Tiwah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{Sedang ditulis}}
'''Tiwah''' atau '''Tiwah Lale''' atau '''Magah Salumpuk Liau Uluh Matei''' ialah upacara sakralkematian terbesaryang bagidilakukan oleh [[suku Dayak Ngaju]] di [[Kalimantan Tengah]]. Upacara Tiwah sendiri merupakan upacara sakral terbesar dalam Suku Dayak. Hal ini dikarenakan upacara Tiwah melibatkan sumber daya yang banyak dan waktu yang cukup lama. Upacara ini dilakukan bertujuan untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.<ref>[http://www.gunungmaskab.go.id/pariwisata/wisata-budaya/tiwah-2.html Tiwah]. Pemkab Gunung Mas. Diakses pada 18 September 2012</ref> Pada tahun 2014, upacara Tiwah telah dimasukan ke dalam penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang dilakukan oleh [[Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan]].<ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/penetapan-warisan-budaya-takbenda-indonesia-2014/|title=PENETAPAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA INDONESIA 2014|date=2015-01-19|website=Direktorat Jendral Kebudayaan|language=id-ID|access-date=2019-04-09}}</ref>
 
== Konsep Kematian ==
Bagi masyarakat Dayak Ngaju yang umumnya memeluk kepercayaan lokal yakni [[Kaharingan]], kematian merupakan hal akhir yang dijalani manusia. Bagi mereka, kematian hanyalah awal untuk mencapai dunia kekal abadi yang menjadi tempat asal manusia. Dunia kekal abadi tersebut adalah dunia roh tempat manusia mencapai titik kesempurnaanya. Dalam mitos suku Dayak Ngaju, awalnya manusia tidak mengenal kematian. Hal tersebut dikarenakan kehidupan duniawi adalah sesuatu yang kekal. Namun, suatu ketika manusia berbuat kesalahan dan akhirnya kekekalan hidup duniawinya dicabut oleh dewata. Manusia yang meninggal akan melanjutkan perjalanannya ke dunia para arwah. Manusia yang telah berganti wujud menjadi arwah ini disebut dengan '''Lio'''/'''Liau'''/'''Liaw. Liau''' oleh masyarakat Dayak Ngaju wajib diantar ke dunia arwah yakni alam tertinggi yang disebut '''''Lewu Liaw''''' atau '''''Lewu Tatau'''''. Proses pengantaran ini melalui serangkaian upacara kematian, yakni upacara Tiwah.<ref name=":0">{{Cite book|title=Tiwah upacara kematian pada masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah|url=http://worldcat.org/oclc/13896021|publisher=Proyek Media Kebudayaan Jakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|date=|oclc=13896021|last=Dyson, L.|first=|year=1981|isbn=|location=Jakarta|page=|last2=Asharini}}</ref> Liaw sendiri menurut masyarakat Dayak Ngaju terbagi atas tiga jenis yakni,
 
#''Salumpuk liaw haring kaharingan'', yakni roh rohani dan jasmani,
#''Salumpuk liaw balawang panjang'', yakni roh tubuh/badan,
#''Salumpuk liaw karahang tulang'', yaitu roh tulang belulang.<ref name=":0">{{Cite book|title=Tiwah upacara kematian pada masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah|url=http://worldcat.org/oclc/13896021|publisher=Proyek Media Kebudayaan Jakarta, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|date=|oclc=13896021|last=Dyson, L.|first=|year=1981|isbn=|location=Jakarta|page=|last2=Asharini}}</ref>
#''Salumpuk liaw karahang tulang'', yaitu roh tulang belulang.<ref name=":0" />
 
PenyelanggaranPenyelenggaran upacara Tiwah bagi masyarakat Dayak Ngaju dianggap sesuatu yang wajib secara moral dan sosial. Pihak keluarga yang ditinggalkan merasa memilki kewajiban untuk mengantar arwah sanak saudara yang meninggal ke dunia roh. Selain itu, dalam kepercayaan Dayak Ngaju, arwah orang yang belum diantar melalui upacara Tiwah akan selalu berada di sekitar lingkungan manusia yang masih hidup. Keberadaan mereka dianggap membawa gangguan berupa munculnya peristiwa gagal panen, penyakit, dan bahaya-bahaya lainnya.<ref name=":0" />
 
== Biaya ==
Upacara Tiwah dalam masyakat Dayak Ngaju merupakan acara besar yang juga membutuhkan biaya sangat besar. Keluarga atau kelompok masyarakat yang ingin melaksanakan upacara Tiwah harus membuat sejumlah keperluan pendukung dan beberapa hewan kurban. Dalam pelaksanaanya, upacara ini biasanya membutuhkan biaya antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta.<ref>{{Cite web|url=https://regional.kompas.com/read/2018/12/05/11000061/mengenal-ritual-tiwah-cara-suku-dayak-menghargai-kematian-1-|title=Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (1)|last=Media|first=Kompas Cyber|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2019-04-09}}</ref> Karena biaya yang besar tersebut, penyelenggaraan upacara Tiwah dapat menjadi simbol sosial seseorang atau keluarga. Semakin meriah dan durasi yang lama, maka status sosial seseorang semakin tinggi. Bagi keluarga yang memiliki kekayaan, upacara Tiwah dapat dilaksanakan secara mandiri yakni hanya dengan keluarganya sendiri dan dilakukan sesegera mungkin setelah kematian sanak keluarganya. Sedangkan bagi keluarga yang kekayaannya tidak melimpah, upacara Tiwah dapat dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong oleh beberapa keluarga atau bahkan oleh satu desa. Istilah bergotong royong ini dalam bahasa Ngaju dinamakan '''''handep''' .''Biasanya, mereka akan mengumpulkan dana bersama-sama dan kemudian menyelenggarakan upacara Tiwah. <ref name=":0" /> Beberapa upacara Tiwah yang melibatkan banyak keluarga tercatat dalam sejumlah tulisan. Pada tahun 1996, antropolog Anne Schiller mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 89 kerangka jenazah di wilayah Petah Putih yang terletak di tepi Sungai Katingan.<ref name=":1">Schiller, A. (2002). How to hold a tiwah: the potency of the dead and deathways among Ngaju Dayaks. ''The Potent Dead: Ancestors, Saints, and Heroes in Contemporary Indonesia'', 17-31.</ref> Pada tahun 2002, peneliti Balai Arkeologi Kalimantan Banjarmasin Vida Pervaya Rusianti Kusmantoro mencatat upacara Tiwah yang melibatkan 35 keluarga di desa Pandahara yang juga berada di tepi Sungai Katingan.<ref>Kusmartono, V. P. R. (2007). [https://naditirawidya.kemdikbud.go.id/index.php/nw/article/view/344 Tiwah: The Art of Death in Southern Kalimantan.] ''Naditira Widya'', ''1''(1), 206-213. doi:https://doi.org/10.24832/nw.v1i1.344</ref> Pada 1 April 2016 tercatat pula penyelenggaraan upacara Tiwah yang melibatkan 77 kerangka jenazah nenek moyang dari 46 keluarga. Mereka berasal dari beberapa desa di Kabupaten [[Katingan]], Kalimantan Tengah.<ref>{{Cite web|url=https://travel.kompas.com/read/2016/06/21/142013727/tiwah.rukun.kematian.penuh.kebahagiaan|title=Tiwah, Rukun Kematian Penuh Kebahagiaan Halaman all|last=Media|first=Kompas Cyber|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2019-04-09}}</ref>
 
== Durasi dan Waktu Upacara ==
Baris 36:
 
Setelah prosesi di atas, dana untuk melangsungkan upacara Tiwah yang telah terkumpul atau disebut dengan '''''laloh''''', diberikan kepada pimpinan penyelenggara atau '''''bakas tiwah'''''. Pimpinan penyelanggara ini bertugas untuk mengkoordinasikan semua kegiatan yang berhubungan dengan upacara Tiwah. Bakas tiwah nantinya akan dibantu oleh peserta lain yang disebut '''''anak-anak tiwah'''''.
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Model van een geestenhuisje of zielenschip TMnr A-1548.jpg|jmpl|Salah satu bentuk Sandung.|259x259px247x247px]]
Adapun tahapan persiapan awal dari upacara Tiwah adalah<ref name=":0" />
 
# Memilih dan menentukan orang yang akan menjadi pemimpin upacara. Para pemimpin ini biasanya terdiri dari tujuh atau sembilan orang. Salah satu dari mereka akan bertindah sebagai pemimpin utama atau '''''upo'''''. Sisanya akan menjadi anggota yang disebut dengan '''''basir'''''. Tugas orang-orang ini adalah mengantarkan arwah (Liaw) ke dunia akhirat (Lewu Tetu).
# Mempersiapkan peralatan upacara yakni:
#*'''''Balay Tiwah''''' atau '''''Balai Nyahu''''' atau '''''Balai Raung''''' merupakan rumah kecil yang memiliki ukuran sekitar 9 x 12 meter. Tempat ini terbuat dibangun dari bahan-bahan yang terbuat dari kayu-kayu yang masih utuh (bulat). Digunakan untuk menyimpan gong.
#*'''''Sangkay rayaSangkaraya''''' merupakan sejumlah batang bambu yang tersusun rapi dengan ukurang 2-4 meter. Biasanya dijadikan tempat tarian dalam pelaksanaan upacara.<ref name=":42">{{Cite journal|last=Ripert|first=Blandine|last2=Schiller|first2=Anne|date=2001-01book|title=Small Sacrificessacrifices : Religiousreligious Changechange and Culturalcultural Identityidentity among the Ngaju of Indonesia|url=httphttps://dxwww.doiworldcat.org/10.2307oclc/265435145727329|journalpublisher=ContemporaryOxford SociologyUniversity Press|volumedate=301997|issuelocation=1New York|pagesisbn=610585238235|doioclc=10.2307/265435145727329|issnlast=0094-3061Schiller, Anne (Anne Louise)}}</ref> Sankayraya didirikan di depan balay tiwah dan setelah upacara tiwah selesai akan dipindah ke dekat ''sandongsandung''.
#*'''''[[Sandung|Sandong/Sandung]]''''' merupakan tempat penyimpanan tulang-tulang manusia setelah upacara tiwah berakhir. Biasanya terbuat dari [[Merbau|kayu besi]] (ulin) yang dapat bertahan hingga 100 tahun. Pada dinding Sandong terdapat ukiran dengan motif tertentu. Sandong memiliki ukuran lebar sekitar 0,5 - 1,5 meter dan tinggi sekitar 0,5 meter.
#*'''''Sapundu''''' merupakan tiang kayu yang dipahat hingga berbentuk patung manusia atau sejenis hewan tertentu seperti kera. Tiang ini memilki tinggi sekitar 1,5 - 3 meter dengan diameter antara 15 - 25 cm. Sapundu berfungsi sebagai tiang untuk mengikat hewan yang akan dikurbankan yakni kerbau. Jumlahnya tergantung jumlah hewan yang dikurbankan.
#*'''''Pantar''''' merupakan tiang yang terbuat dari kayu besi. Tiang ini memiliki tinggi 10 meter dengan diamter sekitar 20- 30 meter. Pada bagian bawah Pantar terdapat ukiran dengan motif tertentu. Sedangkan pada bagian atas terdapat pahatan berbentuk burung enggang (tingang). Di bagian atas juga biasanya akan ditusukkan sebuah belanga/guci atau sebuah gong. Tiang ini dibuat tidak jauh dari sandung yang menandakan selesainya upacara Tiwah.
#*'''''Bara-bara''''' atau '''''hantar bajang''''' yakni sejenis pagar yang terbuat dari bambu dihiasi sejumlah bendera yang mewakili arwah yang akan melaksanakan upacara Tiwah.<ref name=":42" /> Bara-bara merupakan pintu gerbang yang letaknya di tepi sungai. Hal ini dikarenakan rumah masyarakat Dayak Ngaju umumnya terletak di tepi sungai. Tiang-tiang yang menjadi pagar tersebut saling terhubung dengan daun-daunan yang disebut dengan daun biru.
#*'''''Pasah pali''''' merupakan rumah-rumahan yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian. Pasah pali memiliki bentuk persegi empat dengan ukuran sekitar 1 x 1 meter. Selain itu, pasah pali dilengkapi dengan beberapa tiang dengan tinggi rata-rata dua meter.
#*'''''Garantung''''' (gong) dan '''''kakandin''''' (kain merah). Gong dalam upacara Twiah tidak hanya berfungsi sebagai alat musik, juga sebagai tempat membawa tulang-tulang. Sedangkan kain merah digunakan sebagai pembungkus tulang belulang sebelum dimasukkan ke dalam sandung.
Baris 54:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een koppensneller met aan zijn gordel een schedel die bij feesten gebruikt wordt om uit te drinken een vrouw met een grote 'blangai' pot en achter hen palen voor het dodenfeest 'Tiwah' Borneo TMnr 10002945.jpg|jmpl|366x366px|Seorang pria Dayak bersama seorang wanita Dayak yang memegang tempayan atau guci yang digunakan untuk menyimpan tulang belulang. Di belakang mereka berdiri '''''Sapundu'''''.]]
=== Puncak Upacara Tiwah ===
Pelaksanaan upacara Tiwah pada memiliki sejumlah perbedaan di masing-masing daerah. Penyebabnya adalah tidak adanya pedoman penyelenggaran yang secara resmi ditulis. Sehingga masing-masing kelompok masyarakat Dayak yang terdiri dari berbagai sub-suku menafsirkannya berbeda-beda. Namun, pada dasarnya pelaksanaan upacara Tiwah memiliki tujuan yang sama yakni mengantarkan arwah ke negeri yang kekal.<ref name=":3" /> Adapun pelaksanaan inti dari Upacara Tiwah adalah sebagai berikut<ref name=":3" />
 
'''Hari Pertama'''
 
Pada hari pertama upacara Tiwah, bangunan berbentuk rumah yang disebut ''Balai Pangun Jandau'' mulai dibuat. Dalam proses pembuatannya, terdapat syarat yang harus dipenuhi yakni kurban seekor babi yang disembelih oleh Bakas Tiwah.
Pada hari pertama,dilakukan upacara ''Tumpah Tua' Nyemoleh Manhu' Bebuang'ng Tentuna''. Upacara tersebut adalah upacara menumpahkan tuak dan menyembelih ayam untuk diambil darahnya. Selanjutnya diadakan doa kepada ''Sanghyang dipucu' duwata dibabah'' yang merupakan doa kepada ''Sanghyang''. Tujuannya agar seluruh pelaksanaan upacara Tiwah dapat berjalan sampai selesai, mendapat perlindungan dan diberkahi. Pada hari pertama ini, Manter memberikan ikut kepala yang terbuat dari kulit kayu atau Unuk kepada keluarga yang menyelenggarakan upacara Tiwah. '''''Unuk''''' tersebut memiliki fungsi sebagai pembeda antara keluarga yang menyelenggarakan upacara dengan para tamu undangan.<ref name=":2">Dey, N. P. H., Suwartiningsih, S., & Purnomo, D. (2012). Aspek Budaya, Sosial dan Ekonomi dari Tiwah (Upacara Masyarakat Dayak Tomun Lamandau). Diakses melalui http://repository.uksw.edu/handle/123456789/1326 pada 10 April 2019.</ref>
 
'''Hari Kedua'''
 
Pada hari kedua, dilakukan prosesi pembuatan ''sangkaraya sandung rahung'' yang diletakkan di depan rumah bakas tiwah. Bangunan tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan tulang belulang salumpuk liaw. Selanjut, darah babi diambil sebagai syarat untuk melakukan mamalas sangkaraya sandung rahung. Selain itu, pada hari ini berbagai macam alat musik seperti gandang, garatung, kangkanung, katambung, toroi, dan tarai mulai dibunyikan. Sebelumnya, semua alat musik tersebut harus di-palas atau di-saki dengan darah hewan kurban terlebih duhulu.
Pada hari kedua, diadakan upacara ''Nyawat Sanhug'ng''. Upacara tersebut merupakan upacara pembuatan ''sandung'' yang digunakan sebagai kotak kayu untuk menyimpan tulang-belulang jenazah yang sudah dibersihkan.<ref name=":2" />
 
'''Hari Ketiga'''
 
Pada hari ketiga, hewan kurban seperti sapi atau kerbau akan diikat di sangkaraya. Tiga orang memiliki tugas untuk melakukan mangajan, yakni sejenis tarian sakral. Saat melakukan mengajan akan diiringi dengan tabuhan alat musi dan sorakan kegembiran. Selain itu, dilakukan juga kegiatan melempar beras merah dan beras kuning ke angkasa. Setelah prosesi ''mangajan'' selesai, hewan kurban akan dibunuh dan darahnya akan dikumpulkan dalam sebuah wadah bernama sangku. Darah ini akan digunakan untuk menyaki dan memalas semua orang dan peralatan yang digunakan selama upacara Tiwah. Tujuannya adalah membersihkan segala kotoran sehingga menjadi suci.
Pada hari ketiga diadakan upacara ''Mengawi Sepunhu agat'n Pantar'' yakni upacara membuat sapundu dan pantar. Pantar ditanam secara bersamaan dengan kepala kurban. Pada masa lampau, kepala kurban yang ditanam adalah kepala manusia. Sekarang, kepala manusia tersebut diganti dengan dengan kepala hewan.<ref name=":2" />
 
'''Hari Keempat'''
 
Pada hari keempat, tidak jauh dari Sangkaraya didirikan tiang panjang yang disebut Tihang Mandera. Tiang tersebut menjadi tanda bahwa kampung tersebut tertutup karena sedang berlangsung upacara Tiwah. Penduduk yang belum di-saki atau di-palas, dilarang masuk ke dalam kampung. Pada hari ini, ahli waris arwah atau salumpuk liaw mulai melaksanakan sejumlah pantangan.
Pada hari keempat dilangsungkan upacara Meruwat agat'n Kasa'i Minyak. Upacara tersebut adalah upacara untuk merawat dan meminyaki tulang. Upacara ini menjadi lambang pengabdian keluarga yang masih hidup kepada anggota keluarga yang telah meninggal. Dalam upacara ini, tulang belulang anggota keluarga yang meninggal akan dibersihkan menggunakan air sabun yang selanjutnya diolesi minyak kelapa yang telah dicampur dengan kunyit. Setelah proses tersebut, tulang belulang itu kemudian dimasukkan ke dalam tempayan atau guci yang memiliki lubang pada bagian dasarnya yang berfungsi untuk merembeskan air agar tulang belulang tidak terendam air. Selanjutnya tempayan atau guci dimasukkan ke dalam ''sandung''.<ref name=":2" />
 
'''Hari Kelima'''
 
Pada hari kelima, hewan-hewan yang akan dikurbankan diikat di sapundu. Para tamu yang hadir biasanya akan mengelilingi hewan kurban tersebut. Selain itu, pada hari ini sandung mulai dibangun.
 
'''Hari Keenam'''
 
Pada hari ini, dilaksanakan puncak upacara Tiwah. Para tamu akan hadir dengan menaiki rakit atau kapal yang berisi sesaji atau persembahan. Kapal tersebut dinamakan ''lanting laluhan'' atau ''kapal laluhan.''
 
'''Hari Ketujuh'''
 
Pada hari ketujuh yang merupakan hari terakhir pelaksanaan inti upacara Tiwah, arwah anggota keluarga atau salumpuk liaw akan melakukan perjalanan menuju Lewu Liaw. Proses ini diawali dengan proses pengurbanan hewan yang diaikat di sapundu dengan cara ditombak. Selanjutnya, ada prosesi tarian kanjan. Terakhir, tulang belulang yang telah dibersihkan akan dibungkus menggunakan kain merah dan dimasukkan ke dalam sandung.
== Pengaruh Budaya Luar ==
Seiring berkembangnya zaman dan interaksi suku Dayak dengan dunia luar, upacara Tiwah juga mengalami banyak perubahan. Adapun beberapa perubahan dalam upacara Tiwah dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti munculnya negara, agama pendatang, dan masuknya teknologi baru.
Tamababah<ref>Harysakti, A., & Mulyadi, L. (2017). [http://ejournal.itn.ac.id/index.php/spectra/article/view/569 Penelusuran Genius Loci Pada Permukiman Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.] ''Jurnal Spectra'', ''12''(24), 72-86.</ref><ref>{{Cite web|url=https://regional.kompas.com/read/2018/12/05/12000031/mengenal-ritual-tiwah-cara-suku-dayak-menghargai-kematian-2-|title=Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (2)|last=Media|first=Kompas Cyber|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2019-04-09}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Schiller|first=Anne L.|date=1993-01-01|title=Journalistic Imputation and Ritual Decapitation: Human Sacrifice and Media Controversy in Central Kalimantan|url=http://dx.doi.org/10.1163/030382493x00134|journal=Asian Journal of Social Science|volume=21|issue=2|pages=97–110|doi=10.1163/030382493x00134|issn=1568-4849}}</ref>
 
==== Keberadaan negara ====
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Het slachten van runderen tijdens de grote verzoening in de Dajak kampong Toembanganoi onder leiding van de controleurs A.C. de Heer en J.P.J. Barth, Midden-Borneo. TMnr 60046395.jpg|kiri|jmpl|289x289px|Pertemuan kepala suku dari seluruh Pulau Kalimantan pada 1894 yang menghasilkan perjanjian Tumbang Anoi.]]
Hadirnya negara yang kemudian mengadministrasi dan mengatur kehidupan penduduknya melalui peraturan, turut mempengaruhi sejumlah perubahan dalam penyelenggaran upacara Tiwah. Munculnya misionaris Kristen yang juga bersamaan dengan hadirnya [[Hindia Belanda|negara kolonial Belanda]] berpengaruh terhadap tradisi kurban upacara Tiwah. Dalam masyarakat Dayak, ketika seorang yang memiliki status sosial tinggi seperti bangasawan meninggal dunia, maka ada kepercayaan bahwa arwahnya perlu ditemani. Dalam mencari teman tersebut, orang Dayak akan melakukan '''''mangayau''''', yakni sebuah tradisi perburuan kepala manusia yang nantinya akan menjadi kurban dalam upacara Tiwah. Dalam melaksanakan orang Dayak biasanya akan mencari kepala manusia yang berasal dari suku lain. Semakin banyak kepala manusia yang didapat maka akan semakin baik bagi arwah. Dalam kepercayaan suku Dayak, arwah kepala manusia hasil buruan tersebut dipercaya akan menjadi pelayan atau jipen.<ref name=":4">{{Cite web|url=https://mmc.gunungmaskab.go.id/?p=373|title=Sejarah Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi Tahun 1894|last=edu|date=2018-04-10|website=MULTI MEDIA CENTER|language=id-ID|access-date=2019-04-11}}</ref> Bagi sang pemburu pyang berhasil mendapatkan kepala manusia akan mendapat kenaikan status sosial dalam masyarakat. Jika ''mangayau'' gagal dan tidak mendapatkan kepala, maka yang akan menjadi penggantinya adalah para budak. Kepala manusia yang sudah dikumpulkan itu nantinya akan ditanam di bawah ''sapundu''.<ref name=":0" />
 
Kehadiran Belanda sebagai negara kolonial yang kemudian mengatur kehidupan masyarakat Dayak kemudian melakukan pelarangan terhadap tradisi mengayau. Pada 22 Mei hingga 24 Juli 1894 Belanda mengumpulkan seluruh kepala suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan. Pertemuan ini kemudian melahirkan Perjanjian [[Tumbang Anoi, Damang Batu, Gunung Mas|Tumbang Anoi]] yang bertujuan untuk mengakhiri rasa saling bermusuhan dan sekaligus mempertegas pemberlakuan larangan ''mangayau''. Selain itu, sistim perbudakan yang ada dalam masyarakat Dayak juga dihapuskan.<ref name=":4" /> Dalam upacara Tiwah, kurban kepala manusia akhirnya diganti dengan kurban kepala hewan terutama kerbau.
 
Selain pelarangan tradisi mengayau, keberadaan negara Indonesia yang hadir pasca kemerdekaan juga turut mempengaruhi berlangsungnya upacara Tiwah. Waktu pelaksanaan upacara Tiwah akan menjadi lama karena menunggu perizinan dari banyak instansi seperti camat, polisi, dan majelis adat. Lama dikeluarkannya izin bahkan bisa mencapai 12 bulan. Penyelenggara upacara Tiwah wajib mengisi sejumlah dokumen dan harus memberikan detil kegiatan yang nantinya akan dilangsungkan.<ref name=":1" />
 
==== Agama pendatang ====
Agama dari luar yang masuk ke masyarakat Dayak seperti Kristen dan Islam turut mempengaruhi penyelenggaraan upacara Tiwah. Pengaruh agama Kristen yang dibawah para misionaris yang datang bersamaan dengan hadirnya negara kolonial Belanda lebih kepada pelarangan tradisi mangayau yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan, agama Islam memiliki pengaruh terhadap tata cara pengurbanan hewan dalam upacara Tiwah. Pada akhir upacara Tiwah, diadakan upacara pengurbanan hewan dengan cara ditombak atau yang disebut dengan tubah. Jika sebelumnya, penombakan hewan kurban seperti kerbau dilakukan secara berkali-kali hingga hewan tersebut tersunggkur dan akhirnya mati. Dalam kepercayaan [[Islam]], hewan yang dikurbankan harus disembelih terlebih dahulu. Hewan yang mati dalam keadaan ditombak seperti yang ada dalam upacara Tiwah, nantinya daging tersebut tidak boleh dimakan karena statusnya haram. Oleh sebab itu, dalam upacara Tiwah yang mendapat pengaruh Islam, setelah hewan ditombak dan sebelum hewan yang dikurbankan mati, hewan tersebut harus disembelih dibagain leher terlebih dahulu agar dagingnya boleh atau halal untuk dikonsumsi.<ref name=":0" />
 
==== Teknologi baru ====
TamababahDalam upacara Tiwah penggunaan kayu berupa kayu besi dan bambu banyak digunakan untuk membuat sejumlah keperluan upacara. Seiring perkembangan zaman dan interaksi orang Dayak dengan masyarakat pendatang, membuat penggunaan kayu untuk keperluan upacara Tiwah sedikit berkurang. Pada tahun 1960-an ketersediaan semen mulai melimpah. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap pembuat sandung terutama sandung yang dletakkan di tanah atau sandung munduk<ref name=":2" />. [[Sandung]] yang biasanya terbuat dari kayu besi atau kayu ulin, kini semakin banyak yang membuatnya dari semen yang dicampur batu dan pasir. Sandung yang terbuat dari semen memiliki bentuk serupa dengan kubus, polos dan tidak memilki ukiran.<ref name=":0" /><ref>Harysakti, A., & Mulyadi, L. (2017). [http://ejournal.itn.ac.id/index.php/spectra/article/view/569 Penelusuran Genius Loci Pada Permukiman Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.] ''Jurnal Spectra'', ''12''(24), 72-86.</ref><ref>{{Cite web|url=https://regional.kompas.com/read/2018/12/05/12000031/mengenal-ritual-tiwah-cara-suku-dayak-menghargai-kematian-2-|title=Mengenal Ritual Tiwah, Cara Suku Dayak Menghargai Kematian (2)|last=Media|first=Kompas Cyber|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2019-04-09}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Schiller|first=Anne L.|date=1993-01-01|title=Journalistic Imputation and Ritual Decapitation: Human Sacrifice and Media Controversy in Central Kalimantan|url=http://dx.doi.org/10.1163/030382493x00134|journal=Asian Journal of Social Science|volume=21|issue=2|pages=97–110|doi=10.1163/030382493x00134|issn=1568-4849}}</ref>
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
*
== Pranala luar ==
* http://www.youtube.com/watch?v=HTyFuvGCULE
 
[[Kategori:Dayak]]