Tari Tumbu Tanah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 6:
Masyarakat Arfak (Mnu Kwar) yang tinggal di daerah [[Kabupaten Manokwari|Manokwari]] terdiri dari empat sub-suku, yaitu: [[Suku Hatam|suku Hattam]], suku Sough, [[Suku Moile dan Suku Meyah|suku Moile]], dan [[Suku Moile dan Suku Meyah|suku Meyakh]].<ref>{{Cite web|url=http://arfaknews.com/read/1086/Wisata-dan-Kuliner/Tari-Tumbuk-Tanah-Tarian-Khas-Suku-Arfak|title=Tari Tumbuk Tanah, Tarian Khas Suku Arfak|last=Arfaknews|first=|date=|website=|access-date=2 April 2019}}</ref> Mereka memiliki kesenian tari yang sama, yang dinamakan dengan tari Tumbu Tanah.{{sfnp|Baharinawati W. Hastanti dan Irma Yeny|2009|p=23|ps=: "Mereka memiliki seni tari dan lagu yang sama yaitu tumbu tanah....."}} Keempat suku tersebut menyebut tarian ini dengan nama tari Tumbu Tanah karena mereka menyebutnya dengan bahasa yang berbeda-beda. Masyarakat suku Hattam menyebutnya dengan nama Ibihim, sedangkan suku Moile menyebutnya dengan nama Isim. Adapun suku Meyakh menyebut tari Tumbu Tanah dengan nama Mugka dan suku Sough menyebutnya dengan nama Manyohora.{{sfnp|Enrico Y. Kondologit dan Andi T. Sawaki|2016|p=96|ps=: "Masyarakat suku Hattam menyebut Tari Tumbu Tanah dengan nama Ibihim, sedangkan suku Moile menyebutnya dengan nama Isim. Adapun suku Meyakh menyebut Tari Tumbu Tanah dengan nama Mugka dan suku Sough menyebutnya dengan nama Manyohora......"}}
 
Penyebutan nama tari Tumbu Tanah berawal ketika agama [[Kekristenan|Kristen]] yang dibawa oleh dua [[misionaris]] asal [[Jerman]], yakni [[Carl Wilhelm Ottow]] dan [[Johann Gottlob Geissler]]{{sfnp|Hernawan|2002|p=2|ps=: "Papua dewasa ini tidaklah sama dengan Papua saat para perintis gereja-gereja, seperti Otto dan Geissler, memasuki tanah Papua pada 5 Februari 1855....."}}<ref>{{Cite web|url=https://suarapapua.com/2016/09/07/gki-tanah-papua-bertumbuh-pekabaran-injil/|title=GKI di Tanah Papua: Bertumbuh dari Pekabaran Injil|last=Warinussy|first=Yan Christian|date=|website=|access-date=4 April 2019}}</ref> pertama kali masuk Papua pada tanggal [[5 Februari]] [[1855]] melalui [[Pulau Mansinam]], Teluk Doreh, [[Kabupaten Manokwari]], [[Provinsi Papua Barat]].{{sfnp|Hapsari|2016|p=153|ps=: "Manokwari dikenal sebagai kota bersejarah dalam penyebaran agama Kristen di Tanah Papua, karena pada tanggal 5 Februari 1855 dua orang misionaris berkebangsaan Jerman, yaitu CarelCarl WilliamWilhelm Ottow dan Johann GotlobGottlob GeisllerGeissler mendarat di Pulau Masinam dan memulai penyebaran Injil....."}}<ref>{{Cite web|url=https://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/menelusuri-sejarah-peradaban-papua-di-pulau-mansinam|title=Menelusuri Sejarah Peradaban Papua di Pulau Mansinam|last=Indonesia Kaya (Eksplorasi Budaya di Zamrud Khatulistiwa)|first=|date=|website=|access-date=4 April 2019}}</ref> Mereka tidak hanya membawa misi [[penginjilan]] saja, tetapi juga membangun berbagai sarana dan prasarana kemasyarakatan yang mengubah peradaban bagi masyarakat Papua, khususnya Manokwari.<ref>{{Cite web|url=https://www.suara.com/news/2016/02/05/114253/masyarakat-peringati-161-tahun-injil-masuk-papua|title=Masyarakat Peringati 161 Tahun Injil Masuk Papua|last=Ariefana|first=Pebriansyah|date=|website=|access-date=4 April 2019}}</ref> Untuk mempermudah penyebutan tarian ini, maka mereka menggunakan [[bahasa Indonesia]] untuk menyebut tarian masyarakat Arfak tersebut dengan nama tari Tumbu Tanah agar dapat dikenal oleh masyarakat lain di luar keempat sub-suku itu.
 
Berdasarkan aspek sejarahnya, asal-usul tari Tumbu Tanah tidak terlepas dari [[mitologi]] asal-usul masyarakat Arfak, mengenai cerita "Legenda Jambu Mandatjan" yang bermula di Kampung Ndui. Legenda Jambu Mandatjan adalah cerita tentang penguasaan kepemilikan terhadap salah satu pohon jambu yang telah dibagi menurut ''keret'' (marga) yang ada di Arfak oleh anak-anak dari salah satu ''keret''. Seorang anak melepaskan anak panah dalam perebutan tersebut, namun meleset dan mengenai seekor burung. Tindakan tersebut lantas dicela oleh anak yang menjadi lawannya, bahkan semakin berkepanjangan hingga melibatkan orang tua dari masing-masing ''keret''. Masing-masing ''keret'' mengklaim kebenaran yang dilakukan oleh anaknya. Hal ini menyebabkan rusaknya hubungan harmonis yang telah terbangun di antara ''keret'' tersebut.