Gender: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Faktor dan pandangan biologi: Hines, et al. 2015, Hines 2017, Money 1994 |
k Bot: Perubahan kosmetika |
||
Baris 64:
=== Hipotesis konstruksi sosial seks/jenis kelamin ===
{{See also|Perbedaan seks dan gender}}
[[
Gender di dalam sosiologi umumnya dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial. Di sisi lain, beberapa ilmuwan dan kalangan [[feminisme|feminis]] menilai bahwa seks hanya merupakan sebuah aspek biologi dan bukan soal konstruksi sosial atau kultural. Sebagai contoh, [[seksologi|seksolog]] Selandia Baru yaitu [[John Money]] menyebutkan perbedaan antara seks biologis dan gender sebagai peran.<ref name=j1 /> Sosiolog Britania Raya yaitu [[Ann Oakley]] mengatakan bahwa, "Keutuhan seks itu harus diakui, tapi begitu pula untuk keberagaman gender."<ref group="cat.">Teks asli dalam bahasa Ingrris: "the constancy of sex must be admitted, but so also must the variability of gender."</ref><ref>{{cite book|last=Oakley|first=A. |year=1972|title=Sex, Gender and Society|location=London |publisher=Temple Smith|page=16|isbn=0-85117-020-X}}</ref> Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, "'Seks' merupakan karakteristik biologis dan fisiologis yang mendefinisikan pria dan wanita ... 'gender' merupakan peran, perilaku, aktivitas, dan sifat-sifat yang dikonstruksi secara sosial dan dianggap di dalam masyarakat tertentu sebagai pantas bagi pria dan wanita."<ref group="cat.">Teks asli dalam bahasa Inggris: "'Sex' refers to the biological and physiological characteristics that define men and women ... 'gender' refers to the socially constructed roles, behaviours, activities, and attributes that a given society considers appropriate for men and women."</ref><ref name="www.who.int"/> Dengan demikian, seks dipandang sebagai sebuah objek kajian biologi (ilmu alam) sementara gender dipandang sebagai sebuah kajian dalam ilmu [[humaniora]] dan [[ilmu sosial]]. Lynda Birke, seorang biolog feminis, berpendapat bahwa biologi bukan sesuatu yang dapat berubah.<ref name="Birke, Lynda 2001" /> Meskipun demikian, terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa seks juga merupakan hasil konstruksi sosial. Judith Butler mengatakan, "Mungkin, hasil konstruksi yang disebut 'seks' ini memang betul hasil konstruksi kultural seperti gender. Mungkin memang yang ada hanya gender, sehingga antara seks dan gender tidak ada perbedaannya sama sekali."<ref group="cat.">Teks asli dalam bahasa Inggris: "perhaps this construct called 'sex' is as culturally constructed as gender; indeed, perhaps it was always already gender, with the consequence that the distinction between sex and gender turns out to be no distinction at all."</ref>{{sfn|Butler|1990|p=7}} Butler juga mengatakan,
<blockquote>Dengan demikian, mendefinisikan gender sebagai sebuah interpretasi kultural dari seks menjadi tidak akan masuk akal jika seks itu sendiri pengelompokkannya berpusat pada gender. Gender seharusnya tidak dipahami hanya sebagai sebuah penentuan arti kultural terhadap seks tertentu (sebuah formulasi yuridis). Gender juga harus menentukan perangkat dari cara seks-seks itu sendiri ditentukan. [...] Sebelum ada diskusi lain-lain tentang ini, ditentukannya seks itu sendiri harus dipahami sebagai akibat dari perangkat konstruksi sosial berdasarkan gender.<ref group="cat.">Teks asli dalam bahasa Inggris: "It would make no sense, then, to define gender as the cultural interpretation of sex, if sex is itself a gender-centered category. Gender should not be conceived merely as the cultural inscription of meaning based on a given sex (a juridical conception); gender must also designate the very apparatus of production whereby the sexes themselves are established. [...] This production of sex as the pre-discursive should be understood as the effect of the apparatus of cultural construction designated by gender."</ref>{{sfn|Butler|1990|p=10}}</blockquote>
Butler juga mengatakan, "Tubuh hanya tampak, hanya bertahan, hanya hidup dalam kondisi produktif dari suatu skema regulasi gender tertentu"<ref group="cat.">Teks asli dalam bahasa Inggris: "bodies only appear, only endure, only live within the productive constraints of certain highly gendered regulatory schemas"</ref>{{sfn|Butler|1993|p=xi}} dan seks "bukan lagi sebuah sifat fisik yang ditentukan dan direka oleh konstruksi gender, namun sebagai sebuah norma kultural yang mengatur materialisasi tubuh."<ref group="cat.">Teks asli dalam bahasa Inggris: "[sex] is no longer as a bodily given on which the construct of gender is artificially imposed, but as a cultural norm which governs the materialization of bodies."</ref>{{sfn|Butler|1993|p=2-3}} Lugones (2008) menyebutkan bahwa [[orang Yoruba|masyarakat Yoruba]] di Afrika tidak memiliki konsep mengenai gender dan sistem gender sebelum datangnya [[kolonialisme]]. Ia mengatakan bahwa para penjajah menggunakan sistem gender untuk berkuasa dan di saat yang sama mengubah dasar hubungan sosial masyarakat pribumi di daerah jajahan.<ref>{{cite journal|last=Lugones|first=M.|year=2008|title=Heterosexualism and the Colonial/Modern Gender System|journal=Hypatia|volume=22|issue=1|pages=196–198|doi=10.1353/hyp.2006.0067}}</ref> Nicholson (1994) menunjukkan bahwa pemahaman mengenai perbedaan seksual tubuh manusia tidak seragam di sepanjang periode sejarah. Ia menyatakan bahwa kelamin laki-laki dan perempuan dipandang sama di masyarakat Barat sebelum abad ke-18. Kala itu, kelamin perempuan dianggap sebagai kelamin laki-laki yang tidak sempurna dan keduanya merupakan tahapan kelamin yang
Fausto-Sterling (2000) di dalam studinya mendeskripsikan sikap-sikap dokter terhadap kondisi [[interseks]]. Ia memulai argumennya dengan mengatakan, "Pengertian kita terhadap konsep dasar gender membentuk dan mencerminkan cara kita membangun sistem dan aturan sosial kita serta pemahaman kita mengenai tubuh fisik kita."<ref group="cat.">Teks asli dalam bahasa Inggris: "our conceptions of the nature of gender difference shape, even as they reflect, the ways we structure our social system and polity; they also shape and reflect our understanding of our physical bodies."</ref>{{sfn|Fausto-Sterling|2000|p=45}} Fausto-Sterling kemudian menyebutkan akibat dari asumsi kita mengenai gender terhadap penelitian ilmiah mengenai seks dengan mengambil kasus penelitian terhadap orang interseks. Ia berkesimpulan bahwa para peneliti tidak mempertanyakan asumsi dasar mereka bahwa "hanya ada dua jenis kelamin" karena, menurut Fausto-Sterling, penelitian mereka terhadap orang interseks dilakukan sebagai perbandingan perkembangan jenis kelamin yang "normal".{{sfn|Fausto-Sterling |2000|p=46}} Ia juga menyebutkan mengenai bahasa yang digunakan oleh para dokter ketika berbicara dengan orang tua dari anak dengan kondisi interseks. Ia menyatakan bahwa karena para dokter memiliki kepercayaan bahwa si anak itu sebetulnya hanya laki-laki/perempuan dengan kondisi yang berbeda, mereka menyampaikan kepada orang tua si anak bahwa akan perlu waktu lebih untuk menentukan apakah anak tersebut laki-laki atau perempuan. Fausto-Sterling menyebut perilaku para dokter tersebut dibentuk oleh asumsi gender kultural mereka yang mengatakan bahwa hanya ada dua jenis kelamin. Ia menyebutkan pula bahwa perbedaan cara dokter di daerah-daerah yang berbeda dalam menangani kasus orang interseks memberikan gambaran baik mengenai konstruksi sosial jenis kelamin dan dengan demikian budaya memiliki peran dalam menentukan gender, terutama pada kasus anak-anak interseks.{{sfn|Fausto-Sterling|2000}} Sebagai contoh,
Baris 76:
Priess, et al. (2009) meneliti mengenai apakah anak perempuan dan laki-laki dapat mulai memiliki variasi identitas gender pada masa remajanya. Mereka mendasari penelitian tersebut berdasarkan hipotesis intensifikasi gender yang digagas oleh Hill dan Lynch (1989)<ref>{{cite book|last1=Hill |first1=J. P.|last2=Lynch |first2=M. E.|year=1983 |chapter=The Intensification of Gender-Related Role Expectations during Early Adolescence |editor-last1=Brooks-Gunn |editor-first1=J. |editor-last2=Petersen |editor-first2=A. C. |title=Girls at Puberty|publisher= Springer|location=Boston}}</ref> yang menyebutkan bahwa ucapan dan perilaku orang tua serta interaksi antara anak dan orang tua menentukan dan "mengintensifkan" identitas [[peran gender]] anak-anak mereka. Priess, et al. tidak menemukan kondisi tersebut pada penelitian mereka.<ref>{{Cite journal|last1=Priess|first1=H. A.|last2=Lindberg|first2=S. M.|last3=Hyde|first3=J. S. |authorlink3=Janet Shibley Hyde |title=Adolescent Gender-Role Identity and Mental Health: Gender Intensification Revisited|jstor=25592088|volume=80|issue=5|pages=1531–1544|doi=10.1111/j.1467-8624.2009.01349.x|journal=Child Development|pmc=4244905|pmid=19765016|year=2009}}</ref>
Ridgeway dan Correll (2004) mengatakan bahwa gender itu tidak hanya sebuah identitas atau peran namun sesuatu yang dilembagakan melalui "konteks hubungan sosial"
== Faktor dan pandangan biologi ==
Baris 82:
Perilaku laki-laki dan perempuan serupa pada banyak hal pada umumnya dengan hanya sedikit perbedaan dalam gender tetapi beberapa perilaku yang telah dikaitkan dengan gender tertentu dipengaruhi oleh hormon [[androgen]] pada masa prakelahiran dan kanak-kanak. Beberapa contoh di antaranya adalah identifikasi diri sendiri terhadap gender tertentu dan kecenderungan untuk bertindak agresif.<ref>{{cite journal|last1=Hines|first1=M.|last2=Constantinescu|first2=M.|last3=Spencer|first3=D.|title=Early androgen exposure and human gender development|journal=Biology of Sex Differences |year=2015|volume=6|pages=3|doi=10.1186/s13293-015-0022-1|pmc=4350266|issn=2042-6410|pmid=25745554}}</ref> Kebanyakan manusia laki-laki dan [[mamalia]] jantan lainnya memperlihatkan perilaku bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik yang merupakan pengaruh dari tingkat paparan [[testosteron]] di dalam kandungan. Tingkat paparan hormon tersebut dapat pula mempengaruhi seksualitas. Orang nonheteroseksual dapat memperlihatkan perilaku yang tidak umum pada jenis kelaminnya pada masa kanak-kanak.<ref>{{cite journal|last1=Hines|first1=M.|title=Prenatal endocrine influences on sexual orientation and on sexually differentiated childhood behavior|journal=Frontiers in Neuroendocrinology|year=2017|volume=32|issue=2|pages= 170–182|doi=10.1016/j.yfrne.2011.02.006|pmc= 3296090|issn=0091-3022|pmid= 21333673}}</ref>
[[Dimorfisme seksual|Biologi gender]] menjadi subjek dari berbagai penelitian pada abad ke-20. Salah satu topik yang paling awal diminati kalangan ilmuwan
{{quote|Istilah 'peran gender' pertama kali muncul di media cetak pada tahun 1955. (Sementara itu,) istilah ''identitas gender'' digunakan pada sebuah pernyataan pers pada 21 November 1966 yang mengumumkan sebuah klinik baru bagi transeksual [sic] di [[Rumah Sakit Johns Hopkins]]. Berita tersebut tersebar di media di seluruh dunia dan kemudian masuk ke ragam bahasa sehari-hari. Definisi gender dan identitas gender bervariasi berdasarkan doktrin. Dalam penggunaan populer di luar kajian ilmiah, seks adalah diri kita secara biologis, gender adalah diri kita secara sosial, identitas gender adalah pengertian dan kesadaran atau penentuan diri kita sendiri mengenai kelaki-lakian atau keperempuanan, dan peran gender adalah stereotip kultural mengenai hal maskulin dan feminin. Penyebab dari gangguan identitas gender dapat dijabarkan menjadi penyebab genetis, hormon prakelahiran, pengaruh sosial pascakelahiran, dan faktor hormon pascapubertas namun belum ada teori mengenai penyebab secara komprehensif dan rinci. Pengkodean gender pada otak bersifat bipolar. Pada (kasus) gangguan identitas gender, terdapat ketidakselarasan antara seks bawaan lahir seseorang dan pengkodean gender maskulin atau feminin pada otak orang tersebut.<ref group="cat.">Teks asli dalam bahasa Inggris: "The term 'gender role' appeared in print first in 1955. The term ''gender identity'' was used in a press release, November 21, 1966, to announce the new clinic for transsexuals at The Johns Hopkins Hospital. It was disseminated in the media worldwide, and soon entered the vernacular. The definitions of gender and gender identity vary on a doctrinal basis. In popularized and scientifically debased usage, sex is what you are biologically; gender is what you become socially; gender identity is your own sense or conviction of maleness or femaleness; and gender role is the cultural stereotype of what is masculine and feminine. Causality with respect to gender identity disorder is sub-divisible into genetic, prenatal hormonal, postnatal social, and post-pubertal hormonal determinants, but there is, as yet, no comprehensive and detailed theory of causality. Gender coding in the brain is bipolar. In gender identity disorder, there is discordance between the natal sex of one's external genitalia and the brain coding of one's gender as masculine or feminine.</ref><ref>{{cite journal|pmid=7996589|year=1994|last1=Money|first1=J.|title=The concept of gender identity disorder in childhood and adolescence after 39 years|volume=20|issue= 3|pages=163–177|doi= 10.1080/00926239408403428|journal= Journal of Sex & Marital Therapy}}</ref>}}
|