Suku Da'a: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adie Baim (bicara | kontrib)
←Membuat halaman berisi ''''suku Da’a''' merupakan suku nomaden yang mendiami Sulawesi Tengah dan perbatasan Sulawesi Barat. Mereka bermukim di kawasan hutan dan pegunungan, terutama...'
Tag: tanpa kategori [ * ]
 
Adie Baim (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 5:
Segi kebudayaan, suku Da’a berbeda dari kebudayaan Austronesia, yang tidak mengenal domestikasi kerbau sebagaimana suku [[Toraja]] yang berdekatan. Mereka juga takut air dan laut, dan sama sekali tidak mengenal budaya membuat perahu. Sangat berbeda dengan kebudayaan Austronesia yang memiliki keahlian melaut. Namun, sekalipun memiliki ciri budaya non-Austronesia, masyarakat Da’a yang berbahasa Kaili dikelompokkan dalam penutur Austronesia Barat (Western Malayo-Polynesian) atau serumpun dengan masyarakat Dayak di Kalimantan.<ref>Tanudirjo, Daud Aris. tt 2012. “Kedatangan Penutur dan Budaya Austronesia.” In Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia</ref><ref>https://www.liputan6.com/news/read/73219/suku-daa-antara-tradisi-dan-modernisasi</ref>
 
Masyarakat Da’a umumnya tinggal di dataran tinggi wilayah Kabupaten [[Sigi]] dan [[Donggala]], [[Sulawesi Tengah]], juga di [[''Bambaira]]'', [[Kabupaten Mamuju Utara]], [[Sulawesi Barat]]. Awalnya, suku Da’a hidup secara nomaden dengan berburu dan meramu. Mereka ahli menggunakan sumpit, seperti suku Dayak di Kalimantan. Makanan utama mereka sagu dan ubi jalar. Namun, sebagian masyarakat Da’a telah dipindahkan oleh dinas sosial di dataran rendah sejak 1970-an. Sejak itu, mereka mulai berkebun<ref>2011. “Kehidupan Manusia Modern Awal di Indonesia: Sebuah Sintesa Awal.” Amerta, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi 29 (2): 1–12</ref>
 
Rumah asli etnik Da’a pada saat ini adalah rumah panggung tinggi yang disebut ''sou langa'' (rumah tinggi). Rumah panggung ini dibangun di atas tiang-tiang bambu yang tingginya sekitar 4-15 m di atas permukaan tanah. Dahulu rumah mereka dibangun di atas sebuah pohon (rumah pohon) kayu keras yang batang utamanya lurus dengan banyak cabang yang mendatar, seperti pohon ketapang yang memiliki ketinggian 7-20m. Lantainya terbuat dari anyaman bambu, dindingnya terbuat dari papan, sedankan atapnya terbuat dari anyaman daun kelapa. Kadang-kadang di sekitar tangga masuk terdapat sebuah teras kecil. Rumah biasanya dibagi dua, bagian depan berfungsi sebagai ruang untuk menerima tamu dan ruang tidur orang tua, sedangkan rumah bagian belakang biasanya berfungsi sebagai dapur dan ruang tidur anak-anak. Untuk membangun atau menyelesaikan rumah tinggi tersebut, biasanya membutuhkan waktu sekitar tujuh hari, yang dapat dilakukan oleh satu orang saja.<ref>Gunawan Tjahjono, Indonesian Heritage: Arsitektur, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.</ref><ref>Yuniawati, Dwi Yani, et.al. 2012. “Kajian Pluralisme Budaya Austronesia dan Melanesia Nusantara: Peradaban Penutur Austronesia di Kawasan Lembah Bada, Sulawesi Tengah.” Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Arkeologi Nasional</ref>