Pinde Rume: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 1:
'''Pinde Rume''' merupakan salah satu upacara adat [[Suku Betawi|Orang Betawi]] ketika meninggalkan rumah lama untuk masuk menempati rumah yang baru. Upacara Pinde Rume pada Orang Betawi sangat lekat dengan ajaran Agama [[Islam]]. Biasanya bukan hanya alim ulama yang diundang, prosesinya diwarnai [[Shalawat Nabi|shalawatan]] dari kumpulan pengajian ataupun qori<ref name=":0">{{Cite web|url=https://jakarta.go.id/artikel/konten/3780/pinde-rume|title=Pinde Rume|last=|first=|date=3 Agustus 2017|website=jakarta|publisher=|access-date=27 Maret 2019}}</ref>.
 
== Persiapan ==
Dalam prosesi Pinde Rume keluarga yang hendak pindahan rumah biasanya mengundang para tetangga, tokoh masyarakat, alim ulama, kelompok [[pengajian]] atau qori, bahkan sampai pawang hujan<ref name=":0" />.
 
Masyarakat Betawi kebanyakan melibatkan Pawang Hujan dalam setiap hajatan mereka, mulai dari pernikahan, [[Sunat|sunatansunat]]an, syukuran rumah baru dan lain-lain. Mereka percaya sang dukun punya kemampuan menggagalkan hujan di lokasi hajatan, dengan memindahkan energi hujan dari satu tempat ke tempat lainnya.
 
Orang Betawi tempo dulu menyebutnya sebagai [[Dukun]] Rangkeng atau Dukun Duduk Sajen. Hal ini karena ketika si dukun melaksanakan tugasnya, dia duduk di dalam sebuah kerangkeng bambu, biasanya di dalam kamar yang tertutup rapat. Yang punya hajat wajib menyajikan [[sesajen]]<ref>{{Cite web|url=https://metro.tempo.co/read/541338/jakarta-zaman-baheula-pawang-hujan-dikerangkeng|title=Jakarta Zaman Baheula, Pawang Hujan Dikerangkeng|last=|first=|date=31 Desember 2013|website=tempo online|publisher=|access-date=27 Maret 2019}}</ref>.
 
Setelah itu yang musti dipersiapkan adalah mengumpulkan tanah dari halaman rumah lama, untuk kemudian dibungkus dengan kain putih. Tanah bagi Orang Betawi sangatlah penting, karena bagi mereka di dalam tanah rumah lama itulah (pernah) ditanami (dikubur) ari-ari ([[Plasenta|placenta]]) anak yang baru dilahirkan<ref name=":0" />.
 
Orang Betawi menyebut ari-ari sebagai saudara tuanya si bayi. Untuk itu harus diperlakukan dengan baik, tidak boleh dibuang sembarangan, namun harus dipelihara. Caranya, dikubur di tanah atau dihanyutkan ke sungai/laut.<ref>{{Cite web|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/8246/1/ARTI%20FUNGSI%20UPACARA%20TRADISIONAL%20BETAWI.pdf|title=Arti Dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup Pada Masyarakat Betawi|last=Yunus|first=Ahmad|last2=Kartikasari|first2=Tatiek|date=1993|website=kemdikbud|publisher=Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai•Nilai Budaya|access-date=27 Maret 2019|last3=Rosyadi}}</ref>.
 
Setelah tanah dibungkus, dipersiapkan juga alat-alat rumah tangga seadanya yang wajib dibawa saat prosesi Pinde Rume dilakukan: pendaringan, lampu gembreng, tempayan, [[bumbu dapur]], kaca dan tempat [[sirih]]<ref name=":0" />.
 
== Prosesi ==
Baris 19:
Maksud dari menebarkan tanah dari rumah lama adalah agar suasana rumah yang ditinggalkan tetap terasa di rumah yang baru. Diharapkan seluruh anggota keluarga betah mendiami rumah baru seperti di rumah sebelumnya.
 
Selanjutnya di depan pintu rumah yang baru dilantunkanlah shalawat dustur oleh grup ''ngaji'' atau qori tadi. Usai ''shalawat'' diucapkanlah Bismillah sebanyak 3 kali.
 
Upacara Pinde Rume diakhiri dengan acara makan bersama, menyantap [[nasi kebuli]] atau [[nasi uduk]], juga kue-kue khas Betawi<ref name=":0" />, seperti misalnya kue gemblong, talam, geplak, pancong, rangi atau bandros, kue mangkok Betawi dan masih banyak lagi<ref>{{Cite book|title=Peta 100 Tempat Makan Makanan Khas Betawi|last=T. Erwin|first=Lilly|publisher=PT. Gramedia Pustaka Utama|year=2008|isbn=|location=Jakarta|pages=|last2=Erwin|first2=Abang}}</ref>. Ketika para undangan pulang, tidak lupa mereka masing-masing diberikan bungkusan nasi berkat<ref name=":0" />.
 
Alat-alat rumah tangga yang tadi dipersiapkan memiliki makna filosofis masing-masing:
 
'''Pendaringan'''. Adalah tempat menyimpan beras. Benda ini dianggap sebagai pusaka, makanya Orang Betawi tidak main-main terhadap benda ini. Orang Betawi jaman dulu [[pantang]] melihat langsung pendaringan, terlebih lagi pendaringan milik orang lain<ref>{{Cite book|title=Rumah Etnik Betawi|last=Swadarma|first=Dodi|publisher=Griya Kreasi (Penebar Swadaya Grup)|year=2013|isbn=|location=Jakarta|pages=|last2=Aryanto|first2=Yunus}}</ref>.
 
'''Lampu Gembreng'''. Diibaratkan sebagai penerangan hati dalam mempelajari segala macam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu Agama Islam. Jika dipelajari dengan benar Orang Betawi yakin mampu menyeimbangkan hidupnya dan tidak akan kehilangan pegangan hidup. Orang Betawi sering menyebutnya dengan blendes atau cempor.
 
'''Tempayan atau Kendi.''' Bagi orang Betawi benda ini tidak sekedar untuk menyimpan air minum saja, namun juga menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat yang sangat peduli (menolong) orang lain. Dahulu selalu ada tempayan atau kendi di depan rumah Orang Betawi. Hal ini agar orang (musafir) yang membutuhkan, bebas menggunakannya (misal, untuk diminum, mencuci muka atau kaki).
 
'''Bumbu Dapur.''' Orang Betawi memandang dirinya sebagai orang yang mandiri, namun mereka sadar hidup bersama-sama orang (suku) lainnya yang digambarkan sebagai bumbu dapur yang beraneka ragam.
 
'''Kaca.''' Tidak hanya untuk berhias, kaca atau cermin juga sekaligus melambangkan kerendahan hati Orang Betawi.
 
'''Tempat Sirih.''' Dipakai sebagai pengobatan.
 
== Referensi ==
 
{{sedang ditulis}}