Politik Minangkabau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 16:
Untuk konsep kepemimpinan politik, masyarakat Minangkabau tidak memposisikan pemimpinnya sebagai orang yang di''[[Kultus individu|kultus]]''kan. Sehingga ketika pemimpin itu tidak amanah atas jabatannya ia bisa disanggah ataupun diganti melalui dewan adat. Hal ini berdasarkan kepada filosofi Minangkabau yang menempatkan pemimpin itu "ditinggikan seranting didahulukan selangkah" (''ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah''). Dengan filosofi kepemimpinan politik seperti ini, Minangkabau kemudian banyak melahirkan pemimpin sejati yang rendah hati dan penuh pengabdian karena ia memahami bahwa ia hanya ditinggikan seranting serta didahulukan selangkah oleh masyarakatnya.<ref name="kompas.com">[http://nasional.kompas.com/read/2014/06/26/1617120/Ilusi.Pemimpin.Besar "Ilusi Pemimpin Besar"] ''[[Hamdi Muluk]], [[Kompas.com]]'', 26-06-2014. Diakses 27-12-2014.</ref> Atau juga berdasarkan kepada filosofi "raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah" (''rajo adia rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah''). Adanya dewan adat yang terdiri dari para penghulu dan ninik mamak di seluruh nagari, menciptakan sistem ''check and balances'' dalam politik Minangkabau.
 
Sejak masuknya [[Islam]] ke [[Pulau SumateraSumatra|SumateraSumatra]], sistem politik Minangkabau diperkuat oleh tiga unsur (''triumvirat'') yang disebut ''Tigo Tungku Sajarangan''. Triumvirat ini terdiri dari tiga unsur masyarakat yang mencakup kaum adat, kaum cerdik pandai, dan kaum ulama.
 
* ''Kaum Adat'' diwakili oleh beberapa orang penghulu dari suku/klan yang ada dalam sistem adat Minangkabau, seperti suku [[Suku Koto|Koto]] dan [[Suku Piliang|Piliang]], [[Suku Bodi|Bodi]] dan [[Suku Caniago|Caniago]] serta berbagai suku pecahan baru lainnya. Setiap suku/klan diwakili oleh beberapa orang datuk yang merupakan kepala kaum atau keluarga besar.
Baris 35:
Di daerah aliran [[Sungai Batanghari]], pada tahun 645 konfederasi politik Minangkabau dan masyarakat setempat mendirikan [[Kerajaan Melayu]]. Kerajaan ini dibentuk untuk memperkuat basis perdagangan emas Minangkabau di [[Selat Malaka]].<ref>Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula</ref> Dalam perjalanan sejarahnya, kerajaan ini kemudian menjadi [[Kerajaan Dharmasraya]], yang bercabang menjadi [[Kerajaan Pagaruyung]] dan [[Kesultanan Melaka]]. Menurut [[Thomas Stamford Raffles]], salah seorang raja Dharmasraya [[Sri Tribuwana Mauliwarmadewa]] merupakan pendiri [[Singapura]], yang kemudian anak keturunannya [[Parameswara]] mendirikan [[Kesultanan Melaka]] di [[Semenanjung Malaysia]].<ref>Raffles, T. S., (1821), ''Malay annals'' (trans. John Leyden), Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown</ref> Di muara [[Sungai Indragiri]], raja-raja Minangkabau juga membentuk sebuah kerajaan pada abad ke-16 yang disebut [[Kerajaan Inderagiri]].<ref>Cortesão, Armando, (1944), ''The Suma Oriental of Tomé Pires'', London: Hakluyt Society, 2 vols.</ref>
 
Karena penguasaan tambang emas di pedalaman SumateraSumatra, pada abad ke-14 hingga abad ke-18 Kerajaan Pagaruyung menjadi salah satu kerajaan yang cukup berpengaruh di [[SumateraSumatra]] dan Semenanjung Malaysia.<ref>Leonard Y. Andaya, Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka, 2008</ref> Sistem politik Pagaruyung terdiri dari tiga raja (''[[Rajo Tigo Selo]]'') yang dipimpin oleh ''[[Raja Alam]]'' yang bertugas melaksanakan pemerintahan. Raja Alam dibantu oleh dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu ''Raja Adat'' dan ''Raja Ibadat''. Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang disebut ''[[Basa Ampek Balai]]'' yang terdiri dari ''Bandaro'', ''Makhudum'', ''Indomo'', dan ''[[Tuan Gadang]]''. Untuk memperkuat kedudukan Raja Alam, pemerintahan Pagaruyung juga mengangkat raja-raja ''vassal'' di seluruh SumateraSumatra.<ref>Elsbeth Locher-Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907, 2004</ref>
 
Koloni dagang serta kerajaan orang-orang Minang juga terbentang di sepanjang pantai barat SumateraSumatra dari [[Tapak Tuan, Aceh Selatan|Tapaktuan]], [[Barus, Tapanuli Tengah|Barus]], [[Kota Sibolga|Sibolga]], [[Natal, Mandailing Natal|Natal]], [[Kota Pariaman|Pariaman]], [[Kota Bengkulu|Bengkulu]], hingga [[Kabupaten Lampung Barat|Lampung Barat]]. Di wilayah ini politik Minangkabau direpresentasikan oleh [[Kesultanan Indrapura]]<ref name="Kat1">{{cite journal| last =Kathirithamby-Wells | first = J.| year = 1976| title = The Inderapura Sultanate: The Foundation of its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eighteenth Century| journal = Indonesia | volume = 21 | pages = 65-84}}</ref>. Di pesisir timur SumateraSumatra, politik Minangkabau direpresentasikan oleh [[Kesultanan Kota Pinang]] yang kemudian para keturunannya menjadi raja-raja di [[Kesultanan Asahan]], [[Kerajaan Pannai|Pannai]], dan Bilah.<ref>Tengku Ferry Bustamam, Bunga Rampai Kesultanan Asahan, 2003</ref> Sama seperti halnya dengan pendirian nagari-nagari di [[Dataran Tinggi Minangkabau|dataran tinggi Minangkabau]] yang mensyaratkan adanya empat suku, pendirian kota-kota dagang dan kerajaan di rantau timur-pun pada umumnya mengambil sistem politik "Datuk Empat Suku". Dimana musyawarah para datuk tersebut yang akan menentukan pemimpin dan para sultan di kerajaan.<ref>Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Suku-suku di SumateraSumatra Utara, 1973</ref>
 
Pada abad ke-17, kedudukan politik Minangkabau di [[Selat Malaka]] dan Semenanjung Malaysia mulai menguat. Tahun 1718 di bawah kepemimpinan [[Abdul Jalil Syah dari Siak|Raja Kecil]], para politisi Minangkabau menduduki tahta [[Kesultanan Johor-Riau]]. Empat tahun kemudian, tahta Raja Kecil dikudeta oleh pasukan [[Suku Bugis|Bugis]] pimpinan Daeng Parani. Kemudian ia pergi ke [[Provinsi Riau|Riau]] dan mendirikan [[Kesultanan Siak Sri Inderapura]].<ref>Ahmad Jelani Halimi, Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu, Kuala Lumpur, 2008</ref> Pada tahun 1773, untuk memperkuat kedudukan politik orang Minang di Semenanjung Malaysia, masyarakat [[Negeri Sembilan]] menjemput [[Raja Melewar]] dari [[Pagaruyung]].<ref>De Josselin de Jong, P. E., (1951), Minangkabau and Negri Sembilan, Leiden, The Hague</ref> Keturunan Raja Melewar inilah kemudian yang banyak menjadi pemimpin politik di Malaysia.
Baris 44:
[[Berkas:Sultan Malaysia I.jpg|150px|jmpl|kiri|[[Abdul Rahman dari Negeri Sembilan|Tuanku Abdul Rahman]], pemimpin politik [[Malaysia]].]]
 
Pada zaman kolonial sistem politik Minangkabau tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Nagari-nagari bukan lagi menjadi sistem politik yang otonom, namun berada di bawah ''Laras'' yang para pemimpinnya diangkat oleh kolonial [[Belanda]].<ref>Graves, Elizabeth E. (2007). ''Asal usul Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX''. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia</ref><ref>Franz von Benda-Beckmann, Keebet von Benda-Beckmann; Political and Legal Transformations of an Indonesian Polity: The Nagari from Colonisation to Decentralisation, 2013</ref> Akibat dianulirnya peran politik masyarakat Minang, banyak dari tokoh-tokoh Minang yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1908 terjadi Pemberontakan Anti-Pajak di seluruh [[SumateraSumatra Barat]]. Karena aspirasi politiknya tak didengar, pada tahun 1927 sekali lagi rakyat Minangkabau melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Pemberontakan ini dimotori oleh kaum [[Islam]]-[[komunis]] di [[Silungkang, Sawahlunto|Silungkang]], [[Kota Padang|Padang]], dan [[Kota Padang Panjang|Padang Panjang]], yang kemudian memberikan dampak luas ke seluruh Hindia Belanda. Untuk meredakan ketegangan di Minangkabau, pemerintah Belanda memberikan kesempatan kepada masyarakat Minang untuk membentuk Dewan Minangkabau (''Minangkabau Raad''). Dewan ini menjadi saluran aspirasi politik Minangkabau, dimana banyak dari tokoh-tokoh Minang yang kemudian duduk menjadi anggota [[Volksraad]]. Beberapa anggota Volksraad dari ranah Minang yang cukup vokal antara lain [[Abdul Muis]], [[Agus Salim]], dan [[Jahja Datoek Kajo]].<ref name="Kahin"/>
 
Akibat sistem politik kolonial Belanda yang merugikan, banyak dari anak-anak muda Minang yang mencita-citakan kemerdekaan. Salah satu anak muda tersebut yang kemudian terinspirasi dengan sistem politik di Minangkabau ialah [[Tan Malaka]]. Ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mencita-citakannya menjadi sebuah negara republik. Atas perjuangannya dalam mendirikan [[Republik Indonesia]], ia kemudian dikenal sebagai "Bapak Republik Indonesia".<ref>Harry A. Poeze; Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, 2008</ref> Satu lagi tokoh politik Minang yang memiliki kedudukan cukup penting ialah [[Roestam Effendi]]. Ia merupakan satu-satunya orang [[Hindia Belanda]] yang pernah menjadi anggota parlemen (''Tweede Kamer'') di Belanda.<ref>Rampan, Korrie. Leksikon Sastra Indonesia. Balai Pustaka, 2000, Jakarta</ref>