Otto Djaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 6:
Otto menikah di usianya yang ke 35 tahun, usia “terlambat” untuk ukuran laki-laki Indonesia apalagi di masa itu. Pada tanggal 4 Juni 1951 ia secara resmi menikahi wanita asal [[Kota Semarang|Semarang]] bernama Titi Hernadi. Resepsi pernikahan menyusul kemudian pada tanggal 14 Juli 1951. Keduanya bertemu saat bekerja di perusahaan percetakan Bisnis Indonesia. Mereka tinggal di rumah sendiri di Jalan Bendo No.5, Candi Baru, Semarang, [[Jawa Tengah]].
 
Suasana lingkungan rumah Otto memang mendukung profesinya sebagai pelukis: Terletak di atas bukit dengan pemandangan yang indah. Ukurannya pun besar. Selain untuk rumah tinggal, kediaman Otto juga dijadikan guest-house dan galeri untuk menjual lukisan-lukisan karyanya. Otto dan Titi mendapatkan penghasilan yang baik pada masa-masa itu. Mereka dikaruniai empat orang anak. Anak pertama lahir 8 Maret 1952 yang diberi nama Laksmi Hendrastuti. Lalu menyusul Maya Damayanti yang lahir tanggal 6 Juni 1954, Asoka Kusuma Djaya, lahir 14 Juni 1957, dan si bungsu Sinta Dewi Handayani yang lahir pada tanggal 25 Juni 1963.
 
== Pendidikan ==
Baris 22:
 
== Pelukis dan Pejuang ==
Otto adalah veteran perang RI. Sebagai mantan prajurit PETA (terdaftar sebagai NPV 8.20.585) Otto menerima penghargaan jasa tiga bintang emas di era kepemimpinan [[Soeharto|Presiden Suharto]]. Meski karir militernya sangat singkat hanya dua tahun (1944-1946), Otto pernah terlibat langsung dalam pertempuran fisik. Yang unik dari dirinya adalah meski berstatus sebagai tentara Otto tetap produktif menghasilkan karya-karya lukisan<ref name=":0" />.
 
Ketika menjadi taruna saat mengikuti pelatihan militer PETA di [[Kota Bogor|Bogor]], waktu-waktu istirahatnya selalu diisi dengan melukis. Menurutnya, melukis adalah salah satu cara agar dirinya tetap "waras" di kamp pelatihan. Bukannya apa-apa, latihan fisik di PETA itu sangat keras. Selama tiga bulan para kadet digembleng fisiknya siang malam dan terisolasi dari dunia luar. Seusai latihan mereka tidak bisa melakukan apa-apa kecuali istirahat lalu tidur. Namun, Otto memaksakan diri menggunakan waktu-waktu istirahatnya dengan melukis dan melukis. Ternyata para serdadu Jepang meminati karya-karya indah Otto. Semua lukisannya laku terjual. Bahkan ada beberapa yang dibawa ke Jepang untuk kemudian dijual disana.
 
Pada tanggal 29 Agustus 1945 Mayor Otto Djaya datang ke Asrama Mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), Balai Muslimin Indonesia di Jakarta. Tidak diketahui dalam rangka apa ia datang ke sana. Yang jelas, sebelum kedatangannya ada himbauan dari Subianto Djojohadikusumo selaku Ketua Umum PP STI kepada sesama pengurus, A. Karim Halim, agar mahasiswa STI menuliskan berbagai semboyan revolusi di trem, kereta api, bus, tembok-tembok gedung, dan di berbagai tempat strategis lainnya. Singkatnya, mengetahui latar belakang Mayor Otto adalah pelukis, Karim memintanya untuk menuliskan berbagai semboyan revolusi seperti himbauan tadi<ref>{{Cite web|url=https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/plrqwh385/henriette-roland-holst-dan-misteri-prabowo-baca-sajak|title=Henriette Roland Holst dan Misteri Prabowo Baca Sajak|last=Hakiem|first=Lukman|date=23 Januari 2019|website=republikaonline|access-date=7 April 2019}}</ref>.
 
Untuk diketahui Subianto Djojohadikusumo adalah salah satu pemuda yang mendatangi dan mendesak Bung Karno dan [[Mohammad Hatta|Bung Hatta]] pada tanggal 15 Agustus 1945 sore untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada hari itu juga. Pertemuan dilakukan di halaman belakang Institut Koningin Wilhelmina, Jalan Pegangsaan Timur No. 15. Kelak, Pada tanggal 25 Januari 1946, Taruna Subianto Djojohadikusumo beserta adiknya Sujono Djojohadikusumo dan 35 taruna [[Akademi Militer Tangerang]] lainnya gugur dalam insiden perundingan perlucutan senjata dengan tentara Jepang di Hutan Lengkong, [[Kota Tangerang|Tangerang]].
 
Atas permintaan STI itu Mayor Otto pun lantas setuju. Dilakukanlah aksi corat-coret seperti yang diminta, mulai dari pool trem di belakang Balai Muslimin, [[Stasiun Pasar Senen|Stasiun Senen]], [[Stasiun Gambir]], [[Stasiun Manggarai]], dan lain-lain. Penduduk Jakarta dibuat gempar dengan aksi tersebut. Dengan gembira mereka membaca slogan-slogan revolusi ditulis dalam [[Bahasa Indonesia]] maupun [[Bahasa Inggris|Inggris]]. Selanjutnya aksi corat-coret tersebut diikuti dan menyebar cepat ke berbagai kota besar di Pulau Jawa: Bogor, Bandung, [[Kota Cirebon|Cirebon]], dan Semarang.
 
Keterlibatan Mayor Otto Djaya (beserta Agus Djaya) dalam pertempuran pertama kali ketika ia beserta pasukannya (Resimen III Divisi III plus masyarakat sipil Sukabumi) mendapat tugas menghadang Pasukan Sekutu (Inggris dan Belanda). Bulan Desember 1945, tentara Sekutu memasuki kawasan Sukabumi dalam rangka mengamankan jalan-jalan antara Bogor dan Sukabumi. Tidak berimbang, Sekutu bersenjata lengkap plus tank-tank amphibinya sedangkan pasukan Indonesia hanya menggunakan senjata pampasan dari pasukan Jepang yang telah menyerah. Pasukan Indonesia terjepit. Beruntung, berkat hujan deras dan kabut yang tebal, Resimen III Divisi III berhasil lolos dari kepungan Sekutu. Ribuan orang dinyatakan gugur dalam kontak bersenjata yang kemudian dikenal sebagai pertempuran [[Bojongkokosan, Parungkuda, Sukabumi|Bojong Kokosan]] itu<ref name=":0" />.
 
4 Januari 1946 Sukarno dan Hatta pindah ke Yogyakarta untuk mendirikan pemerintahan sementara. Otto beserta seniman-seniman lainnya, termasuk Agus Djaya, hijrah mengikuti Presiden Sukarno. Misi mereka adalah mendukung revolusi dengan membuat propaganda lewat karya-karya seni. Di kota pelajar itu Otto dan Agus mendirikan Sanggar Pelukis Rakyat (SPR). SPR merupakan ide pelukis senior [[Affandi]] dan [[Hendra Gunawan (pelukis)|Hendra Gunawan]] yang juga mendapatkan sambutan positif dari Presiden Sukarno. Sanggar ini boleh dibilang memegang peranan penting atas perkembangan seni rupa di Indonesia. Banyak pelukis-pelukis SPR melukiskan potret-potret para pejuang revolusi maupun ketika mereka sedang bertempur di medan laga.
 
Meski dengan keterbatasan alat, Otto dan seniman lain tetap semangat untuk berkarya. Wajar saja, saat itu Indonesia terisolasi dari dunia luar. Berdirinya STR membuat Yogyakarta terkenal sebagai pusat kesenian bangsa. Selepas dari Yogyakarta, Otto lalu berkesempatan mengikuti Bung Karno tur keliling nusantara. Tugas Otto adalah melukis Sukarno ketika berorasi. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri buat seorang Otto Djaya.
 
== Inspirasi ==
Baris 51:
 
== Pameran ==
 
=== Manca Negara ===
 
=== Dalam Negeri ===
Baris 59 ⟶ 57:
== Akhir Hayat ==
<br />
 
== 100 Tahun Otto Djaya ==
 
== Referensi ==