Soehario Padmodiwirio: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 26:
== Karya Seni dan Literasi ==
Karya-karya Soehario Padmodiwirio berupa tulisan dalam bentuk cerpen, novel, memoar otobiografi, naskah-naskah sandiwara, skenario film, artikel-artikel di surat kabar, pamflet, surat selebaran, dan lain-lainnya mulai dari 1953 hingga wafat: 1) Pamflet dan artikel surat kabar, selebaran berisi agitasi untuk pemberantasan korupsi dalam kerja sama dengan surat kabar yang dipimpin Mochtar Lubis, Indonesia Raya, 1953-1954; 2) Naskah Sandiwara 4 babak “Persimpangan Jalan” yang dimainkan oleh bintang-bintang terkenal seperti Zainal Abidin, Raden Ismail, dan lain-lainnya (1954); 3) Naskah Sandiwara 3 babak “Selingan Dalam Dinas” yang dimainkan oleh bintang-bintang terkenal, Toeti Soeprapto, Anggraeni, Citra Dewi, dan lain-lain (1954) dalam rangka
aktivitas organisasi “Penggerak Seni Angkatan Perang”; 4) Naskah-naskah Sandiwara Radio RRI, “Akhirnya Mereka Bertemu”, suatu melodrama tentang episode dalam pemberontakan melawan pemerintah RI, “Padi Mulai Menguning”, suatu cuplikan dari kehidupan para transmigran berasal dari Jawa di SumateraSumatra Selatan
(1955); 5) Cerpen Bila Mesin-Mesin Telah Berhenti, tentang suka duka dan perjuangan kaum buruh tambang batubara yang diterlantarkan oleh kolonialis Belanda menjelang pecahnya Perang Pasifik, pada waktu Jepang akan masuk Indonesia sampai pecah perang Kemerdekaan Indonesia. Ditulis sebagai tanda peduli kepada perjuangan semua kaum buruh perusahaan minyak di Kalimantan Timur (1960); 6) Kumpulan cerita/reportase diambil dari pengalaman dalam tahap pertama sebagai Panglima Kodam IX Mulawarman di daerah pedalaman Kalimantan Timur berjudul “Tanah, Rakyat dan Tentara” (1960); Penulisan Skenario Film “Tangan-Tangan Kotor” yang dasar ceritanya tentang pertanian yang dijalankan oleh kaum tani transmigrasi dari Jawa di Kalimantan Timur. Tujuan dari pembuatan film itu adalah sebagai penerangan dan untuk memberi semangat kepada para transmigran sekaligus mempersatukan dan asimilasi kebudayaan kaum pendatang dan rakyat asli di pedalaman. Sekaligus dalam pembikinan film kolosal itu mempertemukan empat suku besar dalam suatu festival besar suku-suku Dayak di pedalaman dan mempersatukan mereka dalam rangka politik Konfrontasi Malaysia.{{sfn|Kecik|2009|p=545-546}}