0-3|location=Padang|pages=339}}</ref>