Arsyad Thalib Lubis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 104:
 
Ia adalah putra [[Mandailing]] kelahiran tanah Melayu, lahir di
[[Stabat]], SumateraSumatra Utara, tahun 1908 dan meninggal 6 Juli 1972 di Medan. la
dilahirkan sebagai putra kelima dari pasangan Lebai Thalib bin Ibrahim Lubis
dan Markoyum Nasution. Ayahnya berasal dari kampung Pastap, Kotanopan,
Baris 135:
terperinci, dan sistematis berdasarkan kitab suci masing-masing.
 
Hampir sepanjang hayatnya ia gunakan untuk mengajar di antaranya di Madrasah Al Irsyadiyah Medan sejak tahun 1926-1930, di Madrasah Al Washliyah Meulaboh, Aceh 1931-1932, Madrasah Al Washliyah Medan 1933-1945, Madrasah Al Qismul Ali Al Washliyah Tebing Tinggi 1946-1947 dan Madrasah Al Qismul Ali Al Washliyah Medan 1953-957. Kemudian ia menjadi lektor pada Sekolah Persiapan Perguruan Tinggi Islam Indonesia di Medan 1953-1954, guru besar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih pada [[Universitas Islam SumateraSumatra Utara]] (1954), dan dosen tetap pada [[Universitas Al Washliyah]] sampai akhir hayatnya.<ref>Ahmad Nasution et. al., Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka di SumateraSumatra Utara
(Medan: MUI-SU, 1975), h. 289.</ref>
 
 
Sejak 1946 hingga 1957 ia memegang berbagai jabatan struktural di Departemen Agama, di antaranya Kepala Mahkamah Syariah Keresidenan [[SumateraSumatra Timur]], Kepala Jawatan Agama Keresidenan SumateraSumatra Timur
(Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi SumateraSumatra Utara), Kepala Bahagian Kepenghuluan Kantor Urusan Agama Propinsi SumateraSumatra Utara, dan Pejabat Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi SumateraSumatra Utara.<ref name=ibid/>Dalam kegiatan organisasi, ia aktif sebagai anggota Pengurus Besar organisasi [[Al Washliyah]] (1930-1956). Meskipun kemudian ia tidak duduk dalam kepengurusan, ia tetap aktif memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam
kegiatan Al Washliyah yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan
sosial. Sejak Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) di lebur ke dalam Masyumi
Baris 150:
melangsungkan pengislaman tidak kurang dari dua ratus orang. Di samping itu, puluhan ribu pula buku-buku karangannya tentang salat, iman, dan ibadah dalam bahasa daerah Batak, Karo, Nias, dan Simalungun dibagikan secara gratis kepada orang-orang yang baru memeluk agama Islam.
 
Selain berbagai kegiatannya di atas, ia juga aktif melakukan berbagai pendekatan dan diskusi dengan tokoh-tokoh Kristen di Medan seperti Pendeta Rivai Burhanuddin (Pendeta Kristen Adven), Van Den Hurk, kepala Gereja Katolik SumateraSumatra Utara, dan Dr. Sri Hardono (Tokoh Kristen Katolik). Berkat penguasaannya yang mendalam tentang ajaran Kristen dalam perdebatan-perdebatan ia dengan mudah menguasai lawan debatnya. Hasil perdebatannya selalu diterbitkan dalam bentuk buku.
 
Ketika paham Ahmadiah Qadian menimbulkan gejolak di SumateraSumatra Timur, ia menfatwakan kekafiran Ahmadiah Qadian dan larangan menguburkan penganutnya di pekuburan muslim. la juga memfatwakan bahwa Komunis harus diharamkan hidup di Indonesia pada Muktamar Ulama Seluruh Indonesia di Medan tahun 1953,
dan fatwanya itu dipertegas lagi pada Muktamar Ulama se-SumateraSumatra di Bukit Tinggi dan Muktamar Ulama di Palembang.<ref>Ibid., h. 292-293</ref> Ia juga selalu diminta untuk memberikan kuliah umum pada HUT UNIVA, seperti pada awal tahun 1960-an, pada saat itu terjadi polemik tentang kemungkinan manusia sampai ke angkasa luar (bulan) sedang hangat dibicarakan berbagai kalangan masyarakat. Maka Arsyad Thalib Lubis memberikan kuliah umum pada acara HUT ke II UNIVA yang jatuh pada tanggal 18 Mei 1960 dengan judul: ”Agama Islam dan Penghuni Angkasa Luar”. Dalam kuliah ini ia menyimpulkan bahwa dalil-dalil yang disebutkan al-Qur'an memungkinkan manusia untuk sampai ke angkasa luar.<ref>35Arifinsyah, Wacana Pluralisme Agama Kontemporer (Bandung: Citapustaka, 2002), h.95</ref> Selain itu pada HUT yang ke X, ia menyampaikan kuliah umumnya dengan judul:“Keesaan Tuhan Menurut Ajaran Kristen dan Islam”.
 
Pada masa perjuangan kemerdekaan, ia turut memberikan andil sesuai dengan bidangnya, berpidato untuk membangkitkan semangat jihad melawan penjajahan, di samping menulis buku “Tuntutan Perang Sabil”. Ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, ia memfatwakan bahwa
Baris 160:
 
Pada waktu clash ke II yaitu,
1947-1949 ketika SumateraSumatra Timur jatuh ke tangan Belanda dan meresmikan berdirinya Negara SumateraSumatra Timur (NST), ia sangat menentang dan untuk mempertahankan negara kesatuan RI, Arsyad Thalib Lubis mengungsi ke pedalaman dan berkeras tidak mau bekerjasama dengan penjajah. Pada waktu
itu, ia adalah anggota Dewan Pertahanan Daerah SumateraSumatra Timur-Selatan dan
wakil ketua Markas Besar Kelaskaran Al Washliyah.<ref name=ibid/> Ketika serangan bom Belanda menghujani kota Tebing Tinggi dan mulai memasuki perbatasan kota, ia bersama beberapa guru dan anggota Al Washliyah berusaha bertahan di Markas Besar Kelaskaran Al Washliyah di kota itu. Setelah pertempuran semakin sengit dan keadaan tidak mungkin di pertahankan, ia meninggalkan kota untuk menyatukan kekuatan di daerah Tanjung Balai, Asahan. Beberapa hari kemudian ia bergerak menuju Rantau
Prapat. Di daerah ini ia meneruskan perjuangan bersama dengan pemimpin-pemimpin lainnya. Karena kegigihan perjuangannya, pada tanggal 29 Maret 1949 ia ditangkap oleh pihak Negara SumateraSumatra Timur (NST) yang bertindak sebagai perpanjangan tangan Belanda. la ditahan sebagai tawanan politik di penjara Sukamulia, Medan, sampai tanggal 23 Desember 1949. Ketika ia di dalam penjara, istrinya meninggal dunia dan setelah mengurus surat izin yang cukup rumit barulah ia mendapat izin keluar penjara dan dalam keadaan tangan diborgol dia melihat istrinya yang terakhir kali saat proses pemakaman.<ref>Arifinsyah, Wacana Pluralisme, h. 96.</ref>
 
 
Ketika Negara SumateraSumatra Timur berhasil dibubarkan dan Panitia Persiapan Negara Kesatuan untuk SumateraSumatra Timur didirikan tahun 1950-1951, ia diangkat menjadi anggota panitia penempatan pegawai. Pada tahun 1956, pemerintah mengutusnya bersama H. Nasaruddin Latif ke [[Uni Soviet]]
untuk meninjau [[Tashkent]], Mereka kembali ke Indonesia melalui Peking (Beijing), Rangoon (Yangon), dan Bangkok. Sebagai hasil dari lawatannya ini, ia menulis sebuah buku tentang keadaan umat Islam di sana agar menjadi cermin bagi umat Islam di Indonesia. Menurutnya, umat Islam di bawah
kekuasaan Komunis merupakan kelompok kecil yang senantiasa diawasi dan tidak bebas dalam menjalankan ibadah. Namun naskah buku ini hilang sebelum sempat dicetak.
Baris 172:
Muhammad Arsyad Thalib Lubis adalah seorang ulama yang berani dan teguh dalam pendirian. Ketika terjadi pergolakan di berbagai daerah di Indonesia, ia menulis sebuah artikel berjudul "Menyelesaikan Perang Saudara dalam Islam" yang dimuat dalam majalah Departemen Agama. Tulisan ini
menimbulkan berbagai kritikan dan kesibukan di kalangan Kejaksaan Agung dan Badan Intelijen Pusat, karena kandungannya dipandang tidak selaras dengan keinginan penguasa yang hendak menumpas habis setiap
pemberontakan. Akibatnya, ia dicopot dari jabatannya di Departemen Agama Wilayah SumateraSumatra Utara dan dimutasikan ke pusat.<ref name=ibid/>
Pada saat ulama ramai mendukung pemberian gelar "Wali al-amri adh-dharuri bisy-syaukah” (Penguasa yang secara darurat dianggap mempunyai kekuasaan menetapkan hukum) kepada Presiden [[Soekarno]]. Ia
menurunkan tulisan-tulisan tentang syarat-syarat ulil amri yang menurut dia