Tiwah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 3:
 
== Konsep Kematian ==
Bagi masyarakat Dayak Ngaju yang umumnya memeluk kepercayaan lokal yakni Kaharingan, kematian merupakan hal akhir yang dijalani manusia. Bagi mereka, kematian hanyalah awal untuk mencapai dunia kekal abadi yang menjadi tempat asal manusia. Dunia kekal abadi tersebut adalah dunia roh tempat manusia mencapai titik kesempurnaanya. Dalam mitos suku Dayak Ngaju, awalnya manusia tidak mengenal kematian. Hal tersebut dikarenakan kehidupan duniawi adalah sesuatu yang kekal. Namun, suatu ketika manusia berbuat kesalahan dan akhirnya kekekalan hidup duniawinya dicabut oleh dewata. Manusia yang meninggal akan melanjutkan perjalanannya ke dunia para arwah. Manusia yang telah berganti wujud menjadi arwah ini disebut dengan '''Lio'''/'''Liau'''/'''Liaw. Liau''' oleh masyarakat Dayak Ngaju wajib diantar ke dunia arwah yakni alam tertinggi yang disebut '''''Lewu Liaw''''' atau '''''Lewu Tatau'''''. Proses pengantaran ini melalui serangkaian upacara kematian, yakni upacara Tiwah.<ref name=":0">{{Cite book|title=Tiwah upacara kematian pada masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah|url=http://worldcat.org/oclc/13896021|publisher=Proyek Media Kebudayaan Jakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|date=|oclc=13896021|last=Dyson, L.|first=|year=1981|isbn=|location=Jakarta|page=|last2=Asharini}}</ref> Liaw sendiri menurut masyarakat Dayak Ngaju terbagi atas tiga jenis yakni,
 
# ''Salumpuk liaw haring kaharingan'', yakni roh rohani dan jasmani,
# ''Salumpuk liaw balawang panjang'', yakni roh tubuh/badan,
# ''Salumpuk liaw karahang tulang'', yaitu roh tulang belulang.<ref name=":0" />
 
Penyelanggaran upacara Tiwah bagi masyarakat Dayak Ngaju dianggap sesuatu yang wajib secara moral dan sosial. Pihak keluarga yang ditinggalkan merasa memilki kewajiban untuk mengantar arwah sanak saudara yang meninggal ke dunia roh. Selain itu, dalam kepercayaan Dayak Ngaju, arwah orang yang belum diantar melalui upacara Tiwah akan selalu berada di sekitar lingkungan manusia yang masih hidup. Keberadaan mereka dianggap membawa gangguan berupa munculnya peristiwa gagal panen, penyakit, dan bahaya-bahaya lainnya.<ref name=":0" />
Baris 15:
 
== Durasi dan Waktu Upacara ==
Upacara Tiwah umumnya memiliki durasi selama tujuh hingga empat puluh hari. Sebagai upacara sakral terbesar bagi masyarakat Dayak Ngaju, upacara ini haruslah berlangsung sempurna. Penyelenggara harus cermat terhadap segala persiapan dan pelaksanaannya. Bila dalam pelaksanaan upacara Tiwah terjadi kekeliruan atau pelaksanaanya tidak sempurna, maka keluarga yang ditinggalkan dipercaya akan menanggung beban berat seperti rejekinya tidak lancar dan kesehatannya terganggu.<ref name=":3">{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkalbar/tiwah-mengantar-salumpuk-liau-ke-lewu-liau/|title=Upacara Tiwah yang merupakan upacara sakral terbesar di kalangan pemeluk Kaharingan|last=tutupkuncoro|date=2018-02-15|website=Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat|language=en-US|access-date=2019-04-09}}</ref>
 
Waktu penyelenggaran upacara Tiwah biasanya dilangsungkan pada saat setelah musim panen padi yakni sekitar bulan Mei, Juni dan Juli. Pemilihan waktu setelah panen dikarenakan pada waktu tersebut orang-orang memilki cadangan pangan yang cukup bagi anggota keluarga yang akan menyelanggarakan upacara Tiwah. Selain itu, masa pasca panen bersamaan dengan masa liburan anak sekolah.<ref name=":1" /> Masyarakat dianggap memiliki waktu yang luang dengan tidak menyibukkan diri dalam kegiatan pertanian. Dengan begitu, diharapkan dapat melangsungkan upacara Tiwah tanpa harus terganggu dengan kekurangan pangan, kegiatan bertani dan hal lainnya.<ref name=":0" />
Baris 33:
 
=== Pra Upacara Tiwah ===
 
==== Persiapan Awal ====
Upacara selanjutnya pasca penguburan sementara adalah upacara Tiwah itu sendiri. Hal pertama yang dilakukan adalah mengumpulan tulang belulang orang yang sudah meninggal. Bagi kelompok masyakarat yang membutuh waktu beberapa tahun untuk melangsungkan upacara Tiwah, jenazah yang sudah habis jasadnya, tinggal diambil saja tulang-tulangnya. Sedangkan bagi keluarga kaya yang melangsungkan upacara Tiwah segera setelah anggota keluarganya meninggal, proses pengambilan tulang sedikit berbeda. Jenazah yang masih memiliki jasad utuh harus dipisahkan dulu tulang belulangnya. Cara memisahkannya adalah dengan mengoyak-ngoyak jasad tersebut hingga daging dan tulang dapat terpisah.<ref name=":0" />
 
Setelah prosesi di atas, dana untuk melangsungkan upacara Tiwah yang telah terkumpul atau disebut dengan '''''laloh''''', diberikan kepada pimpinan penyelenggara atau '''''bakas tiwah'''''. Pimpinan penyelanggara ini bertugas untuk mengkoordinasikan semua kegiatan yang berhubungan dengan upacara Tiwah. Bakas tiwah nantinya akan dibantu oleh peserta lain yang disebut '''''anak-anak tiwah'''''.
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Model van een geestenhuisje of zielenschip TMnr A-1548.jpg|jmpl|Salah satu bentuk Sandung.|259x259px]]
Adapun tahapan puncakpersiapan awal dari upacara Tiwah adalah<ref name=":0" />
 
# Memilih dan menentukan orang yang akan menjadi pemimpin upacara. Para pemimpin ini biasanya terdiri dari tujuh atau sembilan orang. Salah satu dari mereka akan bertindah sebagai pemimpin utama atau '''''upo'''''. Sisanya akan menjadi anggota yang disebut dengan '''''basir'''''. Tugas orang-orang ini adalah mengantarkan arwah (Liaw) ke dunia akhirat (Lewu Tetu).
# Memilih pemimpin
# Mempersiapkan peralatan upacara yakni:
#*'''''Balay Tiwah''''' atau '''''Balai Nyahu''''' atau '''''Balai Raung''''' merupakan rumah kecil yang memiliki ukuran sekitar 9 x 12 meter. Tempat ini terbuat dibangun dari bahan-bahan yang terbuat dari kayu-kayu yang masih utuh (bulat). Digunakan untuk menyimpan gong.
#* Balay Tiwah
#*'''''Sangkay raya''''' merupakan sejumlah batang bambu yang tersusun rapi dengan ukurang 2-4 meter. Biasanya dijadikan tempat tarian dalam pelaksanaan upacara.<ref name=":4">{{Cite journal|last=Ripert|first=Blandine|last2=Schiller|first2=Anne|date=2001-01|title=Small Sacrifices: Religious Change and Cultural Identity among the Ngaju of Indonesia|url=http://dx.doi.org/10.2307/2654351|journal=Contemporary Sociology|volume=30|issue=1|pages=61|doi=10.2307/2654351|issn=0094-3061}}</ref> Sankayraya didirikan di depan balay tiwah dan setelah upacara tiwah selesai akan dipindah ke dekat ''sandong''.
#* Sangkay raya
#*'''''Sandong/Sandung''''' merupakan tempat penyimpanan tulang-tulang manusia setelah upacara tiwah berakhir. Biasanya terbuat dari kayu besi (ulin) yang dapat bertahan hingga 100 tahun. Pada dinding Sandong terdapat ukiran dengan motif tertentu. Sandong memiliki ukuran lebar sekitar 0,5 - 1,5 meter dan tinggi sekitar 0,5 meter.
#* Sandong/Sandung
#*'''''Sapundu''''' merupakan tiang kayu yang dipahat hingga berbentuk patung manusia atau sejenis hewan tertentu seperti kera. Tiang ini memilki tinggi sekitar 1,5 - 3 meter dengan diameter antara 15 - 25 cm. Sapundu berfungsi sebagai tiang untuk mengikat hewan yang akan dikurbankan yakni kerbau. Jumlahnya tergantung jumlah hewan yang dikurbankan.
#* Sapundu
#*'''''Pantar''''' merupakan tiang yang terbuat dari kayu besi. Tiang ini memiliki tinggi 10 meter dengan diamter sekitar 20- 30 meter. Pada bagian bawah Pantar terdapat ukiran dengan motif tertentu. Sedangkan pada bagian atas terdapat pahatan berbentuk burung enggang (tingang). Di bagian atas juga biasanya akan ditusukkan sebuah belanga/guci atau sebuah gong. Tiang ini dibuat tidak jauh dari sandung yang menandakan selesainya upacara Tiwah.
#* Pantar
#* '''''Bara-bara''''' atau '''''hantar bajang,''''' yakni sejenis pagar yang terbuat dari bambu dihiasi sejumlah bendera yang mewakili arwah yang akan melaksanakan upacara Tiwah.<ref name=":4" /> Bara-bara merupakan pintu gerbang yang letaknya di tepi sungai. Hal ini dikarenakan rumah masyarakat Dayak Ngaju umumnya terletak di tepi sungai. Tiang-tiang yang menjadi pagar tersebut saling terhubung dengan daun-daunan yang disebut dengan daun biru.
#*'''''Pasah pali''''' merupakan rumah-rumahan yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian. Pasah pali memiliki bentuk persegi empat dengan ukuran sekitar 1 x 1 meter. Selain itu, pasah pali dilengkapi dengan beberapa tiang dengan tinggi rata-rata dua meter.
#* Pasah pali
#*'''''Garantung''''' (gong) dan '''''kakandin''''' (kain merah). Gong dalam upacara Twiah tidak hanya berfungsi sebagai alat musik, juga sebagai tempat membawa tulang-tulang. Sedangkan kain merah digunakan sebagai pembungkus tulang belulang sebelum dimasukkan ke dalam sandung.
#* Garantung (gong)
#*'''''Pemahay''''' merupakan wadah yang digunakan untuk membakar jenazah.
#* Pemahay
#* Hewan kurban yang biasa disediakan dalam upacara Tiwah adalah ayam, babi, dan kerbau.
#* Hewan kurban
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een koppensneller met aan zijn gordel een schedel die bij feesten gebruikt wordt om uit te drinken een vrouw met een grote 'blangai' pot en achter hen palen voor het dodenfeest 'Tiwah' Borneo TMnr 10002945.jpg|jmpl|298x298px366x366px|Seorang pria Dayak bersama seorang wanita Dayak yang memegang tempayan atau guci yang digunakan untuk menyimpan tulang belulang. Di belakang mereka berdiri '''''Sapundu'''''.]]
=== Puncak Upacara Tiwah ===
Pelaksanaan upacara Tiwah pada memiliki sejumlah perbedaan di masing-masing daerah. Penyebabnya adalah tidak adanya pedoman penyelenggaran yang secara resmi ditulis. Sehingga masing-masing kelompok masyarakat Dayak yang terdiri dari berbagai sub-suku menafsirkannya berbeda-beda. Namun, pada dasarnya pelaksanaan upacara Tiwah memiliki tujuan yang sama yakni mengantarkan arwah ke negeri yang kekal.<ref name=":3" /> Adapun pelaksanaan inti dari Upacara Tiwah adalah sebagai berikut
 
'''Hari Pertama'''
 
Pada hari pertama,dilakukan upacara ''Tumpah Tua' Nyemoleh Manhu' Bebuang'ng Tentuna''. Upacara tersebut adalah upacara menumpahkan tuak dan menyembelih ayam untuk diambil darahnya. Selanjutnya diadakan doa kepada ''Sanghyang dipucu' duwata dibabah'' yang merupakan doa kepada ''Sanghyang''. Tujuannya agar seluruh pelaksanaan upacara Tiwah dapat berjalan sampai selesai, mendapat perlindungan dan diberkahi. Pada hari pertama ini, Manter memberikan ikut kepala yang terbuat dari kulit kayu atau Unuk kepada keluarga yang menyelenggarakan upacara Tiwah. '''''Unuk''''' tersebut memiliki fungsi sebagai pembeda antara keluarga yang menyelenggarakan upacara dengan para tamu undangan.<ref name=":2">Dey, N. P. H., Suwartiningsih, S., & Purnomo, D. (2012). Aspek Budaya, Sosial dan Ekonomi dari Tiwah (Upacara Masyarakat Dayak Tomun Lamandau). Diakses melalui http://repository.uksw.edu/handle/123456789/1326 pada 10 April 2019.</ref>
 
'''Hari Kedua'''
 
Pada hari kedua, diadakan upacara ''Nyawat Sanhug'ng''. Upacara tersebut merupakan upacara pembuatan ''sandung'' yang digunakan sebagai kotak kayu untuk menyimpan tulang-belulang jenazah yang sudah dibersihkan.<ref name=":2" />
 
'''Hari Ketiga'''
 
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een koppensneller met aan zijn gordel een schedel die bij feesten gebruikt wordt om uit te drinken een vrouw met een grote 'blangai' pot en achter hen palen voor het dodenfeest 'Tiwah' Borneo TMnr 10002945.jpg|jmpl|298x298px|Seorang wanita Dayak yang memegang tempayan atau guci yang digunakan untuk menyimpan tulang belulang.]]
Pada hari ketiga diadakan upacara ''Mengawi Sepunhu agat'n Pantar'' yakni upacara membuat sapundu dan pantar. Pantar ditanam secara bersamaan dengan kepala kurban. Pada masa lampau, kepala kurban yang ditanam adalah kepala manusia. Sekarang, kepala manusia tersebut diganti dengan dengan kepala hewan.<ref name=":2" />
 
'''Hari Keempat'''
Baris 77 ⟶ 78:
 
== Pengaruh Budaya Luar ==
Tamababah<ref>Harysakti, A., & Mulyadi, L. (2017). [http://ejournal.itn.ac.id/index.php/spectra/article/view/569 Penelusuran Genius Loci Pada Permukiman Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.] ''Jurnal Spectra'', ''12''(24), 72-86.</ref><ref>{{Cite web|url=http://bpan.aman.or.id/2016/06/13/ritual-tiwah/|title=Ritual Tiwah -|last=bpan|date=2016-06-13|website=bpan.aman.or.id|language=en-US|access-date=2019-04-09}}</ref><ref>{{Cite web|url=https://regional.kompas.com/read/2018/12/05/12000031/mengenal-ritual-tiwah-cara-suku-dayak-menghargai-kematian-2-|title=Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (2)|last=Media|first=Kompas Cyber|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2019-04-09}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Schiller|first=Anne L.|date=1993-01-01|title=Journalistic Imputation and Ritual Decapitation: Human Sacrifice and Media Controversy in Central Kalimantan|url=http://dx.doi.org/10.1163/030382493x00134|journal=Asian Journal of Social Science|volume=21|issue=2|pages=97–110|doi=10.1163/030382493x00134|issn=1568-4849}}</ref>
 
== Referensi ==