Arsyad Thalib Lubis: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
OrophinBot (bicara | kontrib) |
||
Baris 104:
Ia adalah putra [[Mandailing]] kelahiran tanah Melayu, lahir di
[[Stabat]],
dilahirkan sebagai putra kelima dari pasangan Lebai Thalib bin Ibrahim Lubis
dan Markoyum Nasution. Ayahnya berasal dari kampung Pastap, Kotanopan,
Baris 135:
terperinci, dan sistematis berdasarkan kitab suci masing-masing.
Hampir sepanjang hayatnya ia gunakan untuk mengajar di antaranya di Madrasah Al Irsyadiyah Medan sejak tahun 1926-1930, di Madrasah Al Washliyah Meulaboh, Aceh 1931-1932, Madrasah Al Washliyah Medan 1933-1945, Madrasah Al Qismul Ali Al Washliyah Tebing Tinggi 1946-1947 dan Madrasah Al Qismul Ali Al Washliyah Medan 1953-957. Kemudian ia menjadi lektor pada Sekolah Persiapan Perguruan Tinggi Islam Indonesia di Medan 1953-1954, guru besar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih pada [[Universitas Islam
(Medan: MUI-SU, 1975), h. 289.</ref>
Sejak 1946 hingga 1957 ia memegang berbagai jabatan struktural di Departemen Agama, di antaranya Kepala Mahkamah Syariah Keresidenan [[
(Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi
kegiatan Al Washliyah yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan
sosial. Sejak Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di lebur ke dalam Masyumi
Baris 150:
melangsungkan pengislaman tidak kurang dari dua ratus orang. Di samping itu, puluhan ribu pula buku-buku karangannya tentang salat, iman, dan ibadah dalam bahasa daerah Batak, Karo, Nias, dan Simalungun dibagikan secara gratis kepada orang-orang yang baru memeluk agama Islam.
Selain berbagai kegiatannya di atas, ia juga aktif melakukan berbagai pendekatan dan diskusi dengan tokoh-tokoh Kristen di Medan seperti Pendeta Rivai Burhanuddin (Pendeta Kristen Adven), Van Den Hurk, kepala Gereja Katolik
Ketika paham Ahmadiah Qadian menimbulkan gejolak di
dan fatwanya itu dipertegas lagi pada Muktamar Ulama se-
Pada masa perjuangan kemerdekaan, ia turut memberikan andil sesuai dengan bidangnya, berpidato untuk membangkitkan semangat jihad melawan penjajahan, di samping menulis buku “Tuntutan Perang Sabil”. Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, ia memfatwakan bahwa
Baris 160:
Pada waktu clash ke II yaitu,
1947-1949 ketika
itu, ia adalah anggota Dewan Pertahanan Daerah
wakil ketua Markas Besar Kelaskaran Al Washliyah.<ref name=ibid/> Ketika serangan bom Belanda menghujani kota Tebing Tinggi dan mulai memasuki perbatasan kota, ia bersama beberapa guru dan anggota Al Washliyah berusaha bertahan di Markas Besar Kelaskaran Al Washliyah di kota itu. Setelah pertempuran semakin sengit dan keadaan tidak mungkin di pertahankan, ia meninggalkan kota untuk menyatukan kekuatan di daerah Tanjung Balai, Asahan. Beberapa hari kemudian ia bergerak menuju Rantau
Prapat. Di daerah ini ia meneruskan perjuangan bersama dengan pemimpin-pemimpin lainnya. Karena kegigihan perjuangannya, pada tanggal 29 Maret 1949 ia ditangkap oleh pihak Negara
Ketika Negara
untuk meninjau [[Tashkent]], Mereka kembali ke Indonesia melalui Peking (Beijing), Rangoon (Yangon), dan Bangkok. Sebagai hasil dari lawatannya ini, ia menulis sebuah buku tentang keadaan umat Islam di sana agar menjadi cermin bagi umat Islam di Indonesia. Menurutnya, umat Islam di bawah
kekuasaan Komunis merupakan kelompok kecil yang senantiasa diawasi dan tidak bebas dalam menjalankan ibadah. Namun naskah buku ini hilang sebelum sempat dicetak.
Baris 172:
Muhammad Arsyad Thalib Lubis adalah seorang ulama yang berani dan teguh dalam pendirian. Ketika terjadi pergolakan di berbagai daerah di Indonesia, ia menulis sebuah artikel berjudul "Menyelesaikan Perang Saudara dalam Islam" yang dimuat dalam majalah Departemen Agama. Tulisan ini
menimbulkan berbagai kritikan dan kesibukan di kalangan Kejaksaan Agung dan Badan Intelijen Pusat, karena kandungannya dipandang tidak selaras dengan keinginan penguasa yang hendak menumpas habis setiap
pemberontakan. Akibatnya, ia dicopot dari jabatannya di Departemen Agama Wilayah
Pada saat ulama ramai mendukung pemberian gelar "Wali al-amri adh-dharuri bisy-syaukah” (Penguasa yang secara darurat dianggap mempunyai kekuasaan menetapkan hukum) kepada Presiden [[Soekarno]]. Ia
menurunkan tulisan-tulisan tentang syarat-syarat ulil amri yang menurut dia
|